Bincang Kopi

Dr Joni MN: Ragam Hias Gayo Sudah Ditemukan Sejak Zaman Prasejarah, dari Gerabah, Tiang Kayu & Rumah

Merujuk hasil temuan  arkeologi di Loyang Mendale, Loyang ujung, Karang, Loyang Pukes dan Loyang Muslimin yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera...

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
For Serambinews.com
Dr Joni (kanan bawah) saat menjelaskan makna dan filosifi kerawang Gayo. 

Laporan Fikar W Eda | Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Merujuk hasil temuan  arkeologi di Loyang Mendale, Loyang ujung, Karang, Loyang Pukes dan Loyang Muslimin yang dilakukan Balai Arkeologi Sumatera Utara, ternyata ragam hias motif Gayo yang sekarang dikenal dengan kerawang Gayo sudah ada sejak   zaman Gayo Prasejarah, berusia  3000-4000 tahun.

Dr Joni MN MPd BI dari Majelis Adat Gayo (MAG) Aceh Tengah, dalam “BincangKopi #7 Musara Gayo” secara virtual, Sabtu (10/4/2021) malam, menerangkan, awalnya motif Gayo dibuat pada gerabah atau tembikar.

Pada era berikutnya, diukir pada tiang dan beberapa bagian dari rumah tempat tinggal. Lalu berkembang lagi, motif-motif Gayo itu dilekatkan pada tikar, dan terakhir dijadikan hiasan pada kain dan pakaian seperti yang sekarang banyak ditemui.

“Jejak-jejak motif Gayo pada gerabah dapat dilihat pada temuan Tim Arkeologi Sumatera Utara pimpinan Dr Ketut Wiradnyan. Kemudian para periode berikut dijadikan hiasan rumah, lintem atau tikar dan kemudian pakaian,” kata ahli mitologi alumnus Universitas Negeri Surakarta ini.

Kajian yang dilakukan Dr Joni menyebutkan, motif-motif Gayo pra sejarah yang terdapat pada gerabah itu, dikenali sebagai  Pucuk Rebung,  Leladu, Emun Berangkat, Puter Tali, dan Lelayang.

Dijelaskan, Pucuk Rebung dalam Peri Mestika diungkap sebagai  lemen bertona pantas berule, taring beray, artinya  bimbing dan arahkan rakyat yang belum tau dan cari-bukti dan alasan-alasan yang  tepat atas kasus yang  ditangani.

 Leladu djelaskan sebagai “Sebujur Aceh, selintang Batak” yakni gambaran luas wilayah Gayo pada saat itu.

Selanjutnya, Emun Berangkat  diungkapkan empit ngenaken lues,  nyanya ngenaken temas, artinya berkembanglah, jangan  hanya hidup di situ-situ saja, carilah kehidupan  agar tidak merasa kesulitan dan tidak merasa kesempitan.

Kemudian motif Lelayang diungkapkan dengan ungkapan pemulo manisen, iakhere ku gule, yaitu hiasan yang dipakai pada sanggul,  bermakna segala sesuatu harus diawali dengan baik  dan juga diakhiri juga  harus dengan sempurna baik.

Dr Joni MN menerangkan motif-motif pada tiang dan rumah, dipakai sejak  adanya Merah Bujang Genali.

Filosofi kata “kerawang” menurut Dr Joni berasal dari kata “Ker” dan “Rawang”. Dalam bahasa Gayo makna “Ker” adalah dipaskan dalam hati, setelahnya di “Rawang” atau diterawang, yakni  dimasukkan ke dalam fikiran untuk mencari perwakilan wujud niat hati/ maksud hati dari  hasil yang sudah disesuaikan dengan gerak dari dalam hati tersebut.

Berdasarkan perkembangan dan kebutuhan manusia, Joni membagi penyematan motif ragam hias “kerrawang”  menjadi dua bagian, yakni “Kerawang Edet” atau khusus untuk atribut adat dan  bagian budaya yang mengisi ruang-ruang budaya dan kegiatan-kegiatan lainnya yang digunakan sehari-hari.

Jponi juga menyampaikan motif-motif yang digunakan berbeda satu sama lain, sesuai dengan wewenang dan fungsi si pemakai. “Kalau reje motifnya beda dengan yang dikenakan imem atau petue,” Joni.

“BincangKopi #7 Musara Gayo” itu juga dihadiri Ketua Dekranasda Aceh Dr. Ir. Dyah Erti Idawati, MT, ketua Dekranasda Aceh Tengah Puan ratna, Sekretaris Dekranasda Bener Meriah Muthma Inna, ST dan perwakilan Dekranasda Gayo Lues.(*)

Baca juga: Detik-detik Remaja Hadang Truk hingga Tewas Terlindas di Bogor, Sopir Bisa Jadi Tersangka

Baca juga: Respon Survei IPO, Motivasi untuk Kinerja Lebih Baik Bagi Kemendagri

Baca juga: Ketua MAA Aceh Barat: Pembagian Daging Meugang PT Mifa Luar Biasa

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved