Pengamat Politik: Pengisian Jabatan Wagub Sangat Penting Bagi Stabilitas Aceh
Kekosongan kursi Wakil Gubernur Aceh sejak pelantikan Nova Iriansyah menjadi gubernur definitif menggantikan Irwandi Yusuf...
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Kekosongan kursi Wakil Gubernur Aceh sejak pelantikan Nova Iriansyah menjadi gubernur definitif menggantikan Irwandi Yusuf pada 15 September 2020 lalu tengah menjadi sorotan publik.
Sejumlah kalangan menilai jabatan wakil gubernur memiliki peran penting dan strategis, terlebih Provinsi Aceh pernah mengalami konflik yang cukup panjang dan menelan banyak korban.
Pengamat politik nasional, Karyono Wibowo, menyebutkan, fungsi wakil gubernur bagi Provinsi Aceh bukan sekadar memenuhi syarat normatif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tapi lebih dari itu, posisi wakil gubernur di Aceh memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan.
“Atas dasar itu, mengisi jabatan wagub merupakan keniscayaan untuk memelihara perdamaian demi membangun masa depan Aceh yang lebih baik,” ujar Karyono Wibowo, yang juga sekaligus Direktur Indonesia Public Institute (IPI) menanggapi posisi wagub Aceh yang masih kosong sejak 15 September 2020, di Jakarta, Minggu (3/1/2021).
Karyono menguraikan alasan pentingnya segera mengisi posisi wagub Aceh dalam sisa waktu jabatan periode 2017 - 2022 yang masih tersisa kurang lebih 20 bulan. Menurut dia, pengisian jabatan wagub adalah amanat undang-undang yang harus dilaksanakan.
Hal itu telah diatur dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
"Ketentuan yang mengatur jabatan wakil gubernur juga diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 63 ayat 1 menyebutkan kepala daerah dibantu oleh wakil kepala daerah," kata Karyono.
Karyono mengatakan, keberadaan wagub Aceh menjadi sangat penting, mengingat Provinsi Aceh saat ini memiliki tingkat kompleksitas masalah yang cukup pelik.
Provinsi Aceh masih tertinggal dibanding dengan provinsi lain di Pulau Sumatera. Aceh menempati provinsi paling miskin se Sumatera dan nomor 6 di seluruh Indonesia. Data PBS menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Aceh Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810.000 orang atau 15,01 persen.
Namun, Laju penurunan persentase penduduk miskin di Aceh dalam 17 tahun terakhir (2002-September 2019) mencapai 49,7 persen yaitu dari 29,83 persen menjadi 15,01 persen. Penurunan ini merupakan tertinggi kedua se-Sumatera.
Selain masalah kemiskinan, Aceh menghadapi tantangan berat soal besarnya jumlah pengangguran. Di Sumatera, jumlah pengangguran di Aceh berada di urutan kedua di bawah Kepulauan Riau (Kepri). Tingkat pengangguran di Kepri yaitu 5,57 persen atau berada diperingkat pertama dan Aceh sebesar 5,42 persen.
"Masalah kemiskinan, pengangguran, residu konflik masa lalu bisa menjadi persoalan besar yang bisa berujung pada krisis politik di Aceh, apalagi dalam situasi pandemi covid-19. Ini memerlukan penanganan serius dari pemerintah," jelas dia.
Karyono yang juga Direktur Indo Survey & Strategy (ISS) ini menyatakan, Aceh seolah mengalami kondisi anomali. Pasalnya, jumlah anggaran pembangunan (APBA) cukup besar tetapi tingkat kemiskinan dan pengangguran masih tinggi.
"Lihat saja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2021 sebesar Rp 16,9 triliun. Dana sebesar ini semestinya bisa dikelola untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran," ungkap Karyono.