Kupi Beungoh
Polemik Hasil MTQ dan Introspeksi Cara Kritik Kita
“Tulisan ini kami tegaskan bukan untuk membungkam para ‘kritikus’ karena kritik adalah suplemen yang sangat dibutuhkan.”
“Tulisan ini kami tegaskan bukan untuk membungkam para ‘kritikus’ karena kritik adalah suplemen yang sangat dibutuhkan. Ciri-ciri kritik harus disesuaikan dengan tempat tinggal kita, Serambi Mekkah, di negeri syariah."
Oleh Muhammad Rizki*)
MUSABAQAH Tilawatil Quran (MTQ)—termasuk MTQ Nasional ke-28 Padang, Sumatera Barat—sejatinya adalah ajang untuk mewujudkan keinginan kuat membumikan ajaran Alquran serta menyebarkan syiar Islam guna memperkokoh nilai-nilai agama dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Sebagaimana dikatakan Presiden RI, Ir. Joko Widodo dalam sambutannya ketika membuka MTQ Nasional ke-29 secara virtual, MTQ merupakan salah satu unsur seni dan keindahan estetika Islam dengan beberapa balutan gaya bacaan atau sering dikenal dengan qiraah sab’ah. Setiap bacaan tersebut terkenal di dunia Islam.
MTQ seyogyanya dipahami bukan hanya saja dari konteks subtansial melainkan dalam pemahaman yang universal dengan makna yang terkandung di dalamnya begitu luas.
Bagi kaum muslimin, Alquran merupakan sumber petunjuk dan pedoman hidup yang aktual sepanjang masa yang berisi nilai-nilai luhur universal yang sejalan dengan fitrah manusia.
Pada dasarnya Alquran mengajak semua umat manusia untuk bekerja sama dalam ketakwaan dan kebaikan.
Begitu juga dalam mengamalkan ajaran Alquran, sudah sepatutnya umat Islam meneladani pribadi Rasulullah SAW, yakni kepribadian dengan kemuliaan akhlak yang bersumber dari Alquran, menebarkan kasih sayang, dan menjauhkan diri dari perkataan serta perbuatan yang menyakiti sesama.
Baca juga: Terkena Refocusing, Panitia tidak Lagi Subsidi Kafilah MTQ, Juara Wakili Pidie ke Bener Meriah
Sebagai umat Islam, melalui momentum MTQ, sepatutnya menjadi pembelajaran bagi kita untuk lebih mendalami pesan-pesan yang terkandung di dalam Alquran dengan penghayatan secara mendalam terhadap makna melalui pesan teks suci kalamullah tersebut.
Pada ajang MTQ Nasional ke-28 di Padang, Provinsi Aceh seperti biasa menjadi peserta aktif.
Pada tahun-tahun sebelumnya, Aceh memperoleh peringkat yang bisa dikatakan tidak begitu mengecewakan, bahkan bisa dikatakan memuaskan.
Misalnya, pada MTQ 2012 Aceh mendapatkan rangking 13, tahun 2014 rangking 9, tahun 2016 rangking 8, tahun 2018 rangking 7. Nah, sekarang pada MTQ tahun 2020 di Padang Aceh hanya memperoleh satu predikat terbaik yaitu juara III cabang khattil Quran.
Baca juga: Rahmawati, Harus Melawan Teman dari Aceh di MTQN
Menjelang penutupan MTQ Nasional ke-28 oleh Wakil Presiden I, Ma’aruf Amin—juga secara virtual—yang dipusatkan di Masjid Raya Sumbar, Dewan Hakim membacakan perolehan juara, termasuk peserta terbaik dan juara umum MTQ Nasional Tahun 2020 di Kota Padang.
Provinsi Sumbar selaku tuan rumah keluar sebagai juara umum MTQ Nasional ke-28, sedangkan Provinsi Aceh bertahan di peringkat ke 20 dari 32 provinsi yang ikut perhelatan dua tahunan itu, karena DIY dan NTT absen. Lagi-lagi, publik Aceh mencibir karena prestasi negeri syariat ini berada di bawah Papua.
Introspeksi Kritik Kita
Dari kenyataan pahit tersebut, muncul polemik di tengah masyarakat. Banyak pandangan, narasi bahkan komentar-komentar yang sangat tidak patut untuk diutarakan oleh kalangan masyarakat Aceh yang berlabelkan Serambi Mekkah.
Menurut penulis, kritik bukan sesuatu yang haram malah sangat dianjurkan agar kita bisa selalu introspeksi diri atau tidak merasa nyaman padahal kita sedang berada di jalur yang salah.
Yang tidak dianjurkan bahkan menjadi yang sangat dilarang oleh ajaran Islam adalah caci maki, kata-kata kasar, hujatan, dan sejenisnya yang ditujukan secara langsung atau tidak langsung kepada ofisial dan peserta.
Cara-cara seperti ini tentu bukan suatu solusi yang solutif, malahan semakin memperkeruh keadaan.
Kita sama-sama meyakini jika peserta yang mewakili Provinsi Aceh adalah putra-putri terbaik yang dipilih oleh para ahli di bidangnya.
Baca juga: Prestasi Aceh dan Tabel Juara MTQ Padang yang Terbalik, Saatnya Introspeksi Diri
Seharusnya sebagai masyarakat berpendidikan, tidak buta huruf dan tidak bisu serta tuli, untuk bertabayyun terlebih dahulu mengenai hasil perolehan peringkat Provinsi Aceh dalam MTQ tersebut. Kenapa sampai terjadi demikian.
Kita percaya pada dasarnya dalam sebuah ajang perlombaan tentu ada yang menang dan ada yang kalah. Di tengah pandemi Covid-19 seperti ini banyak faktor yang bisa terjadi sehingga capaian tidak sesuai dengan harapan.
Sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya, perencanaan dan persiapan untuk menuju MTQ Nasional sangat baik dan maksimal. Berbeda dengan tahun ini, disebabkan oleh kondisi pandemi yang menyerang dunia—termasuk Indonesia khususnya Aceh—telah ikut melumpuhkan segala aktifvitas.
Terkait persiapan kafilah Aceh kali ini tidak begitu maksimal, misalnya harus berlomba tanpa pemusatan latihan atau TC yang matang. TC peserta Aceh hanya sempat dilaksanakan 12 hari dari total 40 hari yang telah direncanakan.
Dari informasi hasil tabayyun yang penulis dapatkan, TC 12 hari tersebut pun dilaksanakan pada awal masa pandemi (Maret 2020), sedangkan menjelang keberangkatan hanya sempat dilakukan dua hari saja.
Normalnya, ketika TC, peserta dikarantina dengan mendatangkan pelatih dari semua tingkatan. Namun tahun ini hal demikian tidak sempat dilakukan. Belum lagi muncul rasa rasa was-was dan ketakutan para pelatih nasional untuk melakukan perjalanan jauh ke Aceh.
Baca juga: Pelajari & Tandai Gejala Terpapar Covid-19 dari Hari ke Hari, Lakukan Cara Pencegahan Seperti Ini
Berbeda halnya dengan tuan rumah, mereka melakukan TC hampir setahun penuh, dengan mendatangkan seluruh pelatih nasional ke Kota Padang. Demikian juga dengan kafilah lain seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau. Artinya, jarak juga menjadi salah satu hambatan.
Mengenai dengan peserta yang hanya memperoleh satu juara III, bukan berarti peserta lain yang mewakili Provinsi Aceh tidak berkompeten.
Para peserta sudah tampil maksimal, namun peserta dari daerah lain, seperti tuan rumah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kepulauan Riau (kepri), Jawa Barat dan Banten lebih baik karena persiapan mereka lebih maksimal.
Selain beberapa polemik di atas, juga berkembang komentar dan kritikan yang tidak baik mengenai Provinsi Aceh yang berada di bawah peringkat Papua.
Adapun masalah tersebut, menjadi rahasia umum dan fakta berbicara bahwa peserta dari Papua itu (tidak semuanya) asli putra Papua.
Demikian pula halnya dengan polemik adanya peserta asal Aceh yang menjadi utusan luar daerah. Setelah kami tabayyun, mereka semuanya memang sudah berhijrah dan berkiprah di provinsi yang diwakilinya itu, sudah berdomisili di sana dan sudah mengikuti jenjang seleksi di sana, bukan karena “tidak dipakai” sebagaimana tudingan beberapa pihak selama ini.
Oleh karena itu kita tidak boleh sempit melihat sebuah fakta. Tidak menilai kesuksesan kafilah Aceh dari hanya perolehan juara saja, akan tetapi juga perlu memperhatikan bagaimana perjuangan mereka hingga tembus ke tingkat nasional.
Juga dengan keberangkatan para peserta ke Kota Padang dengan dana yang minim karena kebijakan refocusing oleh Pemerintah Aceh.
Marilah kita saling menghargai, termasuk kepada adik-adik dan teman-teman kita yang telah berupaya maksimal meski akhirnya mereka belum mampu memberikan hasil sebagaimana kita harapkan.
Harus diingat, mental mereka sedang down. Jangan malah semakin dijatuhkan dengan caci maki, hujatan, dan berbagai simbol kebencian.
Di luar itu, Pemerintah Aceh juga perlu mengevaluasi atas apa yang didapatkan hari ini, baik dari segi anggaran maupun hal lainnya untuk perbaikan ke depan.
Pemerintah melalui lembaga maupun organisasi teknisnya tentu lebih tahu apa yang harus dilakukan untuk menutup berbagai sisi lemah agar ke depan bisa tampil lebih baik.
Baca juga: Sholat Dhuha Minimal Dua Rakaat, Menurut Ustadz Abdul Somad, Ini Waktu Tepat & Tata Caranya
Terakhir, tulisan ini kami tegaskan bukan untuk membungkam para ‘kritikus’ karena kritik adalah suplemen yang sangat dibutuhkan.
Tapi harus ada perbedaan antara bahasa kritik (konstruktif) dengan bahasa kebencian apalagi kebencian untuk tujuan membunuh karakter. Ini sangat tidak diharapkan.
Ciri-ciri kritik harus disesuaikan dengan tempat tinggal kita, Serambi Mekkah, di negeri syariah.
*) PENULIS adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Alumni MUQ Pagar Air.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.