Balada Sampah di Negeri Bertuah
MIRIS sekaligus menyedihkan saat membaca berita di Harian Serambi Indonesia edisi Minggu (14/2/2021) bahwa Gedung Tempat Penyimpanan

OLEH YELLI SUSTARINA, asal Aceh Selatan, penulis di www.yellsaints.com, dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari Samadua, Aceh Selatan
MIRIS sekaligus menyedihkan saat membaca berita di Harian Serambi Indonesia edisi Minggu (14/2/2021) bahwa Gedung Tempat Penyimpanan Alat Pelaminan di Aceh Selatan Terbakar. Menyedihkan bukan saja karena kerugian material yang ditimbulkan peristiwa itu, tapi justru kelalaian manusia sebagai penyebab dari kebakaran itu terjadi. Menurut berita tersebut, sumber api yang menyebabkan kebakaran berasal dari pembakaran sampah yang berada dekat dengan dinding gudang tempat penyimpanan alat pelaminan yang bermaterial kayu. Dari kejadian itu bisa kita nilai betapa tidak tepatnya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh warga setempat.
Sependek pengetahuan saya yang pernah dulunya datang berkunjung ke daerah lokasi kejadian kebakaran, yaitu di Gampong Hilir, Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, daerah itu merupakan kawasan yang padat penduduk. Jadi, bila pembakaran sampah dilakukan di daerah padat penduduk, tentunya akan berisiko terjadinya kebakaran.
Selain itu, asap pembakaran sampah akan berdampak mengotori udara sekitar alias polusi yang akan berpengaruh bagi kesehatan pernapasan manusia. Namun, siapa yang peduli dengan semua itu? Toh, kenyataannya pengelolaan sampah di Negeri Bertuah ini belum dijadikan prioritas.
Aceh Selatan
Aceh Selatan merupakan daerah pesisir Aceh yang letaknya berhadapan langsung dengan Samudra Hindia. Meskipun demikian, daerah ini begitu beruntung karena tidak sempat dihantam oleh gelombang tsunami Aceh tahun 2004 silam. Padahal, kebanyakan rumah warga berada di sekitar bibir pantai, tapi Tuhan menyelamatkan negeri ini dari bencana besar itu. Ada yang mengatakan karena Aceh Selatan ‘negeri bertuah’.
Berbagai pendapat dan asumsi masyarakat pun bermunculan. Salah satu isu yang berkembang saat itu karena Aceh Selatan merupakan negeri bertuah (keramat) sehingga tidak terkena tsunami. Bahkan beredar kabar ada orang yang melihat sosok laki-laki tua berjubah putih berdiri di pantai sambil memegang tongkatnya seolah menahan gelombang besar saat kejadian itu. Laki-laki tua tersebut diyakini adalah Tuan Tapa, sosok yang menjadi cikal bakal nama kabupaten daerah ini. Namun, terlepas dari itu semua, Aceh Selatan sama dengan daerah Aceh lainnya yang juga berpotensi terkena bencana.
Sebagai warga Aceh Selatan, saya sangat bersyukur bisa terhindar dari bencana yang didatangkan dari laut itu. Saya juga bersyukur dengan ada tuahnya daerah ini, diuntungkan dengan kekayaan dan keindahan alamnya. Kami mempunyai banyak pantai yang begitu menggoda sehingga untuk berwisata cukup pergi ke belakang rumah dan langsung bisa memandang Samudra Hindia sambil melihat matahari tenggelam (sunset).
Kami juga mempunyai beberapa air terjun dan sungai yang bila badan terasa gerah, langsung bisa nyemplung tanpa harus beli tiket untuk bisa berendam di sana. Bukit dan pegunungan kami pun juga tak kalah memikat dan menjadi sumber mata air yang mengaliri sungai-sungai di sekitar tempat tinggal kami dan juga mengisi bak mandi kami. Dengan begitu, kami tidak perlu direpotkan untuk persoalan air bersih karena sudah disediakan oleh alam Aceh Selatan.
Menarik kan tinggal di sini? Namun ,yang menjadi persoalan di negeri ini ialah sampah yang tidak tahu ditangani bagaimana. Akhirnya, banyak yang memilih membakarnya hingga berujung pada kebakaran seperti kasus yang saya nukilkan di atas.
Perilaku warga
Pada tahun 2018, saya bersama komunitas Perempuan Peduli Leuser pernah melakukan observasi dan mewawancarai beberapa warga Aceh Selatan mengenai sampah. Hasilnya kami jadikan sebuah video singkat sebagai tugas belajar dari USAID Lestari tentang permasalahan yang ada di daerah Aceh Selatan.
Alasan kami mempermasalahkan sampah karena setiap hari kami melihat perilaku warga dalam menangani sampah ini. Misalnya saja di sekitar tempat tinggal saya, Gampong Air Sialang Hilir, Samadua. Setiap hari saya menyaksikan warga membuang sampah ke Sungai Air Sialang. Padahal, arus airnya tidak begitu deras sehingga sampah-sampah itu lebih banyak yang tersangkut di sepanjang sungai dan meninggalkan kesan yang tidak enak dipandang.
Hasil wawancara dari beberapa warga setempat mereka beranggapan sampah yang dibuang ke sungai nantinya akan hanyut sampai ke laut ketika hujan turun dan arus sungai besar. Jadinya mereka membuang sampah ke sungai, sebab hanya itu satu-satunya cara termudah menyingkirkan sampah dari rumah atau lingkungan mereka. Hal itu sudah dianggap lumrah dan menjadi sebuah kebiasaan tanpa merasa bersalah sama sekali.
Sedangkan hasil observasi kami untuk daerah pantai seperti pesisir Tapaktuan, warganya memang rata-rata membuang sampah ke laut. Bahkan saya saksikan langsung ada seorang laki-laki membuang sampah batok kelapa satu grek ke laut, ketika saya sedang bertandang di salah satu kafe di sekitar objek wisata Tapak Tuan Tapa. Adegan itu pun sempat terekam oleh kamera ponsel saya beserta dengan tumpukan sampah di sepanjang bibir pantai.
Rupanya di tahun 2019, BBC News Indonesia sempat menyoroti salah satu pantai di Aceh Selatan yang penuh dengan tumpukan sampah. Video yang diberi judul Pantai Indah yang Jadi ‘Tempat Sampah’ di Aceh diambil di lokasi pantai dekat salah satu restoran yang cukup terkenal di Aceh Selatan. Setelah ditelusuri oleh tim BBC, ternyata sampah yang berupa botol plastik, bungkus makanan dan minuman, hingga sedotan plastik adalah sampah yang dibuang dari restoran tersebut yang pemiliknya adalah seorang politisi setempat.
Padahal, di sekitar pantai tersebut merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh penyu untuk meletakkan telur-telurnya.
Begitulah kurang lebih perilaku warga dalam penanganan sampah. Mulai dari masyarakat biasa hingga seorang politisi pun juga melakukan hal yang sama karena belum ada peraturan atau sanksi tegas bagi yang membuang sampah ke laut atau yang membakar sampah di tempat yang tidak tepat. Lantas, bagaimana tindakan pemerintah setempat? Toh, hingga kini di tahun 2021 hal itu masih terus terjadi, menjadi sebuah balada yang berlanjut, sampai akhirnya muncullah kejadian seperti yang diberitakan di atas. Sayang, benar-benar sungguh disayangkan.