Internasional

Usai Muammar Khadafi Digulingkan dan Dibunuh, Libya Terpecah Belah, PBB Turun Tangan

Libya terus berkecamuk tanpa henti antara faksi-faksi yang berseberangan. Kondisi negeri yang tercabik-cabik perang itu terus berlangsung.

Editor: M Nur Pakar
AFP/Mahmud TURKIA
Pejuang pendukung Pemerintahan Nasional Libya (GNA) di Tripoli menjaga wilayah Abu Qurain, jalan masuk Ibu Kota Tripoli dan Benghazi pada 20 Juli 2020. 

SERAMBINEWS.COM, TRIPOLI - Libya terus berkecamuk tanpa henti antara faksi-faksi yang berseberangan.

Kondisi negeri yang tercabik-cabik perang itu terus berlangsung.

Seusai Kolonel Muammar Khadafi digulingkan dan dibunuh oleh warganya sendiri.

Khadafi yang dikenal nyentrik disingkirkan melalui bantuan tentara AS yang mengirimkan tentara dan persenjataan canggih pada 2011.

Sudah satu dekade, seusai kepergian sang pemimpin yang senang dengan pendamping puluhan wanita saat bekrunjung ke luar negeri, konflik belum juga usai.

Melihat kondisi itu, Tim pendahulu dari misi pengamat PBB telah tiba di Libya untuk merubah kondisi menjadi damai kembali.

Diawali dengan pemilihan pada Desember 2021, seperti dilansir Reuters, Rabu (3/3/3021).

Sekitar 10 staf Perserikatan Bangsa-Bangsa terbang ke ibu kota Tripoli pada Selasa (2/3/3021).

Mereka, ditugaskan untuk memantau gencatan senjata antara dua faksi bersenjata yang bersaing.

Baca juga: 8 Orang Sekeluarga Asal Sudan Tewas di Tengah Gurun Libya, Diduga Tersesat, Enam Bulan Hilang

Tim pengamat tak bersenjata juga bertugas memverifikasi kepergian ribuan tentara bayaran dan pejuang asing yang telah dikerahkan di negara kaya minyak Afrika Utara itu.

Kaena, sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi.

Libya dilanda kekacauan selama bertahun-tahun setelah pemberontakan yang didukung NATO tahun 2011 untuk menggulingkan diktator lama Muammar Khadapi.

Negara itu telah terpecah antara Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui PBB, yang berbasis di ibu kota dan didukung oleh Turki.

Kemudian, pemerintahan di timur yang didukung oleh orang kuat Kalifa Haftar, dengan dukungan Uni Emirat Arab, Mesir, dan Rusia.

Sumber diplomatik di Tunis mengatakan tim pendahulu, yang terdiri dari misi PBB di Libya dan para ahli dari markas besar PBB di New York, tiba melalui ibu kota negara tetangga Tunis.

Kedua belah pihak mencapai gencatan senjata pada Oktober 2020.

pembicaraan yang dipimpin PBB sejak itu menghasilkan pemerintahan sementara baru yang dipilih pada Februari 2020.

Dipimpin oleh perdana menteri sementara Abdul Hamid Dbeibah.

Baca juga: VIDEO - Program Pelatihan Sistem Pertahanan Udara, Turki Latih Tentara Libya

Menurut PBB, sekitar 20.000 tentara bayaran dan pejuang asing masih berada di Libya pada awal Desember 2020.

Batas waktu 23 Januari 2021 untuk penarikan mereka berlalu tanpa ada tanda-tanda penarikan mereka.

Dalam misi lima minggunya, akan melakukan perjalanan ke Sirte, sebuah kota di pantai Mediterania.

Berada di tengah-tengah pusat kekuatan timur dan barat, serta Misrata di barat dan Benghazi timur.

Sumber diplomatik di New York mengatakan tim itu akan menyerahkan laporan ke Dewan Keamanan PBB pada 19 Maret 2021.

Tentang gencatan senjata dan keberangkatan pasukan asing dari Libya.

Dewan Keamanan pada awal Februari 2021 meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengerahkan barisan depan pengamat di Libya.

Baca juga: Seorang Pria Libya Penikam Tiga Temannya di Inggris Dihukum Seumur Hidup

Menyusul kesepakatan gencatan senjata 23 Oktober.

Dalam sebuah laporan akhir tahun lalu, Guterres sendiri telah menganjurkan kelompok pengamat tidak bersenjata.

Terdiri dari warga sipil dan pensiunan personel militer dari negara-negara anggota Uni Afrika, Uni Eropa dan Liga Arab.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved