Internasional

Menteri Skotlandia Rencanakan Referendum, Ingin Merdeka dari Inggris

Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon, Senin (13/9/2021) menetapkan rencana referendum baru tentang kemerdekaan Skotlandia

Editor: M Nur Pakar
AFP/Jane Barlow
Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon 

SERAMBINEWS.COM, EDINBURGH - Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon, Senin (13/9/2021) menetapkan rencana referendum baru tentang kemerdekaan Skotlandia.

Dia beralasan Brexit dan pandemi virus Corona telah menempatkan Skotlandia pada jalur yang berbeda dari bagian Inggris lainnya.

Dilansir AFP, Pemimpin Partai Nasional Skotlandia (SNP) mengecam Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.

Sturgeon menyatakan Johson memaksakan "obsesi Brexit" di Inggris selama pandemi virus Corona, yang menyebabkan kekurangan makanan dan tenaga kerja di wilayahnya.

Dikatakan, hal itu menjadi pukulan ekonomi pada individu dan bisnis dari kepergian Inggris dari Uni Eropa.

Disebutkan, sebelumnya ditentang oleh sebagian besar orang Skotlandia dan diperburuk oleh kebijakan imigrasi garis keras yang memukul tenaga kerja.

Baca juga: Gara-gara Muslim, Putri Menteri Kesehatan Skotlandia Ditolak di Tempat Penitipan Bayi

Tetapi dia mengatakan kepada konferensi tahunan SNP, Johnson dan pemerintah Konservatifnya di London akan menggunakan kerusakan yang telah ditimbulkan.

Khususnya untuk memperdebatkan kontrol yang lebih besar untuk menentang Skotlandia berjalan dengan caranya sendiri.

"Dengan membuat kita lebih miskin, mereka akan mengatakan tidak mampu untuk mandiri," ujarnya.

"Dengan memotong perdagangan kita dengan UE, mereka akan mengatakan kita terlalu bergantung pada Inggris Raya lainnya," katanya.

"Terus terang, tidak tergantung pada pemerintah Westminster yang memiliki enam anggota parlemen di Skotlandia," tambahnya.

Seharusnya, dapat memutuskan masa depan sendiri tanpa persetujuan dari orang-orang yang tinggal di sini.

Sebaliknya, dia mengatakan orang-orang Skotlandia menghadapi pilihan antara pemerintah Westminster Tory yang ditolak oleh rakyat Skotlandia yang membawa ke arah yang salah.

Atau memiliki pemerintahan sendiri dengan haknya sendiri.

Baca juga: Referendum IE-CEPA dan Kekhawatiran Eropa Atas Isu Keberlanjutan di Indonesia, Khususnya Soal Sawit

Sturgeon telah menyerukan referendum lain yang akan diadakan pada akhir 2023.

Saat pandemi virus Corona diperkirakan berakhir, tetapi langkah itu harus disetujui oleh pemerintah Inggris.

Sejauh ini, Johnson telah menolak untuk melakukannya, dengan alasan pemungutan suara terakhir pada tahun 2014.

Dimana, Skotlandia kembali menjadi bagian dari Inggris dengan perbandingan 55 persen menjadi 45 persen dan menjadi peristiwa sekali dalam satu generasi.

Sturgeon mengakui hubungannya dengan Johnson berduri.

Tetapi bersumpah untuk mendorong referendum yang mengikat secara hukum dalam semangat kerjasama bukan konfrontasi.

"Dalam semangat kerja sama itulah kami di pemerintah Skotlandia dan Inggris dapat mencapai kesepakatan, seperti 2014," jelasnya.

Sehingga, memungkinkan keinginan demokratis rakyat Skotlandia untuk didengar dan dihormati.

"Demokrasi harus, dan demokrasi akan menang," tegasnya.

Baca juga: Stasion Cot Gapu Bireuen Mulai Dirobohkan, Alat Berat Hancurkan Markas Kebanggaan PSSB

SNP pada Mei 2021 memenangkan pemilihan Parlemen Skotlandia di Edinburgh.

Sehingga, telah menyerahkan kekuasaan untuk menetapkan kebijakan di bidang-bidang seperti kesehatan, pendidikan, transportasi dan lingkungan.

Tetapi mereka tidak mencapai mayoritas, dan minggu lalu menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan penting dengan Partai Hijau Skotlandia.

Dimana, memberi mereka mayoritas pro-kemerdekaan di Holyrood.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved