Berita Langsa

Mengenang Kembali Satu Abad Kiprah Pelabuhan Kuala Langsa

Pelabuhan Kuala langsa mulai berkiprah sejak digagaskan tahun 1910 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan perantara Asisten Residen de Schemaker

Penulis: Zubir | Editor: Muhammad Hadi
Foto Dokumentasi Dr Usman
Tim peneliti Dr. Usman Ibrahim, M. Pd., Dr. Hanafiah, M. Pd (kanan) saat berbincang dengan petugas Kepolisian di Pelabuhan Kuala Langsa. 

Laporan Zubir | Langsa

SERAMBINEWS.COM, LANGSA -  Setelah melakukan penelitian Dermaga Seuneubok Pusangan, Kecamatan Pereulak dan Bandar Blang Seuguci, Kecamatan Idi Tunong, Kabupaten Aceh Timur, berapa waktu yang lalu.

Tim Peneliti Dasar Unggulan (PDU), dari Dosen Sejarah Universitas Samudra, Dr. Usman Ibrahim, M.Pd., Dr. Bachtiar Akob, M.Pd., dan Dr. Hanafiah, M.Pd., sekarang akan merekronstruksi keberadaan Pelabuhan Kuala Langsa

Dr. Usman Ibrahim, M.Pd, Selasa (14/9/2011), menyebutkan, Pelabuhan ini mulai berkiprah sejak digagaskan tahun 1910 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan perantara Asisten Residen de Schemaker sekitar satu abad yang silam.

Dan salah satu pelabuhan maritim dengan sebutan “de Langsa Bay”, letaknya sangat strategis di teluk Pusong dan Kuala, jaraknya sekitar 6 mil ke laut Selat Malaka dan 10 Km, ke Ibu Kota Pemerintah Kota Langsa

Kiprah pelabuhan Kuala Langsa, disamping sarana angkutan hasil komoditi masyarakat pantai timur Aceh.

Juga hendak bersanding dengan pelabuhan milik pemerintah Inggris di negeri seberang yaitu Singapura, yang dibangun pada abad ke-19 Masehi.

Baca juga: VIDEO Mercusuar Willems Toren III Pulo Aceh. Dibangun Belanda Hanya Tiga di Dunia

Keduanya saling berhadapan digaris paralel, yaitu Belanda berada bagian selatan ujung barat pulau Sumatra (Aceh), dan Singapura dibagian utara yaitu “the Isthmus of Monkeys”, tetapi masih dalam satu kawasan di Asia Tenggara. 

Dalam rangka untuk mengenang kembali kiprah Pelabuhan Kuala Langsa (de Langsa Bay) 1 abad yang silam.

Tim Pakar Sejarah Universitas Samudra mengadakan penelitian dan merekonstruksi arah dan peran penting Kuala Langsa sebagai pusat transportasi perdagangaan di pantai timur Aceh, berhadapan dengan Singapura. 

Secara historis bahwa posisi pelabuhan Kuala Langsa, berada digaris paralel Selat Malaka, posisi kunci dibidang komoditi perdagangan serta saling bersenergik dengan pangkalan Susu, Singapura hingga ke Eropah (negeri Belanda: Amsterdam). 

Juga Kuala Langsa baik dalam rute perdagangan dan politik, tidak terlepas dari segi ekonomi dan sosial antara pelabuhan Belawan, Padang hingga Pulau Jawa sewaktu Belanda berdaulat di Batavia, melakukan penyerangan terhadap kesultanan Aceh tahun 1873. 

Berdasarkan hasil kajian “Disertasi” Dr. Usman (2018: 132) bahwa rencana politik Pemerintah Kolonial Belanda, membangun pelabuhan maritim Kuala Langsa (Langsa Bay) tujuannya untuk modernisasi dan membuka peluang investasi swasta asing.

Baca juga: VIDEO Jejak Sejarah Kapal di Atas Rumah Lampulo Banda Aceh, Bukti Dahsyatnya Gelombang Tsunami Aceh

Program baru ini yaitu pascaberdamai dengan Teuku Chik Bentara Blang Kenegerian Langsa, dan tidak terlepas dari program politik pasifikasi, diantaranya pemberdayaan perekonomian masyarakat Langsa dan pantai timur Aceh; onder afdeling Idi, onder afdeling Langsa dan onder afdeling Tamiang. 

Melalui pembangunan dan modernisasi dari berbagai infrastruktur yang sangat mendesak satu abad silam, baik bagi kepentingan masyarakat pantai timur Aceh maupun bagi kepentingan politik Kolonial Belanda itu sendiri.

Terutama program modermisasi pelabuhan maritim Kuala Langsa dan stasiun Atjeh Tram Kuala Langsa, yang saling keterkaitan dari rencana politik pasifikasi Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh dan identik dari visi dan misi Pax Nerlandica dalam memperkuat kedaulatan/kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di nusantara kala itu. 

Dalam kaitan itu pula, program pembangunan pelabuhan Kuala langsa sebagai pelabuhan utama dibidang ekspor–impor mulai diawal penanaman modal swasta asing untuk lahan perkebunan karet dan kota hiburan, serta pembangunan berbagai infrastruktur yang menunjang program modernisasi di pantai timur Aceh kala itu.

Baik pelabuhan maritim dan stasiun Atjeh Tram Kuala Langsa, sejak tahun 1910 sampai dengan 1914, keduanya sarana infrastruktur yang saling berdampingan dan berfungsi.

Sehingga program modernisasi di bidang perekonomian di pantai timur Aceh, semakin berpeluang besar terhadap rute transportasi angkutan darat dan laut.

Baca juga: Tim Dosen Sejarah Unsam Langsa Temukan Dermaga Lama Pedagang Aceh di Peusangan

Terutama dalam hal kegiatan bongkar muat barang-barang serta keluar masuknya kapal dan perahu-perahu nelayan maupun pedagang eksportir atau komoditas dari suatu negara ke negara lain. 

Juga angkutan transportasi darat Atjeh Tram, ikut berperan aktif beroperasi pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, dan dijadikan pelabuhan maritim dan stasiun Kuala Langsa, beroperasi mulai dari skala bisnis kecil sampai menengah sebagai strategi utama untuk bersaing di tingkat regional dan internasional.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di pantai timur Aceh, terutama pelabuhan Kuala Langsa memegang posisi kunci pada skala regional dan internasional sebagai pusat pelayanan angkutan hasil perkebunan masyarakat Aceh satu abad silam.

Sehingga perkembangan ekonomi di pantai timur selain dari hasil angkutan kayu bakau dan arang untuk diekspor keluar negeri. 

Juga peran Atjeh Tram pada dekade (1931–1939) menerima tawaran mengangkut hasil tanaman modern dikirim ke tujuan yang sama, untuk dikapalkan melalui Langsa Bay dan Aru Bay.

Dari kedua pelabuhan ini, saling memberi andil dibidang angkutan komuditi, kemudian diekspor ke Singapura dan ke Eropa, untuk kepentingan kolonial Belanda.

Baca juga: Jangan Lupakan Sejarah: Rakyat Aceh Sumbang Pesawat dan Emas Monas, Sultan Siak Uang 13 Juta Gulden

Industri kulit kayu dan arang, ada yang di ekspor ke Pulau Penang, ada juga diangkut ke Pulau Jawa dengan perantara Langsa Bay dan Aru Bay, dimuat dengan kapal Belawan untuk pengusaha batik, pabrik sabun dan pabrik kertas di Padalarang di Jawa. Bahkan ke Eropah dikirim sekalipun.

Dalam tahun 1940, Pemerintah Belanda menjadikan pelabuhan Kuala Langsa sebagai pusat transportasi maritim ke Singapura dan Thailan sampai Eropah Barat (negeri Belanda) di eksport hasil perkebunan pantai timur dan pendalaman Aceh Aceh; getah/latek, sawit, kopi, kelapa, beras, kulit tegar, dan lada. 

Aktifitas ini sampai zaman Jepang (1942-1945), bahwa aset-aset Belanda di pantai timur Aceh beralih seluruhnya termasuk perkebunan swasta dan Pelabuhan Kuala Langsa menjadi sentral pengembangan ekonomi.

Tetapi kian menurun di sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan pertambangan, karena Jepang lebih mengutamakan benteng pertahanan pantai alasannya menahan serangan tentara sekutu dan logistik perang. 

Baru tahun 1950, pelabuhan Kuala Langsa kembali beroperasi kapal berukuran 1.000 DWT, tujuan Singapore, Malaysia dengan “Sitem Barter” yang berlangsung selama 5 tahun. 

Tatkala Pelabuhan Sabang, pada 16 Oktober 1963, ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas (Free Port. Tetapi Pelabuhan Kuala Langsa, tahun 1969, menjadi Pelabuhan Umum tujuannya masih tetap sama.

Menurut keterangan Nova Indrawan Ka. PT. Pelindo I Kepada Tim Peneliti, Senin (13/09/2021, bahwa tatkala pelabuhan Kuala Langsa (1981-1984) jalur pelayaran, yang masih dangkal diantara kendala adanya dua daratan di Pulau Telaga Tujuh.

Baca juga: Tan Sri Sanusi Junid Dalam Kenangan Putranya Akhramsyah Muammar Ubaidah

Sehingga rute armada kapal keluar masuk terhalang dan kapal berskala besar tidak bisa merapat dari Selat Malaka ke Pelabuhan Kuala Langsa, solusinya harus dikeruk sepanjang 3.000 meter, lebar 80 meter dan kedalaman sekitar 7 meter LWS. 

Nova Indrawan, juga menambahkan pada dekade tahun 2008-2018, Pelabuhan Kuala Langsa masih eksis sebagai pusat perniagaan perekonomian Pemerintah Kota Langsa.

Karet (getah), sawit, CPO, Pinang dan daun Nipah dikirim ke Cina dan Singapura dan cangkang sawit dikirim ke Jepang, dengan kapal kapal Kargo milik Sulaiman Sira dan kapal asal Singapura. 

Dampak Pelabuhan Kuala Langsa dalam pemasukan barang dari luar negeri masih kondisif dalam kapasitas perdagangan negara tetangganya. 

Terutama barang-barang impor melalui Malaysia, Thailand, Singapura, Cina, dan Philipina.

Barang yang paling banyak masuk berasal Malaysia, antara 1 dan 2 kapal perbulan dari berbagai jenisnya berasal dari Tanjung Balai. (*) 

Baca juga: Harga Emas Hari Ini Mulai Naik, Berikut Rincian Harga Emas Per Gram, Selasa 14 September 2021

Baca juga: Kasus Covid-19 Aceh Capai 36.042 Orang

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved