Opini
Mencegah Hoaks Melalui Pendidikan Karakter
Di zaman milenia atau akrab juga disebut era digital, banyak orang memanfaatkan media sosial untuk berinovasi dan berkreasi

Oleh Dr. Sri Rahmi, MA, Dosen UIN Ar Raniry, Ketua Asosiasi Program Studi Manajemen Pendidikan Islam Se-Indonesia
Saat ini kita memasuki zaman milenia yang memiliki berbagai nilai positif maupun negatif di dalamnya. Di zaman milenia atau akrab juga disebut era digital, banyak orang memanfaatkan media sosial untuk berinovasi dan berkreasi. Tidak jarang pula pengguna media sosial memanfaatkannya untuk beberapa hal, misalnya, untuk mengaktualisasikan diri, mendekatkan diri dengan keluarga, bahkan sebagai tempat mencari penghasilan.
Namun, ironisnya, di sisi lain ada juga yang memanfaatkan media sosial untuk melakukan kejahatan atau hal-hal yang merugikan orang lain. Salah satu bentuk kejahatan yang paling marak di media sosial, yaitu berita hoaks. Media sosial semestinya dimanfaatkan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan menyebarkan konten-konten positif.
Sayangnya, beberapa pihak memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang mengandung konten negatif. Jika hal tersebut dibiarkan, dikhawatirkan akan membahayakan generasi muda Indonesia.
Berita bohong (hoaks) di era digital dengan mudahnya tersebar. Hoaks menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengguna teknologi dan media sosial.
Berita dapat dikatakan hoaks jika mengandung unsur penyimpangan informasi, dramatisasi fakta, serangan privasi, pembunuhan karakter, dan meracuni pikiran anak. Hoaks dapat dikatakan sebagai informasi yang dapat berpotensi memecah belah masyarakat dan sangat merugikan semua pihak. Hoaks tidak saja dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang banyak. Bahkan hoaks atau berita bohong menjadi salah satu bentuk cyber crime yang kelihatannya sederhana, mudah dilakukan, tetapi berdampak sangat besar bagi kehidupan sosial masyarakat.
Hoaks dapat dikatakan sebagai pembunuhan karakter dalam bentuk cyber crime. Bahkan berita hoaks dapat dengan mudahnya tersebar serta menyulut emosi seseorang atau kelompok orang, sehingga hoaks dapat menjadi ancaman bagi masyarakat pengguna media sosial. Hoaks tidak mengenal orang tua, dewasa, ataupun anak-anak, karena hoaks dapat menimpa dan dilakukan oleh siapa pun. Oleh karena itu, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk mencegah berkembangnya hoaks, salah satu cara pencegahan yang dapat dilakukan melalui pendidikan karakter.
Di era digital saat ini, segala hal dapat diakses dengan mudah melalui media sosial. Anak-anak yang jiwanya masih polos dengan mudahnya meniru sikap atau karakter yang kurang baik dari orang dewasa dan para orang tua yang mereka lihat di media sosial.
Mereka dapat dikatakan sebagai peniru ulung. Kejujuran, kedisiplinan, dan juga tanggung jawab sebagai karakter yang utama bagi seseorang, saat ini sulit ditemukan terutama di media sosial. Menipu dan menyebar berita bohong merupakan karakter yang justru banyak berkembang di media sosial.
Melalui media tersebut orang dengan mudah melakukan penipuan maupun kebohongan. Mereka, baik para orang tua, dewasa, maupun anak-anak sudah terkena "virus" tersebut. Kondisi ini jelas akan merusak karakter anak bangsa di kemudian hari. Bangsa ini tidak akan lagi dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur karena para orang tua, pejabat, dan public figure telah mencontohkan karakter buruk bagi anak-anak bangsa.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi moral negeri saat ini sangat mengkhawatirkan. Korupsi, tindak asusila, penyebaran berita hoaks, dan tindakan tidak terpuji lainnya banyak dilakukan oleh masyarakat negeri ini. Bahkan berita, baik di televisi, media cetak, maupun di media online hampir setiap hari menyuguhkan tindakan tidak terpuji dari para pejabat dan juga public figure.
