Opini
Nilai-Nilai Edukasi Hikayat Prang Sabi
Hikayat Prang Sabi selesai dibacakan kepada seluruh pemuda baik pria maupun wanita dalam sekejab, darah mereka mendidih, menggelegar, dan semangat
Di Mekkah beliau memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya, seperti sejarah, logika, falsafah, sastr,a dan sebagainya. Di samping belajar, beliau mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Sebagai seorang yang berjiwa seni, beliau sangat gemar membaca buku-buku syair Arab, terutama karya penyair perang di zaman Rasulullah, seperti Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka'ab bin Zubir. Syair-syair mereka membimbing jiwa pemuda Muhammad di kala itu.
Di samping membaca kitab syair (diwaanusy-syi'r), Ia juga sangat gemar mempelajari sejarah pahlawan-pahlawan Islam yang kenamaan, seperti Khalid bin Walid, Umar bin Khattab, Hamzah, Usamah bin Zaid, Thariq bin Ziyad, dan lain-lainnya. Hal ini akhirnya memberi arah kepada Hikayat Prang Sabi yang akan dikarangnya. Setelah empat tahun bermukim di Mekkah, beliau telah menjadi ulama besar yang berhak memakai gelar Syekh dipangkal namanya, sehingga menjadi Teungku Chik (guru besar kalau istilah sekarang).
Pada saat meletusnya perang di Aceh 26 Maret 1873, Teungku Chik Pante Kulu sedang berada di Tanah Suci Mekkah (Abdullah Arif, t.t. 78). Sebagai seorang patriot yang ditempa sejarah hidup pahlawan-pahlawan Islam kenamaan, maka beliau bertekat pulang ke Aceh ikut berperang bersama ulama, sultan, panglima serta rakyat Aceh. Terlebih lagi, setelah mendengar khabar salah seorang sahabatnya, Teungku Cik Di Tiro telah diserahi tugas oleh kerajaan Aceh untuk memimpin perang semesta melawan serdadu-serdadu kolonial Belanda.
Keinginannya tidak bisa ditahan-tahan lagi, segera pada akhir tahun 1881 M, Tgk. Chik. Pante Kulu meninggalkan Mekkah menuju Tanah Aceh yang sedang dilanda perang hebat dengan Kaphé Belanda yang ingin mengusai tanah kelahirannya. Dalam perjalanan pulang, di atas kapal antara Jeddah dengan Penang, beliau berhasil mengarang sebuah karya sastra yang sangat besar nilai edukasinya, yaitu Hikayat Prang Sabi, sebagai sumbangsihnya untuk membangkitkan jihad melawan Kaphé Belanda. Setiba di Aceh dipersembahkanlah Hikayat Prang Sabi kepada Tgk. Chik. Di Tiro dalam suatu upacara khidmat di Kuta Aneuk Galong.
Sebelum kedatangan Tgk. Chik Pante Kulu di Aceh, masyarakat pada saat itu kurang memiliki jiwa perjuangan dan semangat tempurnya mulai menurun akibat bertahun-tahun menghadapi peperangan. Sebagai ahli strategi perang, Tgk. Chik. Pante Kulu mengarang Hikayat Prang Sabi yang di dalamnya berisikan pesan aqidah, ibadah, pendidikan dan perjuangan melawan kaphé Belanda dengan sangat mendalam. Selain itu, hikayat ini sengaja dikarang dalam huruf Jawi berbahasa Aceh, padahal saat itu ulama-ulama Aceh mengarang kitab dalam bahasa Melayu, sebagai bahasa populer dan bahasa diplomasi.
Hal ini menjadi kejutan besar sekaligus menjadi momok yang sangat menakutkan bagi Belanda, sehingga mereka frustasi dan tidak mampu memadamkan api semangat yang mulai berkobar-kobar dari seluruh mujahidin Aceh yang berlomba-lomba untuk mati syahid. Kekuatan semangat tempur mereka bagaikan gunung berapi menerbangkan abu ke langit, menghamburkan berton-ton batu ke udara serta memuntahkan lahar ke seluruh daratan. Wajar saja tentara Belanda sangat ketakutan bila berhadapan langsung dengan lasykar Aceh yang sudah berani dan tidak takut mati baik pria dan wanitanya.
Begitu dahsyatnya perang Belanda di Aceh hingga mereka meminta bantuan Prof Dr Christiaan Snouck Hurgronje untuk menyelidiki hal ini. Menurut Snouck, tentara Belanda pada agresi itu tidak mempelajari bahasa Aceh asli, karena orang Aceh hanya menggunakan bahasa Arab dan Melayu. Lebih lanjut Snouck menjelaskan bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin Aceh.
Pada saat yang sama, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Ditambah lagi latar belakang pendidikan masyarakat Aceh pada masa itu adalah pendidikan Dayah. Mereka berada dalam ikatan ulama dan santri, sekali pun seseorang tidak lagi menjadi santri dari sang ulama, mereka fanatik pada agama juga kepada guru/ulama mereka. Muatan isi Hikayat Prang Sabi yang diaktualisasikan penyampaiannya oleh juru hikayat tentulah akan membakar semangat perlawanan. Lebih-Iebih guru mereka sendiri sudah menjadi pimpinan sabil.
Semua akan membentuk barisan perlawanan yang hebat di belakang guru/ulama mereka. Sehingga Snouck Hurgronje mengambil kesimpulan "pembersihan" ulama dari tengah masyarakat Aceh, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh.
Prang Sabi kini bukan lagi seperti perang zaman dahulu, penulis mengajak kaum milenial untuk menjadikan Hikayat Prang Sabi sebagai spirit berjihad melawan hawa nafsu, memperbaiki diri, melawan kebodohan, melawan godaan setan, berjihad dengan dakwah, menegakkan keadilan, dan memfilter budaya luar yang tidak sesuai dengan syariat Islam.