Kupi Beungoh
Mengenang 8 Tahun Meninggalnya "Gam Cantoi"
Saya ingin mengenang Gam Cantoi seperti katak yang menanti hujan; penuh kerinduan.
Oleh: Fadhli Espece *)
JIKA saya ditanyai apa yang paling membekas dalam ingatan tentang Harian Serambi Indonesia, maka satu-satunya jawaban yang akan saya berikan adalah Gam Cantoi.
Ya, tokoh fiktif yang jenaka itu tidak pernah bisa saya lupakan. Saya ingin mengenang Gam Cantoi seperti katak yang menanti hujan; penuh kerinduan.
Layaknya kereta yang meninggalkan stasiun, kepergian Gam Cantoi menyisakan sejuta kenangan.
Gam Cantoi adalah tokoh fiktif jenaka dalam bentuk karikatur karya seniman Muhammad Sampe Edward Sipahutar.
Di Harian Serambi Indonesia, Gam Cantoi menjadi salah satu rubrik yang paling ditunggu-tunggu oleh semua kalangan di Aceh.
Baca juga: Gam Cantoi is Back

Orang Aceh kelahiran millennium dua puluh tahun lalu, chik-putik tuha-muda, memiliki hubungan emosional tersendiri dengan tokoh karikatur dalam rubrik ini.
Rubrik Gam Cantoi terdiri atas tiga kolom. Kolom pertama biasanya menggambarkan tentang problematika yang sedang menjadi kegelisahan publik di Aceh. Ia selalu aktual.
Gam Cantoi selalu merespon fenomena-fenomena sosial yang sedang diperbincangkan dengan karakter khasnya yang nyentrik.
Problematika yang diangkat dalam kolom pertama kemudian ditegaskan dalam kolom kedua dalam bentuk yang lebih kompleks.
Dalam kolom kedua kita akan sering melihat Gam Cantoi yang akan menyiapkan kejutan dengan trik-trik akal bulusnya.
Kolom ketiga seringkali menjadi titik klimaks. Gam Cantoi sangat cerdik dalam menyiasati berbagai problematika yang diangkat di kolom pertama dan kedua.
Dengan akal bulusnya Gam Cantoi sering menawarkan jalan keluar yang menggelitik dan solusi yang nyeleneh.
Baca juga: Netizen Aceh Rindukan Kehadiran GAM Cantoi

Terkadang apa yang dipikirkan Gam Cantoi di sini adalah sebagai bentuk sindiran kepada instansi-instansi tertentu.
Secara tidak langsung ia telah menjadi watchdog dalam bentuk kartun dan karikatur.
Gam Cantoi yang lucu itu memiliki penampilan yang unik. Postur tubuhnya kurus kering, rambutnya keriting, kecuali satu helai yang menjulang ke langit.
Pakaiannya sederhana; perpaduan antara kaos oblong dan celana panjang dengan kombinasi sarung yang dipinggang di atas lutut.
Karakter yang seperti ini berbanding terbalik dengan sang pengarangnya; M Sampe Edward.
Dalam merekam peristiwa di sekeliling, Gam Cantoi terkadang juga mengikutsertakan keluarganya.
Anak-anaknya berkepala plontos, juga dengan sehelai rambut seperti upin.
Istrinya memakai jilbab, mungkin untuk menegaskan Aceh sebagai daerah syariat Islam.
Baca juga: Senyum Abadi Gam Cantoi

Dalam kasus tertentu, sindirian dan kritikan terhadap perilaku pejabat misalnya, tokoh-tokoh imajinatif dengan penampilan yang serupa juga diikutsertakan.
Bagi sebagian orang, rubrik Gam Cantoi menjadi hidangan pembuka sebelum membaca berita.
Bagi sebagian lainnya, seperti anak-anak, rubrik Gam Cantoi adalah alasan mengapa mereka harus membuka lembaran Harian Serambi Indonesia.
Pada masanya, Gam Cantoi merupakan tokoh legendaris yang menjadi ikon Harian Serambi Indonesia.
Tanpa kehadirannya, Harian Serambi Indonesia ada yang kurang, seperti asik asik tanpa jos dalam Joget Caisar di salah satu TV swasta nasional dulu.
Gam Cantoi menjadi unik karena mampu menyampaikan pesan kepada publik tanpa harus menggunakan dialog.
Gam Cantoi hadir untuk merespon realitas sosial yang dikemas dalam bentuk sindiran-sindiran yang menggelitik dan lelucon yang sangat menghibur.
Baca juga: Tampilkan Kembali Gam Cantoi

Ia dapat menjadi hiburan di tengah kesenjangan dan ketimpangan sosial yang sedang terjadi di Aceh.
Kartun ini biasanya menyapa para pembaca di halaman tiga Harian Serambi Indonesia. Pelanggan setianya selalu menunggu Gam Cantoi di bagian paling bawah.
Sampai suatu ketika, Gam Cantoi tak lagi menyapa di rubrik spesialnya.
Rupanya sang pengarang, M Sampe Edward, sedang mendapat perawatan atas penyakit yang menderanya. Sejak saat itu, Gam Cantoi tidak pernah muncul lagi.
8 tahun lalu, tepat pada 30 Maret 2013 sosok di balik kebesaran nama Gam Cantoi itu berpulang.
M Sampe Edward meninggal dunia karena penyakit akut yang menggerogoti tubuhnya.
Sejak saat itu pula, Gam Cantoi tidak akan pernah hadir lagi. Ia juga ikut berpulang bersama dengan kepergian sang pengarangnya.
Beberapa hari menjelang kepergiannya, M. Sampe Edward sempat melawan rasa sakitnya. Ia meminta kertas dan pensil kepada istrinya.
Kertas dan pensil itu ia gunakan untuk melukis Gam Cantoi (Serambi Indonesia 31/3/2013). Mungkin untuk melepas kerinduan kepada sosok yang telah menyatu dengan dirinya.
Bagaimana pun M. Sampe Edward telah berhasil mencuri hati rakyat Aceh dengan kartun legendarisnya.
Ia telah memilih seni sebagai jalan untuk mengekspresikan kritik dan sindirannya. Jalan yang ia yakini dapat membuka mata hati untuk perubahan yang lebih baik.
Maka dari itu, untuk mengenang Gam Cantoi mari sejenak kita tundukkan hati dan kepala, kita kirimkan seuntai do’a, untuk ia yang telah tiada, M. Sampe Edward kebanggaan kita!
Gam Cantoi Itu Pulang...
Seperti diberitakan Harian Serambi Indonesia edisi Minggu, 31 Maret 2013.
JAUH dari kesan humoris dan lucu. Melainkan kelihatan serius dan bersungguh-sungguh.
Itulah sosok Muhammad Sampe Edward Sipahutar, figur sentral dari tokoh Gam Cantoi, kartun yang diterbitkan Harian Serambi Indonsia sejak 1989.
Kini, Gam Cantoi dari buah tangan Sampe takkan muncul lagi dan tidak bisa lagi mengisi halaman Serambi.
“Gam Cantoi” karya Sampe telah pergi bersama berpulangnya Sang Maestro ke Rahmatullah, Sabtu 30 Maret 2013 sekitar pukul 18.50 WIB di RS Herna, Medan.
Sudah sejak lama ia dirawat akibat deraan penyakit yang hinggap di tubuhnya. Innalillahi wa innailaihi raji’un.
Lelaki batak, itu, adalah sisi lain dari wajah Serambi Indonesia. Celoteh dan tingkah polah Gam Cantoi merupakan wujud satir kehidupan sekeliling kita.
Muhammad Sampe Edward dengan tangkas menyerap seluruh peristiwa sekeliing kita, baik semasa dicekam konflik atau pada era damai. Ia merefleksikan perikehidupan masyarakat dalam kegenitan wujud Gam Cantoi.
Sampee Edward adalah sosok kontras Gam Cantoi. Ia memiliki postur tubuh tinggi besar. Vokal berat dan berbicara selalu dalam aksen Medan dengan nuansa Batak.
Sementara Gam Cantoi yang menjadi ikon Serambi dilukiskan dengan sosok bertubuh ceking, dengan sehelai ujung rambut runcing melambai-lambai.
Gam Cantoi tampil menggelitik, bahkan membuat merah kuping yang menjadi sasaran “olok oloknya”.
Banyak pembaca Serambi merasakan belum lengkap apabila belum menyaksikan “tingkah polah” Gam Cantoi.
Tidak sedikit dari pembaca yang langsung melahap Gam Cantoi, sebelum beralih ke halaman lainnya.
Kini Gam Cantoi itu telah pulang ke alam keabadian. Meninggalkan lembaran kenangan bagi Aceh yang menjadi tanah kelahirannya ke dua.
Di Tanah Serambi Mekkah ini ia menemukan hidup dan menyunting gadis Aceh, drh Cut Intan Manfadzi yang begitu setia mendampingi Sampe Edward sampai saat-saat terakhir.
Sampe juga meninggalkan seorang putra, Alwafi Hafizan (16 tahun ketika tahun 2013-red).
Betapa pun, keluarga besar Serambi tak bisa melupakan Sampe Edward. Terutama ketika dia yang hadir dari kultur Batak itu, berusaha keras menelaah karakter Aceh untuk dituangkan dalam kartunnya.
Dia akhirnya berhasil menciptakan suatu sosok yang ternyata kemudiannya begitu digemari oleh masyarakat.
Karena itu, tak jarang sejumlah orang, bahkan anak-anak datang ke kantor Serambi hanya untuk melihat mana gerangan si pelukis Gam Cantoi.
Sampe sendiri menyambut fans-nya dengan ramah, walaupun penampilannya memang selalu serius, dan rada pendiam.
Figur yang akrab dipangggil dengan “Pak Cik” oleh rekan-rekannya sekantor, toh bisa juga tertawa ngakak kalau ada hal-hal lucu.
Kultur Batak memang akhirnya luluh, ketika dia pada tahun 1990 memeluk Islam.
Dia disyahadatkan oleh Ketua MUI waktu itu, Prof Ali Hasjmy. Sejak itu “Muhammad” Sampe menjadi muslim yang taat, dan begitu menyatu dengan kultur Aceh.
Sekitar tahun 2009 dia terkena penyakit yang serius. Meskipun sakit, Sampe tetap terus memproduksi kartunnya.
Namun penyakit yang diderita makin hari makin parah. Ia terpaksa absen melukis, dan harus dirawat di rumah sakit di Medan.
Seiring dengan bergulirnya waktu, Sampe pun terus berjuang melawan penyakit yang begitu kejam menggerogoti.
Beberapa hari lalu, menjelang pangggilan Allah, tiba-tiba Sampe bangun dari sakitnya.
Dia meminta kertas dan pensil. Istrinya menuruti permintaan itu. Ternyata Sampe melukis Gam Cantoi untuk melepas kerinduannya pada kartun yang telah menjadi darah dagingnya.
Tubuhnya begitu lemah, tapi sosok kartun itu dapatnya diselesaikannya, diiringi linangan air mata sang istri tercinta.
Mungkin, Sampe tak sekadar rindu pada kartun legendaris itu. Tapi dengan itu ia ingin menyatakan, betapa Sampe sudah benar-benar menjadi orang Aceh.
Dan, di tanah ini pula jasadnya terpeluk dalam iringan doa dan kemuliaannya. Gam Cantoi itu telah pulang.(fik/sjk)
*) PENULIS, Fadhli Espece (Peminat Kajian Sosial-Budaya dan Politik. Selain itu, juga Penikmat Sastra, Seni, dan Budaya)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Sebagian artikel ini juga telah tayang di serambinews.com dengan judul Gam Cantoi Itu Pulang...