Opini
Memaknai Stunting di Aceh
Aceh, dengan otonomi khusus yang dimiliki, merupakan salah satu provinsi dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang tinggi.

Oleh. Nur Aisyah
Pemerhati Masalah Sosial dan Founder Cahaya Setara Indonesia-CSI
Aceh, dengan otonomi khusus yang dimiliki, merupakan salah satu provinsi dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang tinggi. Pada tahun 2021 misalnya, APBA mencapai Rp 16, 9 triliun. Tapi di sisi lain, terdapat beberapa indikator pembangunan yang masih perlu mendapatkan perhatian.
Salah satunya adalah stunting yang masih berada di tingkat ke-3 tertinggi. Realitas ini tentu saja menggelitik untuk ditelusuri dan dikaji.
Pemerintah Provinsi Aceh telah banyak melakukan upaya dan intervensi untuk mengurangi tingginya angka stunting di Aceh. Terdapat 2 kerangka intervensi stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh, yang juga merupakan bagian dari intervensi nasional, yaitu ‘Intervensi Gizi Spesifik’ dan ‘Intervensi Gizi Sensitif’.
Kebijakan lainnya adalah PERGUB No. 14/2019 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting Terintegrasi di Aceh. Program lain termasuk Rumah Gizi Gampong yang bertujuan untuk melakukan pencegahan stunting terintegrasi di Aceh.
Tetapi, dirilisnya hasil studi status gizi Indonesia (SSGI) Kab/Kota Tahun 2021 oleh Kementerian Kesehatan RI, dimana Provinsi Aceh berada di peringkat ke-3 nasional sebagai daerah paling tinggi angka stunting, menjadi alarm bagi pemerintah untuk meninjau kembali upaya yang telah dilakukan.
Bila kita merujuk pada pengalaman beberapa negara yang telah berhasil mengurangi angka stunting, ternyata terdapat pendekatan yang berbeda yang dilakukan, yakni dengan memberikan penekanan lebih pada aspek non-kesehatan, yaitu aspek sosial budaya. Aspek ini penting untuk diperhatikan karena stunting berkelindan erat dengan faktor sosial budaya di masyarakat.
Mari kita cermati praktik-praktik yang berlaku dalam masyarakat kita selama ini. Ibu hamil sering sering makan seadanya, kurang beristirahat, tak punya waktu memeriksakan kesehatannya. Seiring dengan bertambahnya usia bayi, semakin sedikit ibu yang memberikan ASI ekslusif kepada bayinya dalam periode enam bulan pertama. Ibu yang sibuk bekerja, suami yang tidak mendukung istri, pengaruh susu formula, menyebabkan kondisi kesehatan bayi pun tak optimal.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap stunting di Indonesia adalah masih maraknya perkawinan anak, yang juga terjadi di Provinsi Aceh. Menurut BKKBN Aceh dan Balai Syura Ditulis Nur Aisyah, pemerhati masalah sosial dan founder Cahaya Setara Indonesia (CSI) Ureng inong Aceh (BSUIA), angka perkawinan usia anak masih tinggi di Aceh, khususnya di 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (522), Kabupaten Bener Meriah (393) dan Kabupaten Aceh Barat Daya (317).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara usia ibu saat menikah dengan angka stunting, dimana terlihat kecenderungan, semakin muda usia ibu saat menikah, maka