Jurnalisme warga
Maulid dan Sejuta Kisah Alumni Dayah Abu Lueng Ie
Pascagelar rapat November lalu, kini tiba momen spesial bagi alumni Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie (DULI) yang

OLEH AMIRUDDIN (Abu Teuming), mantan ketua umum Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie dan Penyuluh Agama pada Kuakec Krueng Barona Jaya, melaporkan dari Aceh Besar
Pascagelar rapat November lalu, kini tiba momen spesial bagi alumni Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie (DULI) yang sudah menapak kaki di segala penjuru dunia.
Disebut demikian, karena hampir di setiap negara ada alumni dayah ini.
Dominannya sih di Aceh, sebagai tanah kelahirannya.
Pada 1443 Hijriah, Maulid Nabi Muhammad digelar 2 November 2021, alasannya, dalam hitungan hijriah, jatuh pada hari wafatnya Tgk Teuku Usman al-Fauzi, populer dengan sapaan Abu Lueng Ie.
Ia tutup usia pada 26 Rabiul Awal, tahun 1992.
Karenanya, setiap tahun perhelatan maulid disesuaiakan dengan haul Abu Lueng Ie.
Hal ini wajar, sebab lebih hemat biaya dan digelar sekaligus.
Apalagi mengumpulkan alumni yang punya kesibukan masing-masing lumayan sulit.
Kini, alummi DULI sudah berkiprah di pemerintah, termasuk jabatan strategis negara, baik di lingkungan Kantor Gubernur Aceh, lingkungan pemerintahan pusat, bahkan ada yang statusnya rektor di kampus ternama di Aceh.
Jika ingin mencatat, mungkin tak cukup tempat di rubrik ini.
Tapi paling tidak sudah terwakili bahwa alumni DULI telah banyak berkontribusi untuk Aceh dan Indonesia.
Setiap momen nostalgia pada perhelatan maulid dan haul, selalu ada cerita unik dari alumni DULI, yang dahulu pernah meudagang (nyantri) di lembaga pendidikan klasik ini.
Saat mereka berkumpul di dayah itu, saya sebagai penulis kelas rendah, selalu menyamperi alumni untuk mendapatkan kisah dan inspirasi dari senior.
Sejujurnya, banyak kisah unik dan pelajaran dari kehidupan sosok Abu Lueng Ie yang punya hubungan erat dengan Abuya Muda Wali.
Memang, saat di Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan, Abu Lueng Ie menjadi murid kepercayaan Abuya Muda Waly.
Abu Lueng Ie bisa disebut tokoh penggerak tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, sepeninggal Abuya Muda Waly dan murid lainnya seperti Abu Bakongan.
Bagi kaum sufi Aceh, nama Abu Lueng Ie sangat tak asing.
Apalagi tercatat dalam nazam yang dibacakan saat tawajuh dan sulok.
Menandakan ia sosok yang punya peran dalam pengembangan tarekat Naqshabandiyah di Serambi Mekkah, juga masuk dalam golongan aulia yang memiliki karamah tinggi.
Banyak catatan karamah Abu Lueng Ie, tapi perlu waktu khsusus untuk mengurainya.
Baca juga: Peringati Maulid Nabi, Majelis Taklim Ibu-ibu Pengajian Masjid Al Falah Sigli Santuni Anak Yatim
Baca juga: VIDEO Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Kampung Acheh Malaysia Ditunda
Pelaksanaan maulid yang digelar alumni DULI disebut Maulid Akbar, sebab biaya yang dibutuhkan cukup besar, dan undangan mencapai tiga ribu lebih.
Orang yang tergabung dalam rabithah alumni DULI telah sepakat dengan pengelola dayah bahwa alumni akan menggalang dana untuk maulid dan haul Abu Lueng Ie, dalam rentang waktu tiga tahun sekali.
Selebihnya, per dua tahun, maulid dan haul digelar oleh pengelola dayah dan santri, termasuk mengumpulkan dana dari sumber yang tak mengikat.

