Qanun Jinayat Tak Buat Jera Pelaku Kekerasan Anak
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dinilai belum membuat jera para pelaku
BANDA ACEH - Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dinilai belum membuat jera para pelaku kekerasan terhadap anak. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Ayu Ningsih SH MKn dalam webinar yang bertema “Ruang Negosiasi Pada Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam Tinjauan Sosiologis, Yuridis, dan Politis”, Kamis (19/8/2021).
Webinar yang diselenggarakan oleh Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (FISIP USK) ini menghadirkan lima narasumber yaitu, Ayu Ningsih SH MKn (KPPA Aceh), Aulianda Wafisa (Manajer Program Lembaga Badan Hukum Banda Aceh), Darwati A Gani SE (Anggota DPR Aceh), Dr Otto Nur Abdullah MSi (Sosiolog USK/Ketua Komnas HAM 2012-2013), dan Ervy Sukmarwati, SHI MH (Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Selatan).
Menurut Ayu, Qanun Jinayat lebih mengutamakan penghukuman pada pelaku kejahatan dan belum menyentuh pada ada aspek perlindungan terhadap anak yang menjadi korban. Bahkan anak yang menjadi korban pemerkosaan sangat rentan menjadi pelaku dan dijuntokan dengan pasal-pasal lain dalam Qanun Jinayat seperti, pengakuan zina dan zina anak.
Namun, lanjutnya, dalam UU Perlindungan Anak, apapun kondisi anak tetap dianggap sebagai korban. Meskipupn persetubuhan tersebut dilakukan tanpa ancaman kekerasan, karena ada perluasan unsur pidana seperti, tipu muslihat, bujuk rayu, iming-iming dan serangkaian kebohongan lainnya. “Maka orang dewasa tetap akan dihukum dan anak tetap merupakan korban tindak pidana, sayangnya hal ini tidak ada dalam Qanun Jinayat,” katanya.
Qanun Tentang Hukum Jinayat masih menawarkan tiga alternatif hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang terdiri atas hukuman cambuk, kurungan, dan denda. “Seharusnya pemerintah menerapkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak bagi pelaku kekerasan terhadap anak,” tegasnya.
Ia meneruskan, sampai Juni 2021, sudah ada 202 kasus tindak kekerasan terhadap anak yang terbagi dari 46 kasus pelecehan seksual, 45 kasus kekerasan psikis, dan 34 kasus kekerasan fisik. KPPA menginginkan adanya upaya pemulihan kondisi korban (restitusi) atau penggantian kerugian yang dialami korban baik secara fisik maupun mental. “Jadi, KPPA mendesak agar lahirnya Peraturan Gubernur yang mengatur tentang Restitusi,” sebutnya.
Sementara itu, Aulianda Wafisa menyampaikan, saat ini hukuman yang berlaku bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam Qanun Jinayat masih tergolong ringan jika dibandingkan dengan efek dari tindak pidana yang dilakukan. “Berbeda jauh dengan apa yang ditetapkan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Ancaman maksimal bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak bisa mencapai 20 tahun atau hukuman seumur hidup, dengan denda mencapai Rp 15 miliar,” paparnya.(mun)