Tarif PPN Akan Naik Sebesar 11 Persen Mulai Bulan April Tahun 2022
Dengan kenaikan PPN ini, maka mulai tahun depan beban masyarakat saat pembelian berbagai jenis kebutuhan akan makin mahal.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik sebesar 11 persen mulai bulan April tahun 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tarif PPN naik menjadi 11 persen sesuai Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang telah disepakati DPR bersama pemerintah.
Dengan kenaikan PPN ini, maka mulai tahun depan beban masyarakat saat pembelian berbagai jenis kebutuhan akan makin mahal. Begitu juga makan di restoran yang makin mahal.
Sebab, dalam transaksi beban PPN dikenakan kepada konsumen akhir atau pembeli. Sehingga saat pembayaran dilakukan, biaya yang harus dirogoh oleh konsumen makin tinggi.
"Bertahap dari 10 persen saat ini di UU PPN akan naik jadi 11 persen pada April 2022 dan paling lambat 1 Januari 2025 akan naik lagi 1 persen ke 12 persen," ujarnya, Jumat (8/10/2021).
Kendati demikian lanjut Menkeu, pengenaan PPN sebesar 11 persen tidak berlaku untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, dan beberapa lainnya. Masyarakat berpenghasilan menengah kecil juga tidak perlu membayar PPN.
Baca juga: Presiden Partai Buruh Said Iqbal Incar 20 Kursi DPR, Targetkan Menang Pilkada di 10 Daerah
Baca juga: Kematian Akibat Kanker Payudara Tinggi, Perempuan Perlu Pahami Pentingnya SADARI dan SADANIS
Baca juga: Suami Bunuh Istri Siri di Kamar Mandi, Kepala Dipukul Pakai Palu Hingga Tewas
Sri Mulyani pun kemudian menjelaskan, sembako sendiri beragam jenis. Ada sembako yang mahal harganya untuk kalangan tertentu dan ada yang untuk kebutuhan masyarakat banyak.
"Masyarakat berpenghasilan menengah, kecil, tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok tersebut.
Dalam hal ini soal sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial, DPR dan pemerintah sepakat mereka tidak dikenakan PPN," kata Sri Mulyani.
Menurut dia, pengurangan atau pengecualian fasilitas PPN ini diberikan untuk mencerminkan keadilan terhadap masyarakat.
"Sebab, kalau kita bicara sembako, tidak hanya 1 sembako, ada yang menengah atas, sangat mahal, ada kebutuhan sembako masyarakat, sehingga kita harus bedakan. Ini disebut azas keadilan," ujarnya.
Diketahui aturan baru PPH (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) disahkan. Dalam aturan baru tersebut disebutkan lapisan penghasilan orang pribadi (bracket) yang dikenai tarif pajak penghasilan (PPh) terendah 5 persen dinaikkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta. Sedangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tetap.
"Kenaikan batas lapisan (layer) tarif terendah ini memberikan manfaat kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah untuk membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya," tulis keterangan resmi Kementerian Keuangan di website kemenkeu.go.id.
Baca juga: Serangan Bom Bunuh Diri di Masjid Kota Kunduz Afghanistan, Tewaskan 100 Orang Jamaah Shalat Jumat
Baca juga: Pemkab Bener Meriah Sudah Terapkan Transaksi Keuangan Daerah Secara CMS Banking Sejak 2020
Baca juga: SKD Pelamar CPNS Aceh Jaya Mulai Besok, Khusus Besok, yang belum Tes PCR, Dilayani Gratis di Lokasi
Pemerintah juga mengubah tarif dan menambah lapisan (layer) PPh orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar.
Perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah. Termasuk pengusaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan, dan bagi orang pribadi yang lebih mampu harus membayar pajak lebih besar.
Dalam UU HPP juga menetapkan tarif PPh Badan sebesar 22 persen untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya. Ini sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh dengan tetap dapat menjaga iklim investasi. Tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN (22,17 persen), negara-negara OECD (22,81 persen), negara-negara Amerika (27,16 persen), dan negara-negara G-20 (24,17 persen).
Lebih lanjut, UU HPP mengatur perluasan basis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan melakukan pengurangan pengecualian dan fasilitas PPN. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya akan diberikan fasilitas dibebaskan PPN.
Sementara itu, pemerintah juga menetapkan tarif tunggal untuk PPN.
Kenaikan tarif PPN disepakati untuk dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
Baca juga: Pemerintah akan Tambah Fungsi KTP, Jadi Kartu Identitas Sekaligus NPWP Pajak
Baca juga: Perdana Menteri Polandia Dukung Pasukan Perbatasan, Ditembaki Pasukan Belarusia
Kebijakan ini mempertimbangkan kondisi masyarakat dan dunia usaha yang masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Jika dilihat secara global, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4 persen. Begitu juga dengan beberapa negara seperti Filipina (12 persen), China (13 persen), Arab Saudi (15 persen), Pakistan (17 persen) dan India (18 persen).
Selain itu terdapat juga terobosan baru dalam UU HPP, yaitu mengintegrasikan basis data kependudukan dengan sistem administrasi perpajakan.
Penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi akan semakin memudahkan Wajib Pajak orang pribadi dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Meskipun demikian, penggunaan NIK tidak berarti semua WNI wajib membayar PPh.
Tetapi tetap memperhatikan pemenuhan syarat subjektif dan objektif untuk membayar pajak, yaitu apabila orang pribadi mempunyai penghasilan setahun di atas PTKP atau orang pribadi pengusaha mempunyai peredaran bruto di atas Rp 500 juta setahun.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) juga diterapkan dalam RUU HPP. Tujuannya untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. PPS akan berlangsung pada 1 Januari-30 Juni 2022.
Pemerintah menilai UU HPP ini bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian reformasi perpajakan, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan. UU ini akan menjadi batu pijak yang sangat penting bagi proses reformasi selanjutnya. Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU HPP diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan perekonomian dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kenaikan PPN dirasa kurang tepat apabila dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Sebab, kondisi ekonomi negara belum pulih seutuhnya akibat pandemi covid-19.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan pihaknya pernah melakukan kajian dan bahkan perhitungannya, bila PPN yang saat ini berlaku 10% naik ke 11% pada April 2022 dan naik ke 12% pada Januari 2025, dampak negatifnya akan nyata.
"Jelas dampak negatifnya, PDB turun, upah riil turun, bahkan ekspor maupun impor bisa turun. Intinya, bagi perekonomian, ini akan berdampak negatif apalagi di saat kondisi pemulihan ekonomi dan ekonomi sedang tidak normal," ujar Tauhid.
Baca juga: Khamis Mushait Kembali Jadi Target Serangan Drone dan Rudal Houthi
Tauhid menjelaskan, turunnya PDB ini didorong oleh penurunan daya beli masyarakat karena adanya kenaikan PPN. Kenaikan PPN ini akan menyundut harga barang yang dibeli oleh masyarakat.
Nah, dengan turunnya daya beli, otomatis konsumsi akan berkurang. Berkurangnya konsumsi tentu akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, konsumsi rumah tangga memegang porsi terbesar dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan PPN tersebut lanjut Tauhid juga akan memberatkan pemerintahan baru nantinya. Seperti diketahui, era pemerintahan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada tahun 2024.
"Ini cukup berat bagi pemerintahan baru, ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%. Baru selesai pilpres, sudah harus menaikkan pajak," ujar Tauhid.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menyebut kenaikan PPN hingga sebesar 12% justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi masyarakat.
"Kenaikan PPN menjadi 11% di tahun 2022 akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi masyarakat, karena daya beli masyarakat belum kembali pulih seperti sebelum pandemi," ujar Benny.(Tribun Network/van/ktn/wly)