Kemendagri Persoalkan Pokir DPRA Rp 2,7 T
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Anggaran Pendapatan
BANDA ACEH - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2021. Surat keputusan tentang hasil evaluasi tersebut sudah dikirim oleh Kemendagri ke Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dan DPRA. Salah satu isinya, Kemendagri mempersoalkan dana pokok-pokok pikiran (pokir) anggota DPRA yang jumlahnya mencapai Rp 2,7 triliun lebih.
Surat itu dikeluarkan Kemendagri menjawab surat Gubernur Aceh Nomor 900/17201 tanggal 30 November 2020 tentang evaluasi Raqan APBA Tahun 2021. Dalam Surat Keputusan Nomor 903-4732 tanggal 22 Desember 2020 itu, Kemendagri menyampaikan beberapa hal. Salah satunya, melarang penganggaran dana pokok-pokok pikiran (pokir) DPRA senilai Rp 2,7 triliun lebih atau 16,14 persen dari total belanja daerah dalam Raqan Aceh tentang APBA tahun 2021.
Kemendagri melarang dana tersebut bila alokasi anggaran itu tidak melalui tahapan seperti maksud dala Pasal 178 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 86 Tahun 2017. Pokir disebut menjadi masukan pada anggaran perubahan bahkan bisa diusulkan kembali pada APBA tahun 2022 nanti.
Hal itu ditegaskan pada point E dalam surat yang ditandatangani oleh Drs Komedi MSi atas nama Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, tersebut. Dalam surat itu disebutkan, pokok-pokok pikiran DPRD diselaraskan dengan sasaran dan prioritas pembangunan, ketersediaan kapasitas riil anggaran, serta disampaikan paling lambat satu minggu sebelum Musrembang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dilaksanakan.
Masih dalam surat tersebut, berkaitan dengan itu, pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan setelah melewati batas, akan dijadikan bahan masukan pada penyusunan perubahan RKPD sebagai dasar perubahan APBD tahun berjalan atau pada penyusunan RKPD tahun berikutnya.
"Berkaitan dengan hal tersebut, penyediaan anggaran yang bersumber dari pokok-pokok pikiran DPRA sebesar Rp 2.742.000.000.000 atau 16,14 persen dari total belanja daerah dalam Rancangan Qanun Aceh tentang APBA Tahun Anggaran 2021, dilarang untuk dianggarkan dalam Rancangan Qanun Aceh tentang APBA Tahun Anggaran 2021, apabila alokasi anggaran tersebut tidak melalui tahapan sebagaimana maksud dalam Pasal 178 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017," demikian bunyi penegasan surat tersebut.
Serambi, Kamis (7/1/2021) coba menelusuri dan menanyakan penjelasan lebih detail tentang surat evaluasi itu kepada tim TAPA atau DPRA. Awalnya, Serambi menghubungi Sekretaris DPRA, Suhaimi SH MH. Namun, Suhaimi enggan berkomentar. "Tidak ada sama saya (surat itu), bukan tidak mau kasih. Dan saya tidak berhak komen, saya hanya memfasilitasi rapat-rapat, kalau kita komentar subtansi takut salah. Surat Keputusan Mendagri itu masih sama pimpinan sepertinya," pungkas Suhaimi.
Kemudian, Serambi menghubungi Kepala Biro Humas dan Protokoler Setda Aceh, Muhammad Iswanto SSTP MM. Namun, Iswanto mengaku tidak mengetahui subtansi surat keputusan Mendagri tersebut. Lalu, Serambi coba menelusurinya ke pihak TAPA, yang dimulai dengan menghubungi Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Amrizal J Prang, sekira pukul 19.05 WIB tadi malam. Amrizal juga tidak memberi jawaban, dan ia justru menyarankan Serambi untuk menghubungi Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA), Bustami Hamzah SE MSi.
Tak menunggu lama, Serambi kemudian mengontak Bustami Hamzah. Kepada Serambi, Bustami sempat menjelaskan singkat, namun kemudian Bustami menyarankan Serambi untuk menghubungi Kepala Bappeda Aceh, Ir Helvizar MSi.
"Surat evaluasi itu ya? Itu di bawah kan ada pengecualiannya, disebut yang tidak masuk dalam RKA. Tapi, lebih bagus tanya ke Pak Helvizar, karena itu ada kecualinya di bawah yangtidak masuk RKA. Tanya ke Pak Helvizar, karena RKA itu ada di Bappeda," tukas Bustami.
Serambi pun langsung menghubungi Kepala Bappeda Aceh, Ir Helvizar MSi. Namun sayangnya, Helvizar juga enggan berkomentar dan justru meminta Serambi menanyakan hal tersebut kepada Sekda Aceh, dr Taqwallah MKes. "Waduh, jangan saya, saya kira, Pak Sekda saja," pungkas Helvizar. (dan)