Masjid Tuo Al-Khairiyah Tapaktuan, Tempat Menimba Ilmu Sejumlah Ulama Aceh

Kita akan melihat sebuah masjid berdinding kayu bernama Masjid Tuo Al-Khairiyah

Editor: bakri
SERAMBINEWS.COM/TAUFIK ZASS
Masjid Tuo Al-Khairiyah, Tapaktuan, Aceh Selatan 

JIKA melintas di Jalan Teuku Umar Kampung Padang, Kecamatan Tapaktuan, Aceh Selatan, kita akan melihat sebuah masjid berdinding kayu bernama Masjid Tuo Al-Khairiyah. Masjid ini diperkirakan sudah berusia lebih satu abad.

Berdasarkan catatan yang ada pada salah satu tiang, Masjid Tuo Al-Khairiyah ini dibangun pada tahun 1276 Qamariyah atau sekitar 1860 Miladiyah, dengan ukuran bangunan induk 10x10 meter dan memiliki tiang masjid yang berukuran panjang sebanyak 4 buah, dan 12 buah tiang berukuran pendek.

Konon kabarnya tiang-tiang tersebut adalah sebatang pohon kayu yang tumbuh di lokasi Masjid itu. Dari beberapa sumber pembangunan masjid ini dicetuskan oleh seseorang saudagar keturunan Arab yang datang dari Betawi/Batavia bernama Syeich Muhammed Qisthi.

Saat beliau datang ke Tapaktuan melihat penduduk setempat yang beragama Islam, tidak mempunyai tempat ibadah sebagai sarana melaksanakan shalat lima waktu. Untuk menyatukan umat dalam bentuk jamaah, beliau sangat prihatin dengan keadaan demikian. Sementara minat dan kemauan masyarakat untuk memperdalam ilmu agama sangatlah tinggi.

“Waktu datang yang kedua kalinya, Syeich Muhammed Qisthi membawa tukang keturunan Tionghoa yang juga sudah memeluk agama Islam. Saat itulah dimulai pembangunan masjid. Pembangunan rumah ibadah tersebut disambut suka cita oleh masyarakat Tapaktuan. Warga juga ikut bergotong royong secara bergiliran. Untuk motif masjid itu sendiri mengacu kepada masjid-masjid yang sudah lebih dulu dibangun di pulau Jawa, seperti Masjid Banten dan Demak,” ungkap Imam Masjid Tuo Al-Khairiyah, A Nasriza, sebagaimana catatan sejarah yang dimilikinya dalam bentuk tertulis.

Seiring dengan perjalanan waktu, beberapa dasawarsa kemudian, apa yang pernah dicita-citakan oleh pendiri masjid mulai terwujud. Masjid yang tidak atau belum punya nama saat itu menjadi pusat pengembangan intelektual Islam. Diantara yang pernah menimba ilmu di masjid itu adalah Abuya Syech Muda Waly Al-Khalidy, sebelum beliau meneruskan pendidikannya ke Sumatera Barat.

Juga ada Buya Zamzami Syam yang terakhir beliau menetap di Singkil, Ustaz Manaf yang terakhir beliau menetap di Blangpidie, juga intelektual Islam lainnya seperti Prof Dr Ismail Suny yang juga pernah menjadi pimpinan Muhammadiyah Pusat.

Diterangkan, pada saat itu proses belajar mengajar berlangsung di emperan masjid atau proses belajar mengajar ala rangkang. Saat itulah masjid itu dinamakan Masjid Al-Khariyah. Sementara warga luar Tapaktuan menyebutnya Masjid Jamik Lama Kota Tapaktuan. Sedangkan warga lokal menyebutkan Masjid Tuo.

Pada tahun 1992, waktu itu Camat Tapaktuan, Ny Yuliaty BA, menghidupkan kembali pengajian ala rangkang ini dengan metode Iqra’ TQA Dan TPA, maka diberi nama kembali TQA/TPA Al-Khariyah, sekaligus untuk nama masjid yaitu “Masjid Tuo Al-Khariyah” dengan status masjid Kecamatan.

Untuk kelengkapan masjid, sebagaimana masjid-masjid lainnya, juga dilengkapi dengan sebuah beduk (tamboe) besar dengan ukuran yang ada sekarang radius 85 cm dan panjang 4,5 meter. Beduk ini sering dibawa sampai ke Banda Aceh dalam rangka PKA tahun 2004 dan 2009.

Pada pertengahan tahun 1930-an, oleh Imam Masjid Tengku Imam Zamzami Yahya melalui perjuangan yang cukup berat, beliau melihat kondisi dan pertumbuhan penduduk, juga Tapaktuan sebagai kota pendistribusian barang-barang hasil hutan dan rempah-rempah seperti pala, cengkeh, minyak nilam, kopra dan rotan, dengan demikian  kebutuhan pendidikan bagi masyarakat Tapaktuan dan sekitarnya, mau tidak mau hurus pula dibenahi.

Bersama teman-teman seperjuangan, Tengku Imam Zamzami Yahya  membangun madrasah sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Madrasah itu dibangun disamping kanan masjid.

Masjid ini pernah juga dikunjungi oleh Gubernur Panglima Aceh Pertama, Abu Muhammad Daud Beureu’eh, jauh sebelum beliau menjadi pemimpin Aceh dan juga pernah mengajar dan memotivasi guru dan murid yang sedang menuntut ilmu di Masjid Al-Khairiyah ini.

Pada pada tahun 1953 beliau datang lagi ke Tapaktuan, setelah melihat perkembangan umat terutama dalam masaalah agama, kemudian beliau menyarankan agar masyarakat Tapaktuan menambah lagi Masjid Jamik terutama untuk menampung jamaah shalat Jumat. Imbauan tersebut disambut oleh masyarakat Tapaktuan dengan antusias.

Pada tahun 1980, Bupati Drs Soekardi Is merehab dan memperluas bangunan masjid. Masjid inipun dijadikan masjid kabupaten dan diberi nama Masjid Agung Isiqamah yang pembangunan dan pemeliharaannya ditangani oleh Pemkab Aceh Selatan melalui APBD. Sangat berbeda dengan masjid Tuo Al-Khairiyah yang cuma mengharapkan sumbangan masyarakat dari hasil celengan Jumatan, sehingga ada kesan seolah-olah masjid Tuo ini sudah tidak dihiraukan lagi atau sudah dilupakan, walau masjid ini berstatus masjid Kecamatan Tapaktuan.

“Kami kini risau kerana rayap terus menerus merongrong dinding, plafon, bahkan tiang masjid. Apalagi bagian kubah masjid yang dulu tempat bermain anak-anak masa itu, kini lapuk dan terancam ambruk,” tutup A Nasriza.(taufik zass)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved