Berita Aceh Tengah
Kepala SMP Negeri 40 Husrin Z Bersah Terbitkan Karya Puisi Berbahasa Gayo "Tengkeh"
Khasanah sastra Gayo mengenal beberapa bentuk ekspresi artistik, antara lain “didong”, “melengkan”, “kekeberen”, “sebuku”, dan “tengkeh”.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Saifullah
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Khasanah sastra Gayo mengenal beberapa bentuk ekspresi artistik, antara lain “didong”, “melengkan”, “kekeberen”, “sebuku”, dan “tengkeh”.
"Didong" adalahpuisi yang didendangkan dalam pertunjukan "didong jalu" satu malam suntuk, memiliki pola rima yang sangat kaya.
Didong Jalu menghadirkan dua grup atau klop didong yang saling bertarung puisi sampai pagi. Masing-masing klop didukung 20-30 penunung dan "penepok."
"Melengkan" yakni pidato adat disampaikan dalam peristiwa-peristiwa tertentu, seperti acara perkawinan, khitanan dan sebagainya.
Kemudian "Sebuku," puisi yang dilantunkan dalam nada-nada ratapan menyayat hati.
Puisi-puisi ratapan ini dihadirkan dalam peristiwa perpisahan, seperti meninggal dunia atau perpisahan akibat perkawinan, di mana mempelai wanita harus meninggalkan keluarga dan kerabatnya, sebab akan masuk dalam keluarga suami.
Baca juga: Kuah Beulangong, Kopi Gayo, dan 10 Budaya Aceh Lainnya Dapat Hak Paten dari Kemenkumham RI
Dikenal Sebuku Mungerje" dalam peristiwa perkawinan dan "Sebuku Mate" dalam peristiwa perpisahan akibat meninggal dunia.
Selanjutnya, ada "kekeberen" seni mendongeng dalam bentuk prosa. Disampaikan oleh orang-orang tua seperti kakek (awan), nenek (aman) kepada cucu-cucunya.
Kemudian ada lagi disebut "tengkeh" adalah puisi berbahasa Gayo, berisi sindiran, nasihat, kritik dan sebagainya.
Seperti puisi umumnya, tengkeh adalah untaian-untaian kalimat yang penuh simbolik, menggunakan perumpamaan atau kiasan.
Salah seorang yang rajin menerbitkan "karya tengkeh" ini adalah Hasrin Z Bersah, generasi muda Gayo yang kerap mempublikasikan karya-karya tengkehnya melalui media sosial.
Karya tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk buku diberi judul "Peri Berabun" Kumpulan Tengkeh Gayo. Diterbitkan Mahara Publishing Tangerang 2021.
Baca juga: Tanah Gayo yang Dirindukan
Buku setebal 189 halaman ini diberi catatan sekapur sirih dari "lawan bertengkeh" Bahtiar Gayo. Keduanya sering berbalas tengkeh di media sosial.
Bahtiar mengaku terkesan dengan karya berjudul "Ama" yang diakuinya sangat menyentuh dan sempat menitikkan air mata.