Opini
Pilkada Aceh: Dulu dan yang Akan Datang
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh selalu memiliki banyak sisi menarik. Saat pilkada pertama 2006, alih-alih berpasangan
Pilkada Aceh berikutnya belum pasti kapan. Jokowi-Puan sudah memutuskan tak ada pilkada 2022 dan 2023, melainkan harus serentak semuanya pada 2024 (sesuai dengan UU No. 10/ 2016). Sebaliknya, berbagai kalangan di Aceh berharap pilkada di Aceh berlangsung pada 2022. Bahkan Mualem mengaitkan hal tersebut dengan ketentuan MoU
Helsinki dan UUPA dan berniat menemui langsung Jokowi untuk meminta pilkada di Aceh dilaksanakan tahun depan. Muncul pertanyaan, akan efektifkah MoU Helsinki dan UUPA sebagai alat tawar? Akankah UUPA dianggap sebagai "lex specialis" oleh Jakarta?
Lalu, akankah ada gugatan secara hukum jika Jakarta tetap tak mengizinkan pilkada berlangsung di Aceh pada 2022? Jawaban atas beberapa pertanyaan di atas angat menarik untuk ditunggu. Jika ada gugatan, maka ini kembali mengingatkan publik ke pilkada-pilkada Aceh sebelumnya: PA menggugat ke MK agar memperpanjangn masa pendaftaran pada 2012, Irwandi-Muhyan menggugat Zaini-Muzakir pada 2012 dan Muzakkir-TA Khalid menggugat Irwandi-Nova pada 2017. Tak ada yang salah dengan seluruh gugatan ini karena memang ada hak secara hukum.
Siapa figur yang akan maju pun mulai menyita perhatian masyarakat. PA mencalonkan kembali Muzakir dengan cawagub yang mungkin saja dari PA (mengulang keputusan 2012) atau dari non-PA, baik dari bagian timur-utara Aceh atau bagian tengah, atau bahkan barsela Aceh. Tentang figur semakin seru ketika, alih-alih berfokus pada calon internalnya, PKS mengumumkan 11 cagub dari lintas partai yang di dalamnya termasuk Mualem, Nova, dan beberapa tokoh lainnya termasuk M Nasir Djamil dan Ghufran dari PKS.
Partai ini kelihatannya bermain "cantik," pragmatis, dan sadar dengan realitas politik. Dengan keputusan semacam itu, maka setidaknya PKS berharap jika yang terpilih adalah dari luar PKS, maka cawagubnya dari PKS. Misalnya Mualem-Nasir. Atau jangan-jangan, PKS akan bikin Nasir "head-to-head" dengan Mualem.
Beberapa parnas lain juga mulai memunculkan nama-nama cagub yang umumnya berasal dari kalangan internal atau ketua umum DPD.
Sedangkan posisi cawagub belum banyak dibicarakan. Tentu menarik untuk melihat, dengan mengacu kepada pilkada 2006, 2012, dan 2017, "perkawinan" semacam apa yang akan terjadi: parlok-parnas, parnas- parnas, parlor-parlok, atau mungkin ada kuda hitam yang maju melalui jalur independen. Juga menarik untuk melihat, apakah figur-figur yang muncul atau dimunculkan itu adalah dengan asumsi pilkada diselenggarakan 2022?
Bagaimana jika ternyata pilkada harus 2024, apakah nama-nama yang muncul itu tetap ataukah akan muncul nama-nama lain, misalnya dengan alasan kesehatan, kemampuan ekonomi, atau nama-nama baru ini lebih "moncer" elektabilitas, popularitas, dan kapasitasnya?
Menurut saya, semuanya serba mungkin: bisa tetap tak ada perubahan atau terjadi perubahan di sana-sini. Tetapi, apa pun kondisinya, satu hal yang paling penting: semua harus berproses dalam semangat demokrasi (partisipatif, berdasarkan hukum, jujur, adil, dan damai). Kekuasaan hanya berharga jika semua ini terpenuhi.