Breaking News

In Memoriam

Prof Farid Wajdi, Ulama Keras Nan Bijak

KETUA Majelis Adat Aceh, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, Sabtu, 14 Agustus 2021 pukul 14.30 WIB berpulang ke Rahmatullah

Editor: hasyim
hand over dokumen pribadi
Rektor UNIKI Bireuen, Prof Dr Apridar SE MSi 

Oleh. Prof. Dr. APRIDAR, S.E., M.Si Guru Besar Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Unimal dan Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Lhokseumawe

KETUA Majelis Adat Aceh, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim MA, Sabtu, 14 Agustus 2021 pukul 14.30 WIB berpulang ke Rahmatullah di RSUD Meuraxa, Banda Aceh dalam usia 60 tahun.

Guru besar kelahiran Rukoh, Aceh Besar, 5 Maret 1961 itu merupakan Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh yang akan berakhir masa baktinya pada 28 Agustus 2021.

Prof Farid juga dijuluki ‘Singa Podium’ yang selalu lantang berdakwah. Ia kerap mengeluarkan imbauan dengan keras dan pedas, terutama terhadap kezaliman yang terjadi.

Beliau tak pernah kompromi dengan berbagai kemungkaran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sikap beliau sangat jelas, selalu keras terhadap orang-orang kafir yang memusuhi muslim serta bersikap lemah lembut terhadap orang beriman. Yahudi Israel salah satu etnis yang paling sering dia kecam karena menganeksasi muslim Palestina.

Lulusan S3 Tamaddun Islam Universitas Sains Malaysia (USM) tahun 2000 ini tidak pernah menolak dan merasa letih untuk berdakwah ke mana pun diminta. Dalam keadaan lelah sekembali dari Susoh, Aceh Barat Daya, beliau juga masih sempat mengisi berbagai ceramah dan khutbah beberapa tempat di Banda Aceh.

Berdakwah merupakan panggilan jiwa yang selalu beliau tunaikan walau dalam keadaan lelah sekalipun. Hal tersebut yang juga merupakan salah satu penyebab beliau harus dilarikan ke Rumah Sakit Meuraxa sehari sebelum mengembuskan napas terakhirnya.

Mantan rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang tahun 2014 berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry itu sangat suka berdialog dengan mahasiswa, khususnya para aktivis yang peka terhadap nasib agama dan bangsa.

Kajian kritis untuk mencari berbagai solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara sudah menjadi kegiatan rutin yang beliau lakukan.Pakar mata kuliah Aliran Modern ini merupakan sosok yang sangat ‘kekeh’ pendiriannya dalam membela Islam secara konsisten. Ketika beliau diberi kesempatan untuk bertemu Presiden Republik Indonesia di Banda Aceh, beliau dengan tegas meminta Bapak Joko Widodo untuk tidak meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), yang kala itu sedang santer adanya tuntutan dari anak-anak mantan PKI agar partai komunis itu dimaafkan. Beliau berujar, “Bila Bapak Presiden meminta maaf kepada PKI, maka rakyat Indonesia khususnya korban kebiadaban PKI, akan marah besar.”

Dengan adanya salah satu masukan dari Prof Farid, terakhir Presiden Jokowi tidak melakukan tindakan yang penuh risiko tersebut.

Keberanian dalam bersikap kritis merupakan ciri khas dari cendikia muslim yang diperkirakan akan pensiun pada 1 April 2031 ini. Namun, Allah Swt sudah duluan memanggil beliau, tiga hari sebelum perayaan ke-76 Hari Kemerdekaan RI. Berita duka yang begitu cepat menyebar dari berbagai media sosial di kalangan masyarakat, bagaikan sambaran petir di siang bolong. Kabar duka itu membuat para sahabat serta umat muslim merasakan kehilangan sosok panutan yang tegas dan bijaksana tersebut.

Banyak karya yang telah beliau lahirkan berupa buku dan artikel ilmiah yang sangat bermanfaat bagi mahasiswa serta masyarakat sekalian. Torehan tinta yang sejalan dengan Al- Qur’an dan hadis, merupakan petunjuk yang sering digunakan masyarakat Aceh dalam mempelajari ilmu agama Islam.

Karya tulis yang tegas dan lugas merupakan bacaan yang sering digunakan sebagai rujukan oleh masyarakat serta para mahasiswa.

