Opini
Ulama Yaman Ajak Umara-Ulama Aceh Lebih Bersatu
Saat ini saya berdomisili di Dayah Ummul Ayman III atau Dayah Mahasiswa, Meurah Dua, Pidie Jaya. Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa ustaz

AIDIL RIDHWAN, Lc, putra Pante Garot, alumnus Al Ahgaff University, Tarim, Yaman, mengabdi di Ummul Ayman, melaporkan dari Meurah Dua, Pidie Jaya
Saat ini saya berdomisili di Dayah Ummul Ayman III atau Dayah Mahasiswa, Meurah Dua, Pidie Jaya. Beberapa waktu lalu, saya bersama beberapa ustaz alumni dari Kota Tarim, Provinsi Hadhramaut, Republik Yaman, diajak oleh Wakil Bupati Pidie Jaya, H Said Mulyadi Al Habsyi MSi untuk menyambut dan menemani salah seorang ulama yang datang dari Yaman.
Ulama tersebut bernama Syaikh Shaleh bin Muhammad Al Faqier Al ‘Umari, syekh asli dari Kota Baidha, Republik Yaman bagian utara. Beliau merupakan keturunan langsung dari Sayidina Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar As-Shiddiq. Oleh karena itulah di akhir namanya beliau tambahkan dengan ‘Al-‘Umari’, penisbahan kepada Sayidina Umar.
Syekh baru kali itu melakukan dakwah ke Aceh. Selain berdakwah, Syaikh juga ingin menjalin hubungan erat dengan Bumoe Teuku Umar ini, mengingat Aceh-Yaman sebenarnya merupakan dua saudara yang punya hubungan dekat. Setelah memulai dakwah dari Medan, kemudian Langsa, Bireuen, Samalanga, malam itu syekh mengakhiri perjalanan dan menginap di Pendopo Wakil Bupati Pidie Jaya.
Kami tiba di pendopo beberapa menit sebelum azan magrib dikumandangkan. Sesampai di sana, kami bersama wakil bupati, para teungku, dan belasan khadimnya ikut menunggu kedatangan rombongan syekh yang bertolak dari kediaman Abu di Kuta Krueng. Sebelumnya syekh juga berkunjung ke Dayah Mudi Mesra, Samalanga.
Dua mobil rombongan syekh tiba di pendopo tepat saat azan magrib berkumandang. Setelah bersalaman, tak banyak basi-basi lagi, syekh langsung diajak masuk kamar. Tak lama kemudian, syekh keluar dari kamarnya dan mengimami shalat Magrib berjamaah di musala yang berlokasi di lantai dua.
Majelis ilmu
Selesai shalat Magrib, syekh bersama jamaah dipersilakan untuk makan malam yang telah disediakan. Sembari mencicipi makan-makanan yang dihidangkan, syekh melempar pertanyaan-pertanyaan terkait jenis makanan yang dicicipinya itu. Tentunya, makanan yang selama ini beliau lihat di Yaman tak beliau dapatkan di Aceh ini. Begitu juga sebaliknya, mulai kuah asam keu-eng, eungkot paya, hingga kuah teucr’ah pun tak pernah beliau cicipi di Yaman. Tak ayal, keseruan pun menghiasi majelis ‘asyak (makan malam) tersebut.
Selesai makan malam, acara dilanjutkan dengan pengajian, yakni majelis ilmu yang bertempat di mushala setempat juga. Pengajian itu bukanlah pengajian dadakan, tetapi memang majelis mingguan yang digelar bagi seluruh petugas atau pelayan di pendopo tersebut.
“Kami memang mengadakan majelis ilmu mingguan di pendopo ini. Tak hanya di sini, kami juga menggelar majelis ilmu di kediaman, di Ulee Gle untuk memperkokoh Ahlusunnah wal Jamaah,” ujar Wakil Bupati yang akrab dipanggil dengan sebutan ‘Waled’ itu kepada saya.
Biasanya, majelis mingguan itu diisi oleh teungku dari kalangan dayah juga, baik yang berdomisili di Meurah Dua maupun lainnya. Hanya malam itu, majelis diisi langsung oleh syekh dari Yaman. Tentu syakh memaparkan mauidahnya dengan menggunakan bahasa Arab.
Saya ditunjuk oleh teman-teman untuk menjadi penerjemah. Ini merupakan sebuah kehormatan bagi saya bisa berbagi ilmu kepada orang lain, meski hanya melalui penerjemahan dari mauidhah syekh. Di sisi lain, ketika saya lihat jamaahnya mayoritas dari kaum ibu-bapak, saya lebih memilih untuk menerjemah menggunakan bahasa Aceh. Menurut saya, bahasa Aceh itu lebih mengena dalam penyampaiannya dan lebih mudah untuk dipahami audiens.
Dalam ceramahnya, syekh sangat banyak mengulas tentang sikap, tanggung jawab, serta hubungan para umara (pemerintah) dengan ulama. Setelah mengulas panjang lebar, salah seorang jamaah bertanya kepada syekh seputar kekacauan perpolitikan di Yaman. Syekh pun menjawab panjang lebar. Menurutnya, kekacauan politik di Yaman karena umara (pemerintah) tidak dekat dan tidak saling mendukung dengan ulama.
Di Yaman, lanjut Syaikh, saat ini ada tiga kubu: 1) Pemerintah, 2) Ulama Ahlusunnah wal Jamaah, dan 3) Ulama duniawi (ulama pemecah belah bangsa). Ketika terjadi bentrokan pendapat dan perselisihan antara ‘pemerintah’ dengan ‘ulama pemecah’ inilah yang menyebabkan perpolitikan di Yaman begitu terpuruk.
“Di sisi lain, di Yaman ada pihak-pihak yang coba menjauhkan sistem pemerintahan dengan agama. Padahal, ketika kita mengaca kepada sistem yang dibangun Rasulullah saw, Baginda sendiri merupakan kepala agama sekaligus kepala negara di Madinah ketika itu. Ini menjadi bukti juga bahwa ‘agama’ dan ‘negara’ tidaklah kontradiksi. Ketika ketidaksepahaman dan saling arogansi di antara dua kubu inilah membuat sistem pemerintahan di mana pun akan berantakan,” ujar syekh.
Di majelis itu, syekh sangat menekankan agar ulama dan umara di Aceh saling mendekat. Syekh langsung berpesan kepada Wakil Bupati Pijay yang saat itu duduk di sebelah kirinya bahwa para umara dan ulama harus saling bersilaturahmi, lebih baiknya lagi para umara menawarkan serta menjelaskan program-program yang dijalankannya, serta meminta restu dari ulama.
Para ulama juga harus menerima umara dengan segala ketawadukannya. Begitu juga sebaliknya. Tidak boleh ada rasa sombong di dua pihak itu. Dua-duanya saling mendukung dalam menjalankan program selama dalam batas keadilan dan tak bertentangan dengan norma islami.
Jika pemerintah salah, maka kewajiban ulama adalah menegur dan memberi solusi atas kesalahan yang dilakukannya. Pihak pemerintah pun tak boleh arogan untuk mendengar dan menerima nasihat dari ulama. “Dengan sejalannya dua pihak inilah Aceh akan selalu aman dan jauh dari kemarahan Allah Swt,” imbuh Syekh Shaleh.
Jika sudah tak sejalan lagi dengan wejangan-wejangan ulama, syekh memberi gambaran bagaimana sikap ulama-ulama di Yaman dalam menganggapi kemelut tersebut. Ketika dua kubu (umara dan pengacau) di atas tadi saling berperang, maka ulama Ahlusunnah wal Jamaah semisal Al Habib Umar (Pimpinan Darul Musthafa), Prof Abdullah Baharun (Rektor Universitas Al Ahgaff), Al Habib Abu Bakar Al Adeni (Rektor Jamiah Wasathiyah, pencetus fikih Tahawwulat) dan ulama-ulama Ahlusunnah wal Jamaah lainnya pun tak mau ikut campur dalam perpecahan itu. Di sisi lain, selama pemerintahan itu legal, maka tak ada jalan bagi mereka untuk memberontak atau melawannya.
Tak sampai di situ, bahkan para ulama Ahlusunnah ini lebih memilih terus-terusan berdoa untuk keselamatan negeri mereka serta tetap fokus dalam belajar-mengajar; mencerdaskan generasi dengan ilmu, amal, akhlak, dan sesuai manhaj rahmatan lil ‘alamin, serta selalu menerapkan sunah-sunah Rasulullah saw.
Dengan kedekatan dan saling mendukung antara umara-ulamalah Aceh akan selalu damai dan sentosa dalam membina generasi-generasi negeri ini. Kesejahteraan rakyat pun akan semakin mudah untuk diraih. Semoga.