Demokrat: Revisi UU Pemilu Jangan Ganggu Partai Lokal

Partai Demokrat mengingatkan Pemerintah dan DPR RI agar revisi UU Pemilu jangan sampai mengganggu partai politik

Editor: hasyim
FOTO DOK DEMOKRAT
Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, didampingi Sekretaris Jenderal (Sekjen), Teuku Riefky Harsya, memberikan pengarahan terkait Rencana Kerja 2021, salah satunya terkait tentang program legislasi nasional. Pengarahan berlangsung di kantor DPP Partai Demokrat, Kamis (14/1/2021). 

* Minta Pilkada 2022 dan 2023 tetap Dilaksanakan

BANDA ACEH - Partai Demokrat mengingatkan Pemerintah dan DPR RI agar revisi UU Pemilu jangan sampai mengganggu partai politik lokal (parlok) di Aceh. Demokrat juga tak setuju jika Pilkada 2022 dan 2023 digeser dan diserentakkan dengan Pileg dan Pemilu 2024.

Revisi UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menjadi agenda krusial yang harus diselesaikan DPR RI pada 2021 ini. Naskah RUU Pemilu yang merupakan usulan inisiatif DPR RI itu sudah masuk di badan legislasi dan telah dilakukan pembentukan panitia kerja (panja) untuk pembahasannya.

“Demokrat meminta revisi UU Pemilu ini tidak memberangus keberadaan partai lokal,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, Minggu (17/1/2021).

Partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengingatkan, partai lokal Aceh itu lahir dari hasil kesepakatan damai bersama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tertuang dalam MoU Helsinki. Karena itu, keberadaannya harus dipertahankan.

“Keberadaan partai lokal di Aceh harus tetap dipertahankan, karena merupakan hasil kesepakatan damai bersama antara Pemerintah Indonesia dan GAM yang tertuang dalam MoU Helsinki,” imbuh Herzaky.

Selain soal partai lokal di Aceh, Demokrat sebagaimana disampaikan Herzaky, juga berkepentingan agar revisi UU Pemilu semakin memenuhi prinsip-prinsip keadilan politik bagi Indonesia.

Pertama terkait Pilpres, Demokrat mengusulkan setiap parpol yang lolos ke parlemen memiliki hak untuk mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden. “Dengan demikian, masyarakat bakal memiliki lebih banyak pilihan calon pemimpin,” ujarnya.

Kedua, Partai Demokrat juga belum melihat urgensi dari peningkatan ambang batas parlemen. Peningkatan ambang batas parlemen, dikatakan Herzaky, hanya akan membuat semakin banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia. Merujuk pada Pileg 2014, jika ambang batas parlemen dinaikkan ke 5 persen, maka akan ada 19,8 juta suara yang terbuang sia-sia, meningkat dari 13,5 juta suara dengan ambang batas 4 persen yang sebelumnya berlaku.

“Sedangkan jika ambang batas parlemen menjadi 7 persen, akan ada 29 juta suara sah yang bakal terbuang atau menjadi wasted vote. Ini setara seperlima suara sah di tahun 2019,” sebutnya.

                                                                                                Pilkada 2022 dan 2023

Di samping itu, Partai Demokrat juga meminta agar Pilkada tahun 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan, tidak digabung dengan Pileg dan Pilpres 2024. Herzaky menyebutkan, ada tiga pertimbangan besar mengapa Demokrat meminta Pilkada tetap dilaksanakan di tahun tersebut.

Pertama, Pilkada bersamaan dengan Pileg dan Pilpres 2024 akan menciptakan beban teknis pemilihan berlebih bagi penyelenggara Pemilu dan ini bakal mengulang kembali tragedi meninggalnya ratusan petugas pada Pileg dan Pilpres 2019 lalu.

Kedua, munculnya permasalahan akibat penjabat kepala daerah yang terlalu lama menjabat. Penjabat kepala daerah ini tidak dapat mengambil keputusan strategis. “Sedangkan kita tidak pernah tahu, sebagai satu contoh, apakah tahun 2022 dan 2023 nanti isu pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi yang kita alami saat ini sudah berakhir?” tanyanya.

Ketiga, belum lagi jika mempertimbangkan faktor politik gagasan. Pengalaman Pemilu 2019, kampanye legislatif tenggelam oleh riuh rendahnya Pemilu Presiden. Perdebatan visi-misi di tingkat Pileg, Pilpres, dan Pilkada akan tumpang tindih.

“Isu pilkada akan tenggelam jika pelaksanaannya berdekatan dengan Pileg dan Pilpres 2024. Proses kompetisi pun sangat kompleks. Hal ini bisa memicu tindakan-tindakan ilegal laiknya politik uang, politisasi SARA, dan politik identitas secara terstruktur, sistematis, dan masif, demi kemenangan semata,” sebut Herzaky Mahendra Putra.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved