Olimpiade Tokyo

Perenang Myanmar Korbankan Impian Olimpiade Tokyo, Memprotes Kudeta Militer

Perenang Myanmar, Win Htet Oo telah memimpikan berkompetisi di Olimpiade Tokyo 2020 sejak masih berusia 6 tahun.

Editor: M Nur Pakar
Yahoo Sports
Perenang Myanmar, Win Htet Oo 

Bintan itu tampaknya akan bersaing untuk Tokyo 2020, dengan Win Htet Oo bersaing di Pesta Olahraga Asia Tenggara 2019.

Dia mengamankan waktu kualifikasi Olimpiade dan rekor nasional dalam nomor gaya bebas 50 meter.

“Ada ketidakpercayaan … Saya merasa sangat berharap bahwa transisi menuju demokrasi akan berhasil, tidak peduli seberapa lambat langkahnya,” kata Win Htet Oo.

Yang mengkhawatirkan kelompok-kelompok hak asasi manusia, militer telah dengan keras menghancurkan protes di seluruh negeri dalam upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan .

Lebih dari 900 orang yang menentang junta telah dibunuh oleh pasukan keamanan, yang mengundang kecaman dan sanksi internasional, termasuk dari Amerika Serikat .

“Enam bulan sejak kudeta, junta militer secara sewenang-wenang menahan ribuan orang, membunuh ratusan warga sipil termasuk puluhan anak-anak," ujar Manny Maung, seorang peneliti Myanmar di Human Rights Watch.

"Sekarang orang-orang dibiarkan menghadapi pandemi mematikan sendiri,” tambahnya.

“Ini menunjukkan kepada kita betapa tidak siap dan tidak layaknya militer untuk memerintah," katanya.

"Ekonomi telah runtuh, sistem perawatan kesehatan telah runtuh dan bantuan tidak menjangkau orang-orang yang paling rentan," urainya.

Setelah kudeta, militer juga mengambil alih Komite Olimpiade Myanmar alasan lain mengapa Win Htet Oo mengatakan tidak mungkin dia bisa bersaing di tim nasional.

Dia menulis kepada Komite Olimpiade Internasional dan bertanya apakah dia bisa datang ke Tokyo sebagai atlet independen. Tetapi organisasi menolak permintaannya.

Dengan “tidak ada pilihan lain,” ia menarik diri dari pertimbangan sebelum tim Myanmar diselesaikan.

“Orang-orang perlu tahu bahwa militer Myanmar bukan hanya militer lain yang telah mengambil alih kekuasaan di beberapa negara berkembang yang terpencil,” katanya.

“Orang-orang berpikir fasisme sudah lama mati setelah Perang Dunia II, tetapi tidak, itu ada hari ini di Myanmar dan mengejutkan bahwa dunia terus mentolerirnya," tambahnya.

“Ini adalah militer yang dituduh melakukan genosida terhadap Rohingya dan terhadap orang-orang etnis lain di Myanmar,” ujarnya.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved