Internasional
Ajudan Presiden AS Temui Putra Mahkota Arab Saudi, Bahas Konflik Yaman
Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Jake Sullivan melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada Senin (27/9/2021).
SERAMBINEWS.COM, WASHINGTON - Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Jake Sullivan melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada Senin (27/9/2021).
Sullivan menemui Putra Mahkota Mohammed bin Salman ketika AS mendesak untuk gencatan senjata dalam perang bertahun-tahun antara kerajaan dan pemberontak Houthi di Yaman.
Sullivan menjadi pejabat tertinggi pemerintahan Biden yang mengunjungi Arab Saudi.
Selain menemui putra mahkota, yang sering disebut dengan inisialnya, MBS, Sullivan menemui Wakil Menteri Pertahanan Khalid bin Salman, saudara laki-laki putra mahkota.
Gedung Putih telah menjauhi putra mahkota sejak mempublikasikan sebuah laporan CIA pada Februari 2021.
Laporan itu menunjukkan MBS menyetujui pembunuhan kolumnis Washington Post dan kritikus Saudi Jamal Khashoggi dalam operasi 2018 di konsulat kerajaan di Istanbul.
Baca juga: Yaman Lapor ke Utusan PBB, Milisi Houthi Tidak Mau Berdamai
Tetapi Gedung Putih telah memutuskan akan mengakhiri konflik yang mungkin paling kompleks di dunia.
Tetapi, tidak dapat dilakukan tanpa melibatkan pejabat paling senior Saudi secara langsung, kata seorang pejabat senior pemerintah.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Emily Horne mengatakan Sullivan melakukan perjalanan ke Riyadh dan Uni Emirat Arab, sekutu Saudi dalam perang.
Sullivan dikirim pada saat situasi di Yaman, negara termiskin di dunia Arab, semakin memburuk.
Pertempuran telah meningkat di kota utama Marib, ketika pemberontak yang didukung Iran berusaha menggulingkan pemerintah yang didukung Arqab Saudi.
MIlisi Houthi juga ingin merebut kota kaya minyak di utara negara itu.
Upaya internasional mengakhiri perang tidak membuahkan hasil.
Tim Lenderking, utusan khusus AS untuk Yaman, menyerukan Houthi terlibat secara berarti dalam gencatan senjata dan pembicaraan politik.
Arab Saudi telha menawarkan proposal gencatan senjata kepada milisi Houthi Yaman awal tahun ini karena ingin merehabilitasi citranya dengan pemerintahan Biden.
Saudi telah menuai kritik internasional atas serangan udara yang membunuh warga sipil dan embargo yang memperburuk kelaparan di sebuah negara di ambang kelaparan.
Utusan khusus PBB yang baru untuk Yaman, Hans Grundberg baru-baru ini menyatakan negara itu terjebak dalam keadaan perang yang tidak terbatas.
Baca juga: Wakil Presiden Yaman Kutuk Serangan Rudal dan Drone Houthi ke Pelabuhan Mocha
Dikatakan, harus ada negosiasi untuk mengakhiri konflik lebih dari enam tahun, tetapi tidak akan mudah.
Perang Yaman dimulai pada September 2014, ketika Houthi yang didukung Iran merebut Sanaa.
Kemudian, merebut ke selatan untuk mencoba merebut seluruh negara.
Arab Saudi, bersama dengan Uni Emirat Arab dan negara-negara lain, memasuki perang bersama pemerintah Yaman yang diakui secara internasional pada Maret 2015.
AS menjual bom dan jet tempur ke Arab Saudi yang kemudian digunakan kerajaan itu dalam serangan di Yaman yang juga menewaskan warga sipil.
Pemerintahan Obama pada tahun 2015 menawarkan bantuan AS untuk operasi komando dan kontrol Arab Saudi.
Di bawah Presiden Donald Trump, bantuan penargetan terus berlanjut meskipun kemudian menghentikan operasi pengisian bahan bakar AS untuk jet Arab Saudi.
Biden mengumumkan berminggu-minggu mengakhiri semua dukungan Amerika untuk operasi ofensif dalam perang di Yaman, termasuk penjualan senjata yang relevan.
Tetapi hanya ada sedikit kemajuan di lapangan dalam menyelesaikan apa yang dikatakan PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Pejabat Gedung Putih berharap penunjukan Grundberg akan membawa dinamika baru.
Dengan harapan memberikan tekanan pada semua pihak untuk mengakhiri konflik, menurut dua pejabat senior pemerintahan.
Kunjungan Sullivan ke Arab Saudi juga dilakukan saat pemerintah sedang mencari cara untuk kembali ke kesepakatan nuklir Iran.
Saudi dan UEA dengan keras menentang kembali ke kesepakatan dengan Iran.
Baca juga: Arab Saudi Akan Berupaya Ciptakan Perdamaian di Yaman, Bekerjasama dengan PBB
Berbicara di Majelis Umum PBB, Menteri Luar Negeri Iran Hossain Amir Abdollah mengatakan akan kembali ke negosiasi nuklir di Wina segera.
Namun dia menuduh pemerintahan As mengirim pesan yang kontradiktif.
Karena kembali dengan pakta itu sambil menjatuhkan sanksi baru terhadap Teheran dan tidak mengambil sedikit pun tindakan positif.(*)