Terus Naik, Sawit Capai Rp 3.100/Kg, Momentum untuk Maksimalkan Pelabuhan di Aceh
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami kenaikan. Saat ini, sebagaimana informasi dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
BANDA ACEH - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terus mengalami kenaikan. Saat ini, sebagaimana informasi dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, harga di tingkat pabrik sudah berada pada kisaran 2.900-Rp 3.100/kg.
“Tahun ini harganya (TBS sawit) terus bergerak naik. Di tingkat petani sudah mencapai antara Rp 2.500-2.800/kg dan di tingkat PKS (pabrik kelapa sawit) Rp 2.900-3.100/kg,” sebut Sekretaris Apkasindo Aceh, Fadli, kepada Serambi, Rabu (3/11/2021).
Harga tersebut ia katakan, jauh mengalami kenaikan dibandingkan tahun lalu. Dimana ketika itu harga TBS sawit masih berkisar Rp 900-1.200/kg di tingkat petani dan Rp 1.300-1.500/kg di tingkat PKS.
Fadli menjelaskan, kenaikan harga TBS sawit ini dipicu oleh meningkatkan permintaan CPO (crude palm oil) di pasaran dunia dan dalam negeri. Di pasaran dunia, banyak negara di Uni Eropa sudah membuka diri untuk mengimpor CPO dari Indonesia, Malaysia dan Thailand. “Sebelumnya hanya beberapa negara saja yang mengimpor CPO dari Indonesia, di antaranya India, Cina dan Singapura,” sebutnya.
Di samping itu, imbuhnya, permintaan CPO di pasaran dalam negeri juga tinggi, terutama untuk bahan baku bio solar (B30 dan B40). Fadli menyebutkan, harga CPO di dalam negeri saat ini sudah mencapai Rp 14.371/kg.
“Harga TBS sawit ini sangat ditentukan oleh permintaan CPO di pasar dunia dan pasar lokal. Semakin tinggi permintaan CPO, maka harga sawit juga semakin naik,” papar Fadli.
Momentum bagi Aceh
Sekretaris Apkasindo Aceh, Fadli, menilai, kenaikan harga CPO di tengah tingginya permintaan ini merupakan momentum bagi Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota untuk mengajak pabrik kelapa sawit (PKS) melakukan ekspor CPO melalui pelabuhan yang ada di Aceh.
Fadli menyebutkan, dari 35 PKS yang ada di Aceh, sejauh ini hanya beberapa di antaranya yang melakukan ekspor melalui pelabuhan lokal. Di antaranya PT Karya Tanah Subur dari Aceh Barat yang melakukan ekspor melalui Pelabuhan Krueng Geukuh, Lhokseumawe.
Menurutnya, masih sangat banyak PKS yang memiliki areal kebun di Aceh belum melakukan ekspor CPO melalui pelabuhan lokal. Padahal, jika hal ini dilakukan akan memberikan keuntungan, karena pungutan dana replanting/PSR (peremajaan sawit rakyat) bisa dikembalikan ke Aceh. “Dana itu bisa digunakan untuk peremajaan tanaman kelapa sawit rakyat yang sudah tua,” ucapnya.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Ditanbun) Aceh, Cut Huzaimah SP MP mengatakan, luas areal tanaman kelapa sawit milik perusahaan perkebunan di Aceh mencapai 226.100,83 hektare. Sedangkan jumlah PKS sebanyak 35 unit.
Dengan total luasan dan jumlah PKS tersebut, produksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Aceh dia sebutkan mencapai 1.809.616,57 ton per tahun, dan produksi CPO sebanyak 361.923,31 ton/tahun.
“Sementara luas areal perkebunan kelapa sawit milik rakyat, sementara ini ada sekitar 242.819 hektare dengan produksi TBS sebanyak 44.436 ton/tahun,” sebutnya.
Areal perkebunan kelapa sawit milik rakyat terluas dia katakan ada di Kabupaten Nagan Raya (52.145 ha), kemudian Aceh Singkil (32.452 ha), dan selanjutnya Aceh Timur (26.357 ha). “Untuk kelapa sawit milik rakyat, hanya hanya Banda Aceh dan Sabang yang tidak ada,” timpalnya.
Terkait program replanting/peremajaan sawit rakyat, Cut Huzaimah menyampaikan bahwa pada 2021 ada 9 kabupaten/kota yang sudah mengusulkan permohonan ke Dirjen Perkebuna, yaitu Aceh Utara seluas 2.500 ha, Aceh Barat (2.500 ha), Subulussalam (2.500 ha), Aceh Tamiang (3.000 ha), Aceh Singkil (2.000 ha), Nagan Raya (4.000 ha), Aceh Jaya (2.000 ha), Aceh Timur (1.000 ha), dan Aceh Selatan (1.000 ha).
“Dari sembilan daerah itu, sampai posisi Nopember 2021, usulan delapan daerah sudah diverifikasi Dirjenbun, tapi kapan dana dicairkan kita belum menerima laporannya. Informasi terakhir, baru Aceh Timur yang sudah melaporkan mencairkan dana replanting, itupun barus sebagian kelompok tani senilai Rp 99 juta,” ujar Cut Huzaimah.(her)