PBNU: Bangsa Ini Teler Semua Kalau Setuju Pabrik Miras, Minta Pemerintah Tidak Sembrono Buat Aturan
Pengurus Besar Nahdatul Ulama ( PBNU) tegas menolak pembukaan keran investasi minuman keras (miras) oleh pemerintah.
SERAMBINEWS.COM - Pengurus Besar Nahdatul Ulama ( PBNU) tegas menolak pembukaan keran investasi minuman keras (miras) oleh pemerintah.
Hal ini disampaikan Ketua PBNU Said Aqil Siradj, beberapa jam setelah Presiden Joko Widodo ( Jokowi) mencabut Perpres Nomor 10/2021 lampiran nomor 31, 32, 33, 45, dan 46.
"Apapun alasannya, apapun pertimbangannya, kami PBNU menolak adanya investasi industri khamr (miras) ini," ucap Said Aqil di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Dampak sosial pembukaan keran investasi bagi industri miras sangat menakutkan.
Said Aqil menjelaskan, menyetujui adanya industri miras berarti menyetujui seluruh bangsa Indonesia menjadi pemabuk.
"Kalau kita menyetujui adanya industri khamr, berarti kita setuju kalau bangsa ini teler semua".
"Bangsa ini teler semua kalau kita setuju dengan pabrik khamr. Orang tidak ada pabriknya saja sudah kayak begini," tutur Said Aqil.
Selain itu, Said Aqil turut mengingatkan bahwa miras adalah hal yang diharamkan berdasarkan ajaran agama.
"Haramnya khamr ditegaskan dalam Alquran dengan ayat yang sangat jelas, tidak mungkin dicari jalan supaya menjadi halal, tidak mungkin," tegasnya.
Minta Pemerintah Tidak Lagi Sembrono Membuat Aturan
Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj meminta agar pemerintah tidak lagi sembrono dalam membuat aturan.
Hal ini berkaitan dengan munculnya lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur soal investasi minuman keras.
"Saya harapkan, lain kali tidak terulang lagi seperti ini. Jadi tidak kelihatan sekali sembrono, sembarangan begitu," ucap Said Aqil di Kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (2/3/2021).
Menurut Said Aqil, tidak ada pertimbangan dari sisi agama, etik hingga kepentingan masyarakat dari lahirnya aturan soal investasi minuman keras tersebut.
"Tidak ada pertimbangan yang bersifat agama, bersifat etik, bersifat kemasyarakatan langsung," tutur Said Aqil.