Opini
Perempuan dalam “Sakratul Maut”
Siang itu, cuaca terasa panas. Sepanas berita yang disuguhkan surat kabar. “Seorang Remaja Dirudapaksa dan Digilir 14 Pemuda
Bagi perempuan, menjadi korban adalah sebuah aib. Stigma buruk melekat erat pada perempuan. Sungguh berat beban yang harus ditanggung. Sudah menjadi korban, dianggap aib pula.
Belum lagi trauma hebat yang mencengkram korban. Tidak berhenti di situ, dalam banyak kasus, korban kekerasan dan pelecehan seksual harus menerima dengan lapang dada dengan keadaan yang menimpanya.
Banyak yang terpaksa menempuh jalan “damai” hanya karena pertimbangan: nasi sudah menjadi bubur. Kita harus menjaga nama baik pelaku karena beliau adalah sosok berpengaruh dan terpandang di kampung.
Pun beliau sudah meminta maaf dan memberi beberapa juta sebagai pengganti kerugian. Lupakan saja. Berdamailah!
Sungguh menyakitkan. Alih-alih dibela sebagai korban, perempuan malah kerap dianggap sebagai pihak tersalah dan dituntut untuk menjaga nama baik pelaku hanya karena ia orang terpandang.
Kehormatan perempuan hanya dihargai oleh beberapa lembaran rupiah saja untuk kemudian harus menanggung derita seumur hidup. HAM perempuan benar-benar dirajam. Tidak ada keadilan yang menyentuhnya.
Membenahi hukum
Melihat maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual tersebut, maka ada yang perlu dibenahi dalam hukum kita. Selama ini, kasus tersebut berserakan dan terjadi berulang-ulang, karena lemahnya penegakan hukum.
Banyak yang sudah jadi korban, tapi hanya sedikit pelaku yang terjerat hukum. Menjadi korban adalah aib. Kasus ini harus ditutup untuk menjaga nama baik keluarga, juga nama baik pelaku.
Hukum belum memberikan efek jera. Tindakan memerkosa belasan perempuan, hanya dihukum lima tahun penjara.
Maka hukum harus menimbulkan efek jera. Jangan hanya karena bersikap sopan selama pemeriksaan dan persidangan, hukum jadi kehilangan akal sehat.
Sopan santun tidak bisa menghapuskan perilaku kriminal. Kata maaf juga tidak bisa menghilangkan trauma korban. Apalagi mengembalikan keadaan korban seperti semula.
Ketika kekerasan seksual terjadi, maka itu telah merenggut seluruh hidupnya. Bahkan jika pelaku dihukum mati sekalipun, juga tidak serta merta menghilangkan trauma korban. Apalagi hanya beberapa lembaran rupiah untuk menopang hidup sebulan dua bulan.
Dari itu, upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual jangan seperti pemadam kebakaran. Di mana ketika ada kasus, semua sibuk tergopoh-gopoh menyelesaikannya.
Namun ketika isu mulai meredup, semua kembali seperti biasa. Korban berjatuhan tak lagi mendapat perhatian. Penegak hukum lalu abai dan pura-pura lupa.