Salah satu kasus yang sangat marak terjadi di negara kita adalah penyebaran berita hoaks. Bahkan ada sebagian anggota masyarakat dengan alasan ekonomi menjadikan berita hoaks untuk meraup keuntungan secara pribadi atau kelompoknya. Dapat dipastikan bahwa orang yang suka menebar berita hoaks bukanlah orang yang berkarakter baik.
Karakter seperti itu tidak saja merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dibutuhkan keteladanan dari berbagai pihak untuk mendidik karakter anak bangsa. Orang yang patut menjadi teladan dan panutan di negeri ini adalah, para orang tua, pejabat, public figure, guru, dan seluruh anggota masyarakat.
Mereka merupakan orang-orang yang sepatutnya menjadi teladan bagi generasi muda. Keluarga menjadi garda terdepan untuk mencegah hoaks. Orangtua harus aktif saat anak mengakses media sosial.
Seluruh pihak hendaknya terlibat aktif menangkal hoaks, tidak terkecuali para pemimpin agama. Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal melekat dan mencerminkan akhlak Nabi Muhammad SAW, yaitu sidik, amanah, fatanah, dan tablig.
Sidik berarti benar, berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar, dan berjuang menegakkan kebenaran. Amanah berarti jujur atau terpercaya (baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim). Fatanah berarti cerdas, pandai, arif, berwawasan luas, terampil, dan profesional. Tablig berarti komunikatif (orang lain mudah memahami yang dibicarakan atau dimaksudkan Rasulullah).
Keempat nilai tersebut jika diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat dipastikan, pelaku penyebaran hoaks dan orang yang menjadi korban hoaks akan semakin berkurang.
Pendidikan literasi digital
Fenomena penggunaan media sosial sebagai media online semakin massif pada dekade ini. Kalangan muda sebagai generasi milenial atau digital native merupakan pengguna terbesar untuk semua jenis media sosial saat ini. Pentingnya program pendidikan literasi digital yang memberikan dampak positif bagi pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan media, terutama media sosial yang saat ini sering dijadikan sumber informasi oleh masyarakat kususnya kalangan generasi muda.
Pendidikan literasi digital, dapat menjadi program yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi kalangan usia muda sehingga muncul kesadaran penggunaan media sosial dengan cara yang bijak. Pendidikan literasi digital dapat menjadi solusi bagi pemerintah dan elemen masyarakat serta civitas akademika yang peduli terhadap kemajuan dan masa depan moral anak bangsa, terutama dalam pencegahan penyebaran berita hoaks.
Pendididikan literasi digital perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh siswa maupun guru. Guru mengajak siswa meluangkan waktunya untuk membaca. Siswa perlu dibiasakan untuk membaca berita dari berbagai sumber. Guru juga perlu berpartisipasi aktif dalam
memberi keteladanan penerapan budaya literasi di lembaga pendidikan tempatnya bertugas.
Artinya, guru pun tidak hanya menyuruh siswa, tetapi juga harus melakukan kegiatan membaca. Melalui pendidikan literasi digital, diharapkan siswa memiliki pertahanan yang kuat sehingga tidak mudah menjadi korban maupun pelaku penyebaran hoaks. Kesadaran untuk membaca harus ditanamkan dalam diri siswa sejak dini. Jika siswa tidak suka membaca, akibatnya siswa akan miskin informasi. Miskinnya informasi mengakibatkan siswa sulit memilah-milah mana yang hoaks dan mana yang bukan.
Sebaliknya, jika siswa terbiasa membaca, ia akan lebih mudah mengenali hoaks. Semoga pemerintah konsisten dan menjadikan prioritas utama dalam membentuk generasi muda Indonesia agar mempunyai kecerdesaan literasi digital yang tinggi dan karakter yang kuat, sehingga dapat menjadi benteng diri agar tidak mudah dipengaruhi oleh berita-berita hoaks yang dapat melunturkan persatuan dan kesatuan bangsa.