Berita Banda Aceh
Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Aceh Meningkat
“Kalau tahun 2019 lebih dari 1.000 kasus yang kita terima, lalu menurun pada 2020 menjadi 905 kasus.
Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Nur Nihayati
“Kalau tahun 2019 lebih dari 1.000 kasus yang kita terima, lalu menurun pada 2020 menjadi 905 kasus.
Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2021 meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Dalam rentang waktu Januari- September 2021 tercatat sudah sebanyak 697 kasus yang diterima oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Aceh.
Sementara pada 2020 tercatat kekerasan terhadap perempuan dan anak sebesar 905 kasus.
“Kalau tahun 2019 lebih dari 1.000 kasus yang kita terima, lalu menurun pada 2020 menjadi 905 kasus.
Tetapi untuk tahun 2021 per September, kita terima laporan dan kabupaten/kota sebanyak 697 kasus. Itu belum lagi untuk Oktober, November, dan Desember,” kata Kepala UPTD PPA Provinsi Aceh, Irmayani Ibrahim kepada wartawan usai menjadi satu di antara narasumber pada kegiatan Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2021.
Baca juga: VIDEO Prajurit Kostrad Tangkap Penjarah Rumah Korban Erupsi Gunung Semeru
Baca juga: Doddy Sudrajat dan Keluarga Panjatkan Doa untuk Vanessa di Tol, Menuai Sorotan dan Kritik
Kegiatan tersebut dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh bersama Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), Flower Aceh dan Balai Syura yang mengadakan diskusi kelompok perempuan dan paralegal komunitas dengan pengambil kebijakan dan media dalam rangka Kampanye 16 HAKTP 2021 dengan tema “Pemenuhan HAM dan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” di kantor AJI Banda Aceh, Jumat (10/12/2021).
“Jadi kita berharap kasusnya menurun, tapi enggak tahu karena pandemi ruang gerak juga berkurang, sehingga terjadi kekerasan baik itu disebabkan oleh ekonomi, sosial, dan lainnya. Bentuk kekerasan yang dialami perempuan dan anak berupa pelecehan seksual, pemerkosaan dan juga KDRT,” kata Irmayani.
Ia menambahkan, pelaku kekerasan ini adalah orang-orang terdekat korban yang berada di lingkungannya, keluarganya.
“Bagaimana rumah yang aman bagi mereka sedangkan rumah sendiri saja mereka merasakan tidak aman lagi. Jadi oleh sebab itu, kita untuk saat ini ditingkat provinsi masih belum ada rumah aman yang disediakan untuk korban.
Insya Allah tahun depan ada penganggaran Pemerintah Aceh untuk membangun rumah aman ditingkat provinsi. Selama ini untuk rumah aman bagi korban kita bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga lain,” sebutnya.
Paralegal Komunitas di Aceh Besar, Lilis Suryani, mengatakan pada dasarnya angka kasus kekerasan seksual dari dulu sudah tinggi. Namun, dulu hanya sedikit orang yang berani melaporkan. Berbeda dengan sekarang, tren meningkat diiringi kepahaman orang dalam melapor.
"Orang sudah terbuka dan lebih paham tentang kekerasan seksual sehingga angka kekerasan yang tinggi diikuti dengan laporan masyarakat juga yang tinggi," kata Lilis dalam kegiatan tersebut.
Sementara Paralegal Komunitas dan juga Dewan Balai Syura Aceh Utara, Khuzaimah, menyampaikan kekerasan seksual di Aceh Utara termasuk yang tertinggi di Aceh terutama saat masa konflik dan pandemi. Namun, yang paling menyedihkan pelaku merupakan orang paling dekat dengan korban.