Internasional

Mantan Sipir Wanita Penjara Sanaa Ungkapkan Kekejaman Milisi Houthi ke Tahanan Wanita, Ini Kisahnya

Milisi Houthi yang menguasai sebagian wilayah Yaman, terutama Ibu Kota Sanaa memperlakukan tahanan wanita dengan sangat kejam.

Editor: M Nur Pakar
AFP/Mohammed HUWAIS
Pasukan yang setia kepada pemberontak Houthi Yaman menggelar pemakaman massal bagi pejuangnyayang tewas dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah yang didukung Saudi di wilayah Marib, di luar masjid Sanaa Al-Saleh, Selasa (23/3/2021). 

SERAMBINEWS.COM, ALEXANDRIA - Milisi Houthi yang menguasai sebagian wilayah Yaman, terutama Ibu Kota Sanaa memperlakukan tahanan wanita dengan sangat kejam.

Seorang mantan sipir wanita penjara Sanaa mengungkapkan berbagai kejaman yang dilakukan milisi Houthi.

Diawalnya pada malam hari, sekelompok pria bertopeng megawal beberapa wanita mengenakan Abaya dengan tangan dan mata tertutup.

Kemudian dimasukkan ke sebuah bangunan terisolasi untuk narapidana wanita di Penjara Sanaa yang dikuasai milisi Houthi.

Tak lama setelah memasuki gedung, narapidana dan pekerja penjara di bangsal tetangga mendengar teriakan wanita dan pria sepanjang malam.

Fawzia Ahmed yang pernah menjadi kepala bagian wanita di Penjara Sanaa sebelum ditahan oleh pemberontak telah melarikan diri dari Yaman.

Bercerai dari seorang pria yang bergabung dengan Houthi dan seorang ibu dari dua anak, Fawzia secara langsung melihat pelecehan mengerikan Houthi terhadap tahanan wanita di dalam penjara.

“Saya bisa mendengar jeritan para tahanan, jeritan anak-anak," katanya.

"Segala sesuatu yang terjadi di sana; pemerkosaan dan segalanya,” katanya kepada Arab News di Kairo, Mesir, Minggu (11/7/2021).

Saat ini, dia tinggal di Kaori setelah melarikan diri dari Yaman.

Satu-satunya hal yang dia tahu tentang pria dan wanita itu adalah mereka adalah penyelidik Houthi yang ditemani oleh polisi wanita Houthi yang dikenal sebagai Zaynabiat.

Dimana dengan kasar menanyai narapidana wanita di dalam Penjara Sanaa.

"Kami tidak tahu siapa yang mengirim mereka dan kami tidak diizinkan untuk menanyakan identitas mereka," katanya.
Fawzia telah bekerja di dalam penjara wanita selama hampir dua dekade sebelum melarikan diri dari ibu kota pada akhir 2019.

Pemberontak sepenuhnya menguasai Pusat Penjara Sanaa pada akhir 2017, segera setelah membunuh mantan Presiden Ali Abdullah Saleh.

“Houthi membersihkan pekerja, dokter, perawat dan penjaga dan mengerahkan Zaynabiat di dalam penjara,” katanya.

Pada saat yang sama, para pemberontak mengubah sebuah gedung yang menjadi tempat kelas literasi, komputer, pembibitan, kerajinan tangan, dan menjahit menjadi penjara baru.

Mereka mulai mengangkut wanita dari penjara rahasia lainnya melintasi Sanaa ke penjara baru.

Mereka memberikan instruksi tegas kepada sipir untuk tidak mengunjungi penjara atau membocorkan informasi tentang apa yang terjadi di balik pintu tertutup.

Baca juga: Milisi Houthi Ambil Keuntungan Perjanjian Stokcholm 2018, Terus Meneror Yaman Tanpa Henti

“Mereka memindahkan komputer dan peralatan lainnya, menggabungkan kamar dan pintu dan jendela galvanis dengan baja," ungkapnya.

Kelompok perempuan pertama dipindahkan ke penjara sebulan setelah kematian Ali Abdullah Saleh,” katanya.

Pada saat yang sama, para pemberontak merumuskan program baru untuk semua tahanan dan sipir.

Mereka bangun jam 2 pagi, kemudian mendengarkan ceramah dari pemimpin gerakan Abdul Malik Al-Houthi dan interpretasinya terhadap Al-Qur'an dan membaca biografinya.

“Mereka membatalkan semua kegiatan lainnya dan Abdul Malik menafsirkan Al-Qur'an dan memberi tahu kami mereka datang untuk menyebarkan Islam yang benar," ujarnya.

Dia menambahkan kapasitas tahanan wanita melebihi kapasitas, dari 50 tahanan pada awal 2018 menjadi lebih dari 400 orang.

Setelah Houthi mengintensifkan tindakan keras terhadap perempuan dan pendukung mantan presiden.

“Kami meneriaki mereka bahwa penjara sudah penuh," ujarnya.

"Wanita-wanita itu diculik dari restoran, taman, atau jalan-jalan karena mengenakan pakaian 'berani', bergaul dengan pria atau berjalan tanpa teman pria," tambahnya.

Dua wanita ditangkap karena memiliki foto mantan presiden di ponsel mereka, katanya.

Houthi memblokir KUHP Yaman dengan mengizinkan interogator untuk menanyai tahanan kapan saja, bahkan di tengah malam.

Baca juga: Pasukan Pemerintah Yaman Berhasil Rebut Sejumlah Wilayah Provinsi Al-Bayda dari Milisi Houthi

Sehingga, mereka mengalami segala bentuk penyiksaan fisik dan mental untuk mendapatkan pengakuan dan mengizinkan penjaga memasuki ruangan dengan senjata dan tongkat setrum listrik.

Fawzia mengatakan tokoh Houthi yang paling dibenci dan ditakuti adalah Mohammed Al-Makhethi, direktur Penjara Sanaa dan banyak pejabat lain yang memiliki nama panggilan seperti Abu Ammar, Abu Terab dan Abu Raid.

“Al-Makhethi adalah orang paling provokatif, mengunjungi penjara pada jam 2 pagi atau 3 pagi dan mulai menanyai tahanan sendirian di kamar sampai pagi," ujatnya.

"Dia meneriaki kami dan mengusir kami dari kamar ketika kami menolak kehadirannya,” tambahnya.

Fawzia mengatakan tak lama setelah kedatangan kelompok baru wanita yang diculik ke penjara, kerabat bergegas ke penjara, kantor polisi, pejabat Houthi dan bahkan jaksa agung, dengan panik mencari informasi.

“Houthi dengan tegas menyangkal pernah mendengar atau melihat mereka, bahkan Jaksa Agung memberi tahu keluarga untuk membawa bukti bahwa mereka dipenjara,” katanya.

Houthi membawa anak-anak dari wanita yang dipenjara ke medan perang untuk melawan pasukan pemerintah dan menjaga anak-anak yang lebih kecil dengan ibu mereka yang dipenjara sampai dewasa.

Suatu hari, Fawzia melanggar aturan dan memberi tahu seorang ibu dari seorang wanita yang diculik bahwa putrinya berada di dalam penjara.

Ketika Houthi mengetahui dia membagikan informasi rahasia tentang seorang tahanan, mereka menginterogasinya dengan keras dan memenjarakannya selama tiga bulan.

“Saya mengatakan kepada mereka untuk menahan saya di dalam kantor saya dan membawa kedua putri saya karena tidak ada yang akan merawat mereka," ungkapnya.

Houthi membebaskannya setelah setuju untuk melatih polisi wanita dan tinggal di Sanaa serta tidak menghubungi siapapun.

“Mereka berpikir untuk mengeksekusi saya, setelah meretas ponsel dan menggunakan nomor WhatsApp saya, menyita rumah, bahkan buku anak-anak saya," tambahnya.

Ketika dia dibebaskan, dia tidak menonjolkan diri di Sanaa sampai diberitahu bahwa Houthi bersenjata dengan kendaraan militer sedang mencarinya.

Dia pindah dari satu rumah ke rumah lain di Sanaa sebelum menyelinap keluar dari Sanaa ke Aden.

Dua aktivis hak asasi manusia Yaman, Zafaran Zaid dan Nora Al-Jarawi, menanggapi permintaan bantuannya.

Satu membantunya melarikan diri dari Sanaa dan yang lainnya membantu membayar tiket penerbangan dan akomodasi di Mesir.

Baca juga: Direktur WFP Puji Arab Saudi, Membantu Warga Paling Rentan Kelaparan di Yaman

Zaid, kepala Yayasan Pemberdayaan Perempuan Yaman dijatuhi hukuman mati bersama suaminya Fuad Al-Mansouri, sekretaris Organisasi Internasional Salam, oleh pengadilan yang dikelola Houthi bulan lalu.

Keduanya diduga menyelundupkan Buthaina Mohammed Al-Raimi, yang dibawa ke Riyadh untuk menerima perawatan medis darurat setelah terluka dalam serangan udara koalisi pada 2017.

“Saya siap menyelundupkan seluruh rakyat Yaman jika mereka mengalami ketidakadilan,” kata Zaid kepada Arab News.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved