Haba Aneuk
Sudahkah Aceh Hebat melindungi anak?
Secara umum setiap Musrenbang Forum Anak juga turut diundang untuk memberikan masukan atau kontribusi. Serta menyerap aspirasinya dalam Perencanaan
Kasus Kekerasan Pelecehan Seksual di Aceh Jadi Perhatian Khusus
Kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak di Aceh menyita perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Termasuk soal penerapan hukuman cambuk yang dinilai tidak memberikan efek jera terhadap pelaku.
Untuk menjawab keresahan masyarakat, 19 Oktober 2020 DPRA telah mengadakan pertemuan lintas sektor.
Dalam pertemuan itu mencuat beberapa usulan termasuk wacana hukuman berlapis yaitu pelaku memungkinkan dijerat menggunakan qanun dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA).
Seperti diketahui di Aceh adanya dualisme hukum terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Beberapa daerah di Aceh, pihak kepolisian ada yang menjerat pelaku menggunakan qanun jinayah dan juga menggunakan UUPA.
Ketua Komisi I DPR Aceh Tgk Muhammad Yunus, mengatakan lintas sektor pemangku kepentingan di Aceh telah duduk membahas soal maraknya kasus kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap anak di Aceh.
Dari diskusi itu pihaknya mengambil kesimpulan untuk membentuk tim kecil membahas bagaimana proses hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku, serta keadilan bagi korban.
“Ini menjadi perhatian khusus DPRA, kita akan mencari solusi bagaimana penindakan hukum yang sebaiknya dijatuhkan kepada pelaku pelecehan seksual, agar mendapat hukum yang seberat-beratnya. Serta mencari alternatif bagaimana supaya pihak korban juga mendapatkan hak pemulihannya,” katanya.
Muhammad Yunus menyebutkan, pihaknya juga meminta dan mendorong pemerintah agar membangun penjara khusus bagi pelanggar syariat (qanun jinayah) di Aceh.
Hal itu dilakukan agar para pelaku selain merasakan efek jera, juga mendapatkan pembinaan khusus.
Selama ini pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk masih kerap menjadi sorotan publik. Musababnya, proses hukuman itu dinilai tidak memberikan efek jera, dan memungkinkan pelaku mengulangi lagi perbuatan serupa.
“Aceh berlaku hukum syariat islam (qanun jinayah), maka penjaranya juga harus ada yang penjara khusus,” kata Yunus.
Di dalam qanun jinayah terdapat 3 bentuk hukuman, yaitu takzir (denda), cambuk, dan juga penjara.
Menurut Yunus, agar pelaku bisa dihukum seberat-beratnya dan memberikan efek jera maka harus ada penjara khusus pelanggar qanun jinayah itu sendiri.
“Kita sangat mendorong dan mengusulkan kepada pemerintah Aceh supaya mengusulkan kepada Mahkamah Syariah, atau pihak Mahkamah mengusulkan ke Dinas Syariat Islam supaya ada penjara khusus bagi pelanggar qanun jinayah ini,” tuturnya. (*)