Konservasi Satwa Terancam Punah,  Mengintip Penyelamatan Penyu di Kepulauan Simeulue

PULAU Salaut Besar merupakan salah satu pulau terluar yang berada di ujung Barat Kepulauan Simeulue dan termasuk dalam lingkungan

Editor: bakri
Foto kiriman warga
Seekor penyu kembali ke habitatnya usai bertelur di kawasan konservasi penyu di pulau Salaut Besar, Kabupaten Simeulue. 

Habitat penyu di Aceh terancam punah, yang salah satunya disebabkan masifnya perburuan telur oleh manusia. Upaya penyelamatan pun terus dilakukan dengan ditetapkannya titik-titik konservasi di pesisir barat selatan Aceh. Terbaru, Pulau Salaut Besar di Kabupaten Simeulue ditetapkan sebagai lokasi konservasi. Di lokasi ini, telur-telur penyu dipindahkan ke sarang buatan untuk kemudian dilepas kembali ke lautan.

PULAU Salaut Besar merupakan salah satu pulau terluar yang berada di ujung Barat Kepulauan Simeulue dan termasuk dalam lingkungan Kecamatan Simeulue Barat, Kabupaten Simeulue. Jaraknya sekitar 25 mil laut dari daratan.

Pulau ini hanya dapat dijangkau menggunakan boat atau perahu nelayan dengan waktu tempuh 3-5 jam. Tidak ada transportasi khusus dan tak ada dermaga di pulau tak berpenghuni ini. Di pulau inilah upaya penyelematan penyu dilakukan.

Program konservasi penyu itu dilakukan oleh Lembaga Ecosystem Impact bekerja sama dengan Yayasan Penyu Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kabuapaten Simeulue.

“Program konservasi ini sudah dimulai sejak Januari 2021 yang diawali dengan pelatihan para ranger penyu,” ungkap Koordinator Program Konservasi Penyu Simeulue, Irda Kusuma ST, saat berbincang dengan Serambi, Jumat (11/6/2021).

Para ranger itu, ujar Irda, dilatih antara lain membuat sarang penyu di lokasi penetasan telur. Sarang dibuat seukuran aslinya dan diharapkan jumlah telur yang menetas sama seperti sarang penetasan alaminya.

Penyu sebagaimana diketahui, berkembang biak dengan bertelur. Telur ini disimpan di dalam tanah agar dapat dieramkan secara alami selama sekitar 50-70 hari kemudian akan menetas dan menjadi anak-anak penyu (tukik).

Sejauh ini, Irda menyebutkan, pihaknya telah merelokasi sebanyak 122 sarang penyu yang terdiri dari Penyu Belimbing, Penyu Hijau, Penyu Lekang dan Penyu Sisik. Dari jumlah itu, sudah 22 sarang yang menetas.

"Jumlah tukik yang menetas dari 22 sarang itu berkisar 2.800 ekor yang langsung dilepasliarkan di sepanjang pantai Pulau Salaut Besar," lanjut Irda Kusuma.

Penyu Hijau atau Chelonia mydas merupakan salah satu spesies terbesar yang berasal dari keluarga Cheloniidae (penyu-penyuan). International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan penyu ini dalam daftar merah yang terancam punah.

Sementara untuk Penyu Belimbing dan Penyu Lekang, IUCN memasukkannya dalam status genting, dan Penyu Sisik dengan status kritis.

Untuk diketahui, dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, enam di antaranya ada di Indonesia. Selain empat jenis yang disebutkan di atas, dua lainnya adalah Penyu Tempayan dan Penyu Pipih. Keenam jenis penyu itu masuk dalam daftar satwa dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Koordinator Program Konservasi Penyu Simeulue, Irda Kusuma, menyampaikan, sejak program konservasi penyu berjalan di Simeulue, angka pemburuan telur penyu juga menurun. Hal ini karena tim ranger yang sudah dilatih juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat Simeulue.

"Nantinya tim ranger Salaut Besar diharapkan juga memiliki kapasitas perlindungan penyu. Tujuannya, mereka menjadi pioner atau pelatih di daerah lokasi sebaran peneluran penyu di Simeulue," demikian Irda Kusuma.(sari muliyasno)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved