Menolak Divaksin Dapat Dipidana, Pakar Hukum Kesehatan: Tidak Tepat
Pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej soal penerima vaksin dapat dipidana mendapat pro dan kontra.
SERAMBINEWS.COM - Vaksinasi Covid-19 mulai dilakukan hari di Indonesia.
Presiden Jokowi menjadi orang pertama yang mendapatkan suntikan vaksin Sinovac.
Namun, bagi masyarakat yang menolak untuk divaksin akan mendapatkan sanksi.
Pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej soal penerima vaksin dapat dipidana mendapat pro dan kontra.
Edward mengatakan, penolak vaksin Covid-19 dapat dipidana paling lama 1 tahun.
Lebih lanjut ia menegaskan, vaksinasi Covid-19 merupakan bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.
"Ketika pertanyaan apakah ada sanksi atau tidak, secara tegas saya mengatakan ada sanksi itu. Mengapa sanksi harus ada? Karena tadi dikatakan, ini merupakan suatu kewajiban," kata Edward dalam webinar yang disiarkan akun YouTube PB IDI, Sabtu (9/1/2021) lalu, dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Divaksin Covid-19 Perdana Bareng Presiden Jokowi, Raffi Ahmad Acungkan Jempol Saat Disuntik
Baca juga: Semakin Heboh di Aceh Besar, Tanah Aktif Mengalami Pergeseran, Warga Lamkleng Semakin Was-Was
Baca juga: Disuntik Vaksin Covid-19, Nama Raffi Ahmad Trending Topik Indonesia Setelah Tagar Jokowi Divaksin
Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan, ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 93 UU tersebut menyatakan, setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Sementara itu, pada pasal 9 UU yang sama, disebutkan bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
"Jadi ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah suatu kewajiban maka secara mutatis mutandis jika ada warga negara yang tidak mau divaksin maka bisa dikenakan sanksi, bisa berupa denda, bisa berupa penjara, bisa juga kedua-duanya," ujar Edward.
Baca juga: Manfaat Mendapatkan Vaksin Covid-19, Cegah Tertular dan Langkah Hentikan Pandemi
Baca juga: Rocky Gerung Tanggapi Ribka Tjiptaning Tolak Vaksinasi: Datang dari Ketidakpercayaan pada Vaksin
Sementara itu, sejumlah pihak memiliki pandangan berbeda dengan apa yang diutarakan oleh Wamenkumham.
Pakar Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Dr. Hasrul Buamona S.H.,M.H., menilai pernyataan Wamenkum HAM yang mempidanakan warga yang tidak mau divaksin Covid-19 adalah tidak tepat.
Ketika memberikan pernyataan tentang kemungkinan sanksi pidana, Wamenkum HAM Prof. Dr. Eddy OS Hiariej, SH.,M.Hum merujuk pada Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut Hasrul, Wamenkumham keliru bilamana Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 yang dijadikan dasar hukum untuk mempidanakan setiap orang yang tidak ingin divaksin, walaupun norma pidana dalam hal ini bersifat ultimum remedium.
Dalam Pasal 93 berbunyi "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
"Apabila kembali melihat defenisi kekarantinaan kesehatan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2018 adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat," ungkap Hasrul melalui keterangan pers yang diterima, Selasa (12/1/2020).
Hasrul menilai, dari defenisi ini sebenarnya lebih cenderung kepada pengaturan aktivitas sosial masyarakat yang mana hal ini kemudian terbagi dalam beberapa bentuk karantina yaitu Karantina Wilayah, Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
"Perlu diketahui kekaratinaan kesehatan lebih pada suatu kebijakan untuk pembatasan kegiatan dan pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular. Sehingga, secara hukum Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018 tidak tepat digunakan untuk mempidanakan setiap orang yang tidak ingin di vaksin Covid-19 sebagaimana dijelaskan di atas," terangnya.
Terkait Pasal 93 diatas, Hasrul mengingatkan bahwa terdapat asas hukum lex scripta, lex certa dan lex stricta.
Yang mana asas-asas hukum ini mengatur bahwa hukum pidana harus tertulis, jelas, tegas dan tidak bisa dianalogi.
Apabila Wamenkumham ingin terapkan sanksi pidana walaupun sebagai ultimum remedium, menurutnya, Wamenkumham dapat menggunakan Pasal 14 ayat (1) UU.4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular yang berbunyi.
“Barang siapa dengan menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1 juta," ujarnya.
(TribunnewsWiki.com/Restu, Wartakotalive.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Wamenkumham Nyatakan Penolak Vaksin Dapat Dipidana, Pakar Hukum Kesehatan: Tidak Tepat