Saat memimpin UIN Ar- Raniry, Prof Farid selalu memberikan kesempatan yang besar kepada anak-anak pedalaman, terluar, dan tertinggal dari berbagai plosok desa untuk kuliah. Kebijakan yang prorakyak kecil tersebut merupakan cara beliau memperkecil ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya kesempatan memperoleh pendidikan, harapan beliau daerah tertinggal secara bertahap dapat tumbuh dan berkembang.

Prof Farid sangat mendukung pembukaan pendidikan pesantren di beberapa titik perbatasan Aceh dan Sumatera Utara. Selain untuk menciptakan pusat pertumbuhan perekonomian masyarakat, pembagunan pesantren dan masjid merupakan salah satu cara untuk menangkal gencarnya program misionaris agama tertentu terhadap masyarakat Aceh.

Dalam menakhodai ICMI Aceh, setiap pertemuan selalu Prof Farid sisipkan kegiatan ilmiah yang dapat meningkatkan wawasan serta ilmu pengetahuan para anggota. Kajian ilmu agama yang dilakukan secara rutin diharapkan dapat meningkatkan atmosfer akademik. Begitu juga terhadap lokasi pertemuan yang dilakukan berpindah-pindah secara bergilir oleh masing-masing organisasi daerah (Orda) ICMI, dalam rangka peningkatan ukhuwah islamiah serta tali silaturahmi sesama anggota.

Banyak program kerja yang beliau lakukan dengan luaran peningkatan kualitas nilai ibadah, merupakan program unggulan ICMI Aceh yang mendapat apresiasi dari Pengurus ICMI Pusat. Di tengah anggaran yang sangat terbatas, beliau mampu mengombinasikan berbagai kegiatan sehingga menghasilkan program unggulan bagi ICMI. Kelihaian dalam mencari peluang dan momentum yang tepat, merupakan salah satu keberhasilan beliau dalam memimpin ICMI.

Organisasi Islam harus selalu peka terhadap perubahan yang begitu cepat di era digitalisasi. Pola tingkah serta kebiasaan kawula muda yang menghabiskan waktu sia-sia di warung-warung, merupakan salah satu hal yang sering beliau sorot secara lantang di berbagai mimbar. Ia menganggap kebiasaan buruk itu lebih berbahaya daripada bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki.

Budaya yang kurang produktif tersebut merupakan salah satu tindakan yang sangat merisaukannya terkait masa depan masyarakat Aceh khususnya.

Tingkat literasi masyarakat Aceh yang sangat lemah, karena hanya satu dari seribu orang yang membaca buku secara serius. Budaya jelek tersebut juga merupakan materi yang sering beliau ingatkan kepada generasi muda Aceh agar dapat meningkatkan minat baca untuk lebih serius lagi. Apabila kesadaran ini tidak segera diubah, dikhawatirkan akan terjadi degradasi moral serta tingkat peradaban masyarakat yang semakin jelek ungkap beliau.

Begitu juga tanggung jawab orang tua terhada pendidikan anak perlu diperhatikan serius. Pendidikan utama yang sangat efektif pada dasarnya adalah kedua orang tua di rumah. Minimal baca tulis serta pemahaman dasar terhadap Al-Qur’an harus diajarkan di setiap rumah selepas shalat Magrib. Budaya baik yang telah dipraktikkan oleh pendahulu masyarakat Aceh itu perlu dilestarikan kembali, agar Aceh kembali diberkahi.

Beliau juga sering berujar, masuknya narkoba dalam jumlah besar melalui perairan Aceh merupakan salah satu penyebab kehancuran generasi muda. Untuk itu, perang terhadap barang haram tersebut dia minta agar segera dilakukan bersama-sama. Demi mencegah kehancuran bangsa dan negara.

Begitu juga apabila terjadi kealpaan terhadap perintah agama, itu petaka besar bagi kita semua. Untuk itu diperlukan gerakan bersama agar generasi Aceh ke depan terselamatkan dari berbagai petaka. Nasihat serta wejangan yang diutarakan Prof Farid, selalu terngiang dalam lubuk hati yang dalam. Selamat jalan sahabat, moga karya yang engkau torehkan menjadi teman serta penerang dalam istirahat panjangmu dengan tenang di alam barzakh. Amin.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved