Berita Banda Aceh

Pemberian Makanan untuk Bayi dan Anak di Aceh pada Masa Pandemi Covid-19, Ini Praktik Baiknya

PMBA adalah program yang menitikberatkan pentingnya pemberian makan pada bayi dan anak yang memenuhi standar emas sesuai WHO

Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Seorang ibu muda menggendong bayinya sambil mendengarkan arahan dari tenaga kesehatan tentang pentingnya pemberian makan bayi dan anak (PMBA) untuk mencegah kasus malnutrisi (gizi buruk). Ini bagian dari program Rumoh Gizi Gampong. 

Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Untuk menurunkan angka malnutrisi (gizi buruk) di Aceh banyak hal yang bisa dilakukan, baik oleh orang tua, perangkat desa, tenaga dan instansi medis, maupun pemerintah daerah.

Mengingat pentingnya pelibatan lintas sekor dan keberlanjutan program ini, maka telah dilakukan acara Sharing Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA); Peluncuran Kelompok Kerja (Pokja) PMBA di Aceh; serta Asosiasi Konselor PMBA yang diberi nama “Bibuaneuk” (Beri Makan Anak).

Seluruh rangkaian acara tersebut dilaksanakan melalui Webinar yang diprakarsai UNICEF Kantor Perwakilan Aceh melalui Flower Aceh, Tim Penggerak PKK Provinsi Aceh, dan Dr dr Tan Shot Yen MHum selaku dokter dan ahli gizi masyarakat terkait program PMBA.

PMBA adalah program yang menitikberatkan pentingnya pemberian makan pada bayi dan anak yang memenuhi standar emas sesuai WHO, yakni inisiasi menyusui dini, ASI eksklusif , MP-ASI sesuai rekomendasi, dan melanjutkan menyusui sampai minimal dua tahun.

Penerapan standar emas ini untuk mencegah risiko anak mempunyai masalah gizi, karena kurangnya asupan makanan sebagai penyebab langsung malnutrisi.

Baca juga: Sejumlah Desa Raih Penghargaan Bupati Bireuen Terkait Penanganan Stunting

Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Dr Dyah Erti Idawati mengatakan, Kamis kemarin, bahwa saat ini semua pihak di Aceh sudah berada di jalur yang benar dalam penanganan stunting dan gizi buruk.

"Dalam memerangi stunting memang diperlukan gerakan dari semua pihak, termasuk melalui konseling PMBA," ujarnya.

Dr Tan Shot Yen MHum menambahkan bahwa pemberian makan yang benar dan baik dapat menghindarkan anak dari masalah risiko gizi di masa sekarang dan masa depan.

Sedangkan dr Natassya Phebe, Nutrition Officer UNICEF Perwakilan Aceh mengatakan bahwa UNICEF sangat mendukung untuk dibentuknya Asosiasi Konselor PMBA Aceh demi keberlanjutan program dan sebagai wadah komunikasi, advokasi, dan peningkatan kapasitas konselor yang berkesinambungan.

"Hal ini juga penting untuk kesiapsiagaan bencana, di mana para konselor PMBA sepanjang tahun 2018 sampai 2021, telah melakukan pendampingan kepada delapan kabupaten/kota melalui program pengentasan malnutrisi terintegrasi," ujarnya.

Salah satunya, lanjut dr Natassya, adalah pelatihan konselor PMBA yang akan melayani di puskesmas dan posyandu, kelas ibu, Rumoh Gizi Gampong atau Kelas Gizi.

Menurutnya, dalam program PMBA di delapan kabupaten/kota se-Aceh tersebut terdapat pembelajaran baik (best practice) yang dirangkum dalam penguatan enam pilar kekuatan program PMBA dalam sistem kesehatan.

Pertama adalah regulasi dan kepemimpinan. Menurut dr Natassya, pemerintah daerah di tingkat kabupaten, puskesmas, bahkan desa dapat membuat regulasi dan kebijakan yang mendukung upaya pencegahan malnutrisi di daerah.

Baca juga: Finalis MasterChef Ini dan Suaminya Didakwa karena Membunuh Pembantu Rumah Tangga

Peraturan tersebut dituangkan ke dalam beberapa bentuk, seperti peraturan bupati, peraturan wali kota, surat edaran, dan lainnya.

Salah satu contoh misalnya surat edaran di Kabupaten Aceh Jaya terkait integrasi layanan PMBA dengan layanan MTBS dan layanan konseling PMBA di Sabang dengan Program Geunaseh.

Keberadaan regulasi dan kebijakan tersebut juga akan memperkuat para tenaga kesehatan dalam melakukan implementasi program untuk menurunkan angka malnutrisi di Aceh, sekaligus dasar untuk mengajukan penganggaran rutin terkait pengembangan program.

Kedua, perencanaan dan penganggaran. Untuk memperkuat implementasi layanan diperlukan perencanaan dan penganggaran yang baik baik di tingkat kabupaten, puskemas maupun gampong.

Kader posyandu bersama bidan desa dan perwakilan puskesmas harus ikut serta dalam microplanning, penyusunan rencana kerja desa, musyawarah perencanaan dan pengembangan, serta rapat koordinasi tingkat kecamatan.

"Keterlibatan ini sangat penting agar pelaksanaan Program PMBA mendapatkan dukungan dari segi keuangan dan lancar dalam implementasinya," imbuh Natassya.

Dia ingatkan bahwa desa-desa di Aceh saat ini memiliki anggaran tahunan dari pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) untuk jalannya program pembangunan desa.

Program PMBA merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga kualitas generasi penerus masa depan di tiap keluarga dan ini perlu dijelaskan oleh kader kepada pengurus desa di saat rapat bersama.

Kader posyandu yang telah mendapatkan training PMBA di-SK-kan oleh kepala desa dan mendapatkan insentif bulanan dari dana desa.

Baca juga: Tidak Cukup Tekan Delete, Begini Cara Hapus Data Pribadi di Ponsel, Perlu Dilakukan Sebelum di Jual

Begitu juga di tingkat kabupaten dan provinsi, ini terlihat dari pengajuan APBD dan APBK yang menunjukkan peningkatan di bidang pengentasan masalah gizi.

Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan konselor PMBA secara berjenjang.

Predikat konselor diberikan pada tenaga kesehatan maupun nonkesehatan yang telah dilatih selama tiga hari, sedangkan untuk kader dapat diberikan orientasi PMBA agar dapat melakukan demo PMBA di posyandu.

Setiap kabupaten, lanjutnya, paling tidak harus memiliki dua sampai dengan empat orang master of trainer (MoT), di tingkat puskesmas paling kurang dua orang fasilitator puskesmas.

Selanjutnya bidan desa dari setiap desa dan paling kurang satu orang kader posyandu telah dilatih menjadi konselor PMBA.

Di samping itu, kata Natassya, pelatihan pengawasan suportif perlu diberikan kepada para MoT dan fasilitator tingkat puskesmas agar mereka dapat dengan baik melakukan supervisi kepada konselor PMBA (bidan desa dan kader) di bawahnya dalam melakukan konseling.

"Hal ini penting dilakukan untuk menjamin kualitas konseling di lapangan," ucapnya.

Keempat, komoditas atau logistik penunjang program. Dalam hal ini layanan konseling memerlukan perlengkapan dasar seperti kartu konseling, poster PMBA di posyandu, serta leaflet yang dapat dibagikan kepada orang tua yang dapat ditempel di rumah sebagai panduan dalam memberi makan anak.

Kelima, pelayanan konseling baik di puskesmas maupun di komunitas. Sasaran utama program layanan konseling PMBA, menurut Natassya, adalah ibu hamil dan ibu baduta, bahkan ibu balita, baik yang sehat maupun yang sakit.

Baca juga: VIDEO - Viral Buaya Hampir 5 Meter Ditemukan di Lokasi Wisata Renang

Layanan konseling PMBA, menurutnya, dapat berlangsung di puskesmas. Sementara di komunitas konseling dilakukan secara berkelompok dalam kegiatan posyandu, kelas ibu, kelas ayah, maupun kelas gizi atau Rumoh Gizi Gampong.

Selebihnya, konseling PMBA dilakukan pada saat melakukan kunjungan rumah. Ini disebut sebagai konseling individu.

Pada saat pandemi Covid-19 merebak, ulas Natassya, konseling melalui grup WA, telepon ataupun social media (panggilan melalui facebook) juga telah dilakukan oleh para konselor untuk memastikan keberlanjutan layanan.

Acara-acara keagamaan seperti pengajian bulanan yang berlangsung secara bergiliran dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan konseling PMBA secara berkelompok.

Selain itu, sektor perlindungan sosial juga mengintegrasikan PMBA, seperti Program Kota Layak Anak dan Program Geunaseh.

Keenam, sistem informasi dan data. Konselor PMBA yang telah terlatih dan telah melakukan konseling PMBA diwajibkan untuk melaporkan hasil konselingnya. Data ini juga digunakan untuk monitoring, terutama anak dengan masalah gizi, misalnya anak dengan gizi kurang.

Di samping pertemuan rutin bulanan, kata Natassya, para konselor juga bertemu dan berdiskusi melalui grup WhatsApp (WA). Kelompok tersebut terdiri atas kelompok para konselor di tiap-tiap kabupaten/kota.

Setiap konselor yang melakukan konseling, kata Natassya, melaporkan layanan konselingnya melalui bidan desa dan dilanjutkan kepada TPG puskesmas.

Untuk keberlanjutan program ini, urainya, diperlukan wadah konselor PMBA. Di tingkat provinsi telah diinisiasi pembentukan Wadah Konselor PMBA dengan nama Asosiasi Konselor PMBA (AKP) Bibuaneuk.

Di samping itu telah tersusun pula visi dan misi wadah tersebut. Direncanakan, setelah organisasi terbentuk akan dilanjutkan hingga ke tingkat kabupaten/kota.

Baca juga: Proteksi 1. 000 Hari Pertama Kehidupan untuk Cegah Stunting

Pembentukan wadah ini, terang Natassya, dimaksudkan agar konselor PMBA yang telah terlatih dapat saling mendukung satu sama lain. Tujuannya, agar program konseling PMBA dapat berkesinambungan meskipun sudah tidak mendapat dukungan dari pihak luar pemerintah.

Dengan wadah ini nantinya diharapkan mampu memperjuangkan keberadaan konselor PMBA sebagaimana konselor lainnya, sehingga mampu memberikan pelayanan yang berkesinambungan kepada masyarakat.

"Dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan, sehingga kerja sama lintas sektor perlu dilakukan," kata Natassya.

Di tingkat kabupaten, program kabupaten/kota layak anak merupakan sistem pembangunan berbasis hak anak, termasuk stunting dan PMBA melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya berbagai sektor.

Sektor lainnya seperti pendidikan pembangunan pedesaan, ekonomi, dan infrastruktur juga sangat terkait dengan program PMBA.

Hambatan

Program luhur ini, kata Natassya, bukan tanpa hambatan. Salah satunya adalah kebijakan politik di daerah sangat memungkinkan mutasi pejabat dinas hingga pejabat desa sering terjadi. Pergantian kepala desa sering pula berbuntut pada penggantian perangkat di bawahnya.

Untuk mengatasi masalah ini buatlah SK kader dan konselor oleh kepala desa dengan pengawasan camat dan muspika.

Selain itu, beri pemahaman bahwa kader yang telah mendapat pelatihan sebagai konselor PMBA untuk tidak diganti dengan yang lainnya, mengingat mereka telah memiliki keahlian sebagai konselor PMBA.

Di sisi lain, padatnya posyandu menjadikan waktu konseling oleh konselor tidak efektif dan kurang maksimal. Beberapa desa memiliki wilayah yang luas, sehingga jumlah ibu hamil dan balita lebih banyak, sedangkan jumlah konselor kader masih terbatas.

Baca juga: Mobil Fortuner Tabrak Tembok Jembatan di Jalinsum Aceh Timur

Menurut Natassya, sasaran konseling yang belum dapat terlayani saat hari H posyandu dapat dikunjungi kembali pada hari berikutya oleh konselor baik dari kader, bidan desa, maupun konselor TPG puskesmas.

"Hal ini dimaksudkan agar jangkauan konseling dapat lebih luas dan mencapai target," ujarnya.

Dengan promosi layanan konseling ini, kata Natassya, sesungguhnya Aceh akan dapat menekan laju kenaikan angka malnutrisi, terutama di masa pandemi Covid, dan mempercepat penyembuhan anak-anak yang telah telanjur memiliki masalah gizi.

"Dengan demikian, akan sangat menunjang percepatan penurunan stunting dan wasting (gizi buruk dan gizi kurang) di Aceh, sesuai dengan target pemerintah di RPJMN 2024, di mana diharapkan stunting menjadi 14% dan wasting menjadi 7%," demikian dr Natassya Phebe. (*)

Baca juga: Pengendara Harus Hati-hati, Satu Km Jalan Nasional di Sungai Raya Aceh Timur Terendam Banjir

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved