Opini
Akar Kemiskinan Aceh Menurut Indatu
Aceh kembali memperoleh predikat sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera
Oleh Dr. Jarjani Usman, M.Sc., M.S., Penulis adalah Dosen UIN Ar-Raniry
Dalam beberapa hari ini, Aceh kembali mengejutkan dunia dengan "prestasinya." Aceh kembali memperoleh predikat sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera. Ketika mengetahui hal ini, umumnya publik langsung menghubungkannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dan dana otonomi khusus (Otsus) yang mencapai 17 triliun per tahun. Sungguh ironis! Bagaikan menembak nyamuk dengan menunggang gajah.
Dalam memahami kemiskinan Aceh, ada baiknya mencermati akar kemiskinan menurut para ahli. Kata mereka, kemiskinan bisa terjadi karena faktor natural, faktor kultural/budaya dan faktor struktural (Soemardjan, 1980). Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor alam, seperti bencana alam, sakit, dan sejenisnya. Sedangkan kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh perilaku-perilaku buruk yang sudah membudaya dalam suatu masyarakat. Selanjutnya adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial masyarakat. Hanya golongan tertentu saja yang mudah memperoleh akses ke "kue" anggaran daerah, sedangkan golongan yang lain susah.
Sepertinya kemiskinan Aceh tak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Ini bukan bermaksud bahwa budaya Aceh menginginkan kemiskinan. Kalau diikuti, budaya Aceh malah mengajak untuk kaya. Buktinya, orang-orang Aceh di masa lampau banyak yang kaya raya. Misalnya, masyarakat Aceh mampu membeli sejumlah pesawat terbang untuk disumbangkan kepada Pemerintah Indonesia dalam membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah. Bahkan ada tokoh Aceh yang menyumbangkan berkilo emas untuk tugu Monas di Jakarta. Juga ada tokoh Aceh yang membeli sejumlah aset penting di kota Mekkah. Kekayaan sejumlah orang-orang Aceh masa lampau tak terlepas dari jiwa kaya dan perilaku entreprenurship dan smart dalam bekerja, sehingga berkiprah hingga hingga ke manca negara.
Namun budaya suatu masyarakat tidak statis, sifatnya dinamis atau berubah. Sebagaimana diakui banyak ahli, budaya yang ada dalam masyarakat bisa berubah seiring dengan perjalanan waktu. Saya juga menyakini masyarakat Aceh sudah mengalami perubahan secara budaya, terutama kalau melihat sejumlah praktek sekarang dalam masyarakat Aceh.
Berikut ini saya coba menyimak dan mengangkat perilaku-perilaku masyarakat, yang selanjutnya saya hubungkan dengan pesan-pesan indatu Aceh. Pesan pertama indatu Aceh: "Lagèe bue drop daruet" (seperti monyet menangkap belalang).
Perilaku bagaikan monyet menangkap belalang maksudnya monyet itu terus berusaha menangkap belalang-belalang, dan hasil tangkapannya dimasukkan ke ketiaknya. Lalu saat terus sibuk berusaha menangkap lagi, belalang yang sudah ada di ketiaknya terlepas dan terbang lagi. Singkatnya, meskipun sangat lelah bekerja menangkap, hasilnya nol.
Masyarakat Aceh harus mengakui adanya perilaku seperti ini. Contoh, tiap tahun kita meminta Pusat mengalokasikan dana untuk Aceh, bukan hanya APBA, tetapi juga dana Otsus. Namun, dalam kenyataannya, banyak dana hingga triliunan rupiah dikembalikan ke Pusat di akhir tahun, karena tidak mampu membelanjakannya sebagaimana direncanakan. Di samping itu, banyak anggaran digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Kalau memang Aceh menganut budaya kaya, setiap rupiah modal akan dibelanjakan untuk hal-hal produktif.
Dan orang-orang yang berjiwa kaya tak akan membiarkan dananya idle atau tak terpakai. Pesan kedua: "Seumula di ateuh meja" (menanam di atas meja). Peribahasa ini berkenaan dengan kebiasaan orang-orang yang "bekerja" menerawang di meja kopi mulai dari proses merencanakan penanaman, menanam, hingga menuai hasil panen. Padahal dalam
kenyataannya, tak ada satupun dikerjakan. Perilaku buruk yang mengarah kepada kemiskinan banyak dipertontonkan berbagai kalangan masyarakat di Aceh, termasuk orang-orang yang sudah digaji sebagai pegawai pemerintah. Tak sedikit yang menghabiskan waktu di warung kopi pada jam kerja, sehingga tidak aktif, produktif dan kreatif dalam bekerja. Kalau ada masyarakat yang menginginkan layanan, sering ada jawaban "sudah keluar sebentar."
Kalau di negeri-negeri maju, minuman teh, susu atau kopi sudah disediakan di kantor, yang diletakkan di ruang makan. Jadi pegawainya bisa datang ke ruang makan dan menuang air hangat, memasukkan gula, atau susu, lalu diaduk sendiri untuk diminum, tanpa harus keluar ke warung kopi. Dengan demikian, jam-jam aktif kerja akan selalu ada di kantornya. Kalau tidak, akan dipecat.
Pesan ketiga: "Le teungeut ngön jaga" (banyak tidur ketimbang terjaga). Sudah terjadi dalam masyarakat Aceh mengalami keterlambatan dalam perencanaan dan realisasi APBA.
Hal itu sudah menahun. Padahal kalau berjiwa kaya, orang-orang akan banyak "terjaga" agar mempersiapkan diri setiap tahun untuk merencanakan program-program pro-rakyat dengan tepat waktu.
Pesan keempat: "Publo keubeu blo eungköng" (jual kerbau untuk membeli kera). Dalam masyarakat Aceh, kerbau mempunyai banyak manfaat, sedangkan kera kurang bermanfaat.