Biasanya, Abi Daud Hasbi sebagai ketua alumni akan menginstruksikan seluruh alumni untuk galang dana, sebagai biaya kegiatan dan keperluan momen tiga tahunan ini.
Hampir tidak ada yang membantah pesan Abi Daud Hasbi, sebab ia sosok ulama yang punya pengaruh di Aceh, termasuk bagi orang-orang yang ada hubungan dengan Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Uniknya, maulid di sini selalu disusupi kegiatan tawajuh, diikuti ribuan jamaah dari berbagai daerah di Aceh.
Namun, dominannya orang-orang dari Banda Aceh dan Aceh Besar, yang memang telah jadi jamaah tetap tawajuh yang dipimpin Abon Lueng Ie tersebut.
Lumrahnya, tawajuh digelar dua jam, sebelum sesi makan-makan pada pukul 11.00 WIB.
Kali ini, tawajuh berlokasi di halaman dayah, di bawah tenda.
Jamaah tampak antusias mengikuti ritual tawajuh, membaca wirid dan doa, yang dikomandoi mursyid tarekat, Abon Lueng Ie, putra Abu Lueng Ie yang juga alumnus MUDI Mesra Samalanga.
Saat tawajuh, mereka dibawa ke alam bawah sadar, mengenang kejahilan masa silam, mengingat dosa yang pernah dilakukan sejak hidup hingga detik ini.
Jamaah juga diminta merendahkan diri di hadapan Allah, menganggap diri sebagai makhluk hina yang tak patut masuk surga karena dosa menggunung, tapi menyadari tak mampu menahan azab neraka.
Hanya ampunan dan rahmat Allah yang mereka cari.
Kondisi itu, membuat jamaah berderai air mata, terkenang dosa yang akan ditimpali azab, baik di dunia, alam kubur, bahkan akhirat kelak.
Terlihat, air mata mereka tak kunjung lerai, isak tangis terdengar di balik surban yang menutup kepala, seakan ada penyesalan mendalam.
Bahkan, ada yang tak bisa menerima kesalahan dan maksiat yang mereka lalukan.
Namun, mereka sadar, waktu tak akan berulang.
Begitupun, Allah tetap sayang pada hamba-Nya, terbukti dengan terbukanya pintu tobat bagi mereka yang benar-benar menyesali dosa dan sungguh-sungguh bertobat, demi terbebas dari siksa alam kubur serta neraka.
Memang, kegiatan tawajuh dan suluk menjadi jati diri Dayah Darul Ulum Abu Lueng Ie.
Ketika orang menyebut Dayah Lueng Ie, maka mereka paham bahwa itu dayah suluk (tawajuh).
Dalam kurun waktu setahun, tidak kurang 60 hari dilaksanakan suluk dalam waktu terpisah.
Sepuluh hari sebelum Ramadhan, 30 hari Ramadhan, sepuluh hari jelang Iduladha, dan sepuluh hari jelang hari lahir Nabi Muhammad pada 12 Rabiul Awal.
Saya teringat pesan Abon Lueng Ie, saat membaca selawat, seperti Selawat Badar.
Jamaah diminta berdiri, alasannya, demi menghormati Rasulullah.
Jamaah diminta berdiri sopan, menutup mata, membuka mata hati, lalu membayangkan wajah Rasulullah walau belum pernah berjumpa.
Merasakan seolah-olah Rasulullah berdiri di hadapannya yang sedang melihat umat berselawat untuknya.
Bahkan, jamaah diajak merasakan seolah nabi meletakkan dahinya di dahi para jamaah.
Baca juga: VIDEO Suasana Warga Aceh di Australia Laksanakan Maulid Nabi Muhammad SAW
Dalam keadaan rindu Rasulullah membuat mata jamaah berkunang-kunang, butiran kristal di mata pecah hingga mengalir ke pipi.
Mereka seakan benar-benar berada bersama nabi dalam gemurah Selawat Badar yang terus menggema.
Tak ada harapan lain dari mereka, selain menatap wajah indah nabi dan mendapatkan syafaatnya kelak.
Usai menangis, ada kepuasan batin dalam diri mereka, seakan tak ada yang perlu dicari di bumi ini, selain rida Allah.
Nah, demikianlah prosesi maulid dan haul di DULI, yang berakhir dengan makan bersama pada siang hari, sambil silaturahmi dengan beragam eleman masyarakat, yang terpenting ada sesi temu ramah sesama alumni.
Saya kerap mendengar dari alumni bahwa alumni DULI sering makan oen rumpun (kangkung) karena banyak tumbuh di rawa sekeliling dayah.
Karena minim biaya, ada yang sering makan nasi dengan lauk ikan asin dan rumpun, demi menggajal perut.
Bahkan, rentang periode 2000-an, ada alumni DULI yang disebut pemakan ikan Nabi Nuh, mereka menyebutkan "engkeut siblah".

Tapi bukan engkeut siblah yang dikenal luas oleh masyarakat Aceh, melainkan ikan yang dibeli pada siang hari di warung makan, lalu dibelah dua.
Setengahnya dimakan saat makan siang, setengahnya lagi dimakan malam hari, seusai magrib.
Realita ini karena ekonomi santri sangat minim, terlebih mereka juga berstatus mahasiswa yang membutuhkan banyak biaya.
Agar segala kebutuhan terpenuhi, maka santri dituntut hidup hemat, termasuk hemat makan ikan.
Baca juga: VIDEO Peringatan Maulid Nabi di Desa Darul Ikhsan Bakongan, Pinggir Pantai dan Bernuansa Kapal
Baca juga: VIDEO Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Kampung Acheh Malaysia Ditunda
Baca juga: VIDEO Meriahnya Peringatan Maulid Nabi di Gampong Meunasah Krueng Aceh Besar