Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Lingkaran Budaya Muzakir Walad, dan “Resurrection” PKA (VIII)

Tak ubah dengan strategi para kaisar Romawi kuno tentang mencari cara menggembirakan rakyatnya, Walad tahu benar “what need to be done”.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia asal Aceh, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. 

Dalam perkembangnnya, teman diskusi Walad bertambah dengan pengusaha-kurator asal Aceh di Jakarta, Ismail Sofyan.

Sederet nama-nama di atas adalah lingkaran Walad dalam berbagai diskusi masalah daerah, terutama pembangunan.

Namun tak jarang percakapan mereka berlanjut kepada cerita sejarah, seni, dan budaya yang panjang.

Lingkaran Walad kemudian menjadi lengkap dengan kehadiran dua seniman Aceh lain, AD Pirous dan Lian Sahar.

Pada masa itu belum ada komunikasi seperti hari ini, hanya pertemuan kebetulan atau yang direncanakan saja yang dapat menjadi ajang diskusi seni sesama mereka.

Pada masa itu keuangan Aceh tidaklah seperti hari yang sangat berlimpah.

Namun minat dan antusiasme Walad untuk seni dan budaya Aceh tak pernah berkurang.

Setiap kepulangan Pirous ke Aceh, “instruksi” Walad kepadanya adalah bertemu dengannya sebelum pulang ke Bandung, dan itu dipatuhi dengan baik oleh Pirous.

Ketika mereka bertemu di kediaman Walad atau di Meuligou, biasanya selalu terjadi di meja makan.

Sarapan atau makan siang dengan Walad bagi Pirous, adalah makan yang panjang, karena menghabiskan waktu berjam-jam.

Seringkali seni adalah topik yang ingin didengarkan oleh Walad yang kemudian berlanjut dengan pembangunan, sejarah, dan berbagai topik lain.

Lingkaran seni-budaya Walad kemudian terpantul pada cita rasa dan wawasan seninya untuk ukuran Aceh pada masa itu yang sesungguhnya sangat Istimewa.

Bayangkan saja dalam keadaan keuangan yang terbatas, di dinding pendopo Gubernur Aceh ada lukisan-lukisan pelukis nasional sekelas Affandi, Srihadii, dan Basuki Abdulah dan lain-lain.

Tidak cukup dengan memiliki lukisan-lukisan papan atas nasional, Walad bahkan bahkan mengundang Affandi pada tahun 1971 untuk melukis Masjid Raya Baiturrahman yang spektakular, yang sampai hari ini masih dapat dilihat di Museum lukisan Affandi.

Kebanggan warisan masa lalu Walad dan kawan-kawan lingkaran budayanya membuat Walad berani menerobos apa yang tak terpikirkan oleh banyak orang.

Ia “membawa” kembali tulang belulang Jenderal Herman Kohler yang tewas pada agresi Belanda I, 1873, ke Aceh dengan seizin pemerintah Belanda untuk dimakamkan di Kerkhof, Banda Aceh.

Rangkuman seluruh perang Belanda yang sangat sulit dirangkaikan   sebagai sebuah artefak budaya yang luar biasa dengan sendirinya telah terbangun kokoh tanpa harus mengeluarkan biaya yang luar biasa.

Penguburan Kohler di Banda Aceh kemudian “memancing” respons para eks tentara dan marsose Belanda yang masih hidup di Belanda.

Pengurusan kuburan Kerkhof yang pada awalnya tidak terorganisir dengan baik, kemudian dilanjutkan dengan pendirian Yayasan Peucut Kerkhof-Stichting Peucut Fonds, yang diketuai oleh Letnan Jendral F. van der Veen seorang perwira di Korp Marrechaussee yang pernah bertugas di Aceh.

Adalah tindakan dan komunikasi Walad dengan veteran perang Belanda di Aceh dan Pemerintah Belanda yang membuat Yayasan itu  didirikan, dan kemudian untuk seterusnya menjadi lembaga yang merawat peninggalan kuburan itu.

Lebih dari itu atas inisiatif Walad dan lingkaran seni budayanya, dibentuk pula Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh yang dibantu oleh pemerintah Belanda pada waktu itu.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved