Konservasi Perairan
DKP Aceh Dukung Penertiban Kompressor, Perlu Perlakuan Khusus untuk Lindungi Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi perairan adalah kawasan yang dikelola secara khusus. Sehingga proses hukumnya juga harus dilakukan secara khusus.
Penulis: Taufik Hidayat | Editor: Taufik Hidayat
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh mendukung upaya penertiban penggunaan mesin kompressor oleh nelayan sebagai alat bantu penangkapan ikan, karena dapat merusak habitat ikan (Destructive Fishing).
“Kami mendukung upaya pengawasan dan penertiban yang dilakukan Pokmaswas dan Polair Polres Simeulue, yang melakukan penindakan terhadap nelayan yang memakai kompressor saat menangkap ikan di Kawasan Konservasi Perairan,” kata Nizarli, Kabid Pengawasan DKP Aceh, kepada Serambinews.com, Kamis (17/12/2020).
Pernyataan ini disampaikan terkait penangkapan sembilan nelayan yang menggunakan kompressor oleh tim patroli Polair bersama DKP dan Pokmaswas, di Kawasan Konservasi Perairan Pulau Pinang, Pulau Siumat dan Pulau Simanaha (KKP PSISI) Kabupaten Simeulue, pada Senin (14/12/2020) malam.
Terkait proses hukumnya, Nizarli menegaskan, kawasan konservasi perairan adalah kawasan yang dikelola secara khusus. Sehingga proses hukumnya juga harus dilakukan secara khusus.
Karena jika dilakukan dengan pendekatan normatif atau sama dengan di luar kawasan konservasi, maka tidak akan menimbulkan efek jera dan keberlangsungan habitat terumbu karang yang ada di kawasan konservasi akan terus terancam.
“Karena itu, sangat dibutuhkan peran Polair dan pihak Lanal di Simeulue dalam melakukan penindakan terhadap nelayan dan pihak-pihak yang melakukan destructive fishing, khususnya di wilayah konservasi,” ujarnya.
Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009, sudah disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan, bisa dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda hingga dua miliar rupiah.
Karena itu, untuk memberikan efek jera, pihak penegak hukum diharapkan memberikan hukuman maksimal kepada nelayan yang tertangkap melakukan pelanggaran.
Baca juga: Tim Patroli Polairud, DKP dan Pokmaswas Tertibkan Penggunaan Kompressor, 9 Nelayan Ditangkap
Baca juga: Konflik Antarnelayan di Simeulue, Dipicu Soal Penggunaan Kompressor di Kawasan Konservasi Perairan
Baca juga: Mediasi Gagal, Polres Simeulue Lanjutkan Proses Hukum Dugaan Penganiayaan Nelayan
Upaya Pemerintah Aceh
Sementara itu, pihak Pemerintah Aceh melalui DKP juga akan terus mendorong pengelolaan dan pengawasan di kawasan konservasi perairan, yang diharapkan dapat mencegah laju kerusakan sumberdaya ikan di seluruh perairan Aceh.
Upaya yang sedang dilakukan Pemerintah Aceh saat ini, antara lain dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Konservasi, yang secara khusus mengelola kawasan-kawasan konservasi.
Selain itu, juga ada Rencana Aksi Pemerintah Aceh (RAPA) tentang pengawasan dan penanggulangan destructive fishing, yang merupakan sarana dan langkah penting untuk merumuskan strategi bersama , dengan melibatkan sebanyak mungkin stakeholder, dalam mengatasi pelanggaran penggunaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan, serta cara-cara penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut.
“Pelaksanaan rencana aksi ini akan kami upayakan dalam dua bulan ke depan,” ungkap Nizarli, Kepala Bidang Pengawasan di DKP Aceh.(*)
Baca juga: Daftar Khatib Jumat 18 Desember 2020 di Masjid Aceh Utara, Lhokseumawe, dan Bireuen
Baca juga: Pemuda & Janda Kembang Asyik Memadu Kasih di Toilet Umum, Sempat Kabur Saat Kepergok Patroli Petugas
Baca juga: Bolehkah Membuka Aib Pribadi Saat Curhat atau Minta Solusi Pada Orang Lain? Ini Kata Buya Yahya
Baca juga: VIDEO - Viral Aksi Sekelompok Pria Nyaris Baku Hantam Gara-gara Burung di Sebuah Festival