Berita Aceh Tamiang

Kembalikan Kejayaan Minyak Nilam, Aceh Tamiang Bekerja Sama dengan ARC dan Australia

Kepala Bappeda Aceh Tamiang, Rianto Waris mengatakan webinar yang dilangsungkan pada 12 Agustus itu bertujuan mengenalkan nilam kepada investor

Penulis: Rahmad Wiguna | Editor: Nur Nihayati
Dok Bappeda
Rianto Waris (tengah) saat meninjau lahan perkebunan nilam di Kecamatan Sekerak, Aceh Tamiang, beberapa waktu lalu. Dok Bappeda 

Kepala Bappeda Aceh Tamiang, Rianto Waris mengatakan webinar yang dilangsungkan pada 12 Agustus itu bertujuan mengenalkan nilam kepada investor

Laporan Rahmad Wiguna | Aceh Tamiang

SERAMBINEWS.COM, KUALASIMPANG - Pemkab Aceh Tamiang melalui Atsiri Research Center (ARC) Universitas Syiah Kuala menjajaki kerjasama dengan Australia untuk mengembangkan budidaya nilam.

Kerja sama ini sudah dimulai dengan webinar yang diikuti unsur mitra di antaranya, Dubes RI di Canbera Kristianto Legowo, Direktur IIPC Sidney Henry Rombe, asosiasi pengusaha dan unsur pemerintahan Asutralia.

Sedangkan dari Pemerintah Aceh diikuti langsung Gubernur Aceh Nova Iriansyah, kemudian Kadis DPMPTSP Marthunis, Direktur Bisnis USK/Ketua ARC PT Nilam Aceh Syaifullah Muhammad serta Kepala Bank Indonesia Aceh Iwan Budhiarta

Satu-satunya perwakilan kabupaten/kota diwakili Bupati Aceh Tamiang, Mursil.

Kepala Bappeda Aceh Tamiang, Rianto Waris mengatakan webinar yang dilangsungkan pada 12 Agustus itu bertujuan mengenalkan nilam kepada investor dari Australia.

“Ketika pangsa pasar sudah jelas, tidak ada kekhawatiran bagi kita untuk mengembangkan nilam lebih serius lagi,” ujarnya, Selasa (24/8/2021).

Nilam disebutnya bukan jenis tanaman yang membutuhkan perawatan serius sehingga siapa saja bisa melakukan budidaya.

“ARC bersama Bappeda Aceh melakukan kajian kenapa masyarakat Aceh miskin, apa penyebabnya. Kembali menumbuhkan kembangkan kearofan lokal menjadi acuan dan hari ini tanaman nila sangat cocok,” ungkapnya.

Diketahui lahan perkebunan nilam di Aceh Tamiang menyusut drastis dalam tujuh tahun terakhir. Anjloknya harga menjadi pemicu utama yang memaksa petani mengalihkan fungsi lahannya ke tanaman lain.

Muhammad Syahrial, pegiat tanaman nilam di Aceh Tamiang mengungkapkan menyusutnya lahan ini terjadi antara periode 2014-2016.

Dalam perode itu, minyak nilam yang biasanya berkisar Rp 500 ribu per kilogram terjun bebas menjadi Rp 200 ribu.

“Kondisi harga yang rendah ini berlangsung lama, sehingga banyak petani kita mengalihkan lahan nilamnya menjadi sawah dan tanaman lainnya,” kata Syahrial, Selasa (24/8/2021).

Syahrial mengungkapkan rendahnya harga ini perlahan membaik dan saat ini untuk kualitas terbaik dihargai Rp 670 ribu.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved