Lembaga Keuangan Syariah
BI: Biaya Transfer di Aceh Bisa Dikurangi, Terkait Keluhan Dunia Usaha dalam Penerapan Qanun LKS
Manajer Pengembangan dan Pelaksana Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Bank Indonesia (BI) Aceh, Yason Taufik Akbar.
BANDA ACEH - Manajer Pengembangan dan Pelaksana Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Bank Indonesia (BI) Aceh, Yason Taufik Akbar, mengatakan, biaya administrasi transfer antarbank untuk masyarakat Aceh dimungkinkan untuk dikurangi.
Hal itu ia sampaikan menanggapi keluhan dari pelaku usaha di Aceh serta saran dari pakar hukum terkait mahalnya biaya transfer antarbank menyusul ditutupnya kantor bank konvensional di Aceh, dampak dari penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah.
"Biaya transfer antarbank itu dimungkinkan untuk dikurangi," ujar Yason Taufik Akbar dalam acara diskusi interaktif dalam rangka peluncuran lembaga Lingkar Publik Strategis di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Selasa (9/2/2021).
Diskusi itu mengangkat tema 'Ekonomi Syariah dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Aceh'.
Yason menyampaikan hal itu menanggapi keluhan pelaku UMKM di Aceh yang mengeluhkan mahalnya biaya transfer antarbank.
Sebelumnya, salah satu pelaku UMKM, Dharul Bawadi mengatakan, dalam sekali transfer, potongan biaya administrasi yang dibebankan berkisar antar 6.500 sampai Rp 7.000.
Sementara dalam sehari, ia bisa melakukan transfer enam hingga 10 kali.
"Jika dihitung-hitung, biaya transfer yang saya keluarkan hampir dua gaji karyawan saya," ucapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua Apindo Aceh, H Ramli. Selain masalah biaya transfer yang mahal, keluhan lainnya, Bank Syariah tidak bisa mengeluarkan bank garansi untuk usaha rokok.
H Ramli mengaku sebagai salah satu pemasok rokok di Aceh.
Menanggapi hal itu, pakar hukum Mawardi Ismail, menyarankan agar Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) direvisi, dan kemudian mencantumkan aturan yang isinya agar perbankan di Aceh membebaskan biaya administrasi transfer antarbank.
Ia menjelaskan, sistem perbankan syariah yang juga bentuk implementasi Qanun LKS, merupakan monopoli operasional, sehingga bank konvensional dipaksa keluar dari Aceh.
Akibatnya, bank syariah mendapat keuntungan yang luar biasa dan aset menjadi besar.
Namun di sisi lain, sambung Mawardi, masyarakat dibuat menjadi beban dengan pembayaran biaya transfer antarbank yang begitu besar.
"Oleh karenanya, saya ingin beri saran konkret, kalau dengan qanun bisa kita memaksa bank konvensional keluar Aceh, masak dengan qanun kita tak bisa memaksa bank syariah yang punya keuntungan luar biasa tadi untuk membebaskan biaya itu, masak nggak bisa," pungkas Mawardi.
Pakar hukum ini juga mengatakan bahwa penundaan penerapan Qanun LKS di Aceh juga dimungkinkan, jika memang penerapannya dianggap menimbulkan masalah.
"Tetapi penundaan qanun harus dilakukan dengan qanun juga, karena itu yang paling memungkinkan adalah revisi," imbuhnya.
Menanggapi hal itu, Manajer Pengembangan dan Pelaksana UMKM BI Aceh, Yason Taufik Akbar, mengatakan, biaya transfer antarbank untuk masyarakat Aceh dimungkinkan untuk dikurangi.
"Kalau ditiadakan tidak mungkin juga, tetapi kalau dikurangi setengahnya dimungkinkan," ujar Yason.
Dalam kesempatan itu juga ia meminta Kepala Bank Syariah Indonesia (BSI), Nana Hendriana untuk memikirkan upaya mengurangi biaya transfer antarbank ini.
"Di BSI itu banyak dana murah dalam tanda kutip. Saya kira mengurangi biaya administrasi ini bukan suatu masalah," ujarnya.
Terkait dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Aceh pasca-penerapan Qanun LKS, Manajer Pengembangan dan Pelaksana Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM) Bank Indonesia (BI) Aceh, Yason Taufik Akbar, mengatakan bahwa peran perbankan dalam menopang perekonomian Aceh tidak terlalu besar.
Sektor perbankan disebutkan hanya menyumbang sekitar 30 persen dari perekonomian Aceh.
Selain itu, penerapan Qanun LKS ia katakan juga tidak berdampak terhadap aliran keluar masuk uang di Aceh.
"Pengamatan kami, jumlah uang di Aceh masih normal-normal saja, tidak ada uang yang keluar dalam jumlah besar seperti yang banyak dikhawatirkan selama ini," imbuhnya.
Dalam diskusi itu juga hadir Wakil Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Adi Surahmat, Kepala Biro Perekonomian Setda Aceh, Amirullah, Pakar Ekonomi Syariah, Hafas Furqani, dan Sekretaris HIPMI Aceh, Ridha Mafdhul.
Acara diskusi kemarin merupakan rangkaian dari peluncuran lembaga Lingkar Publik Strategis.
Koordinator Lingkar Publik Strategis, Rizki Ardial mengatakan, lembaga tersebut dibentuk untuk mengontrol sejumlah kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.
Lembaga ini merupakan wadah perkumpulan mantan aktivis kampus.
"Ini adalah sebuah wadah perkumpulan aktivis mahasiswa, aktivis jalanan, kita kumpulkan lagi yang sebelumnya mereka sempat aktif di kampus. Setelah lulus dari kampus mereka kehilangan wadah, jadi kita bentuk lagi wadah tersebut," ujar Rizki.(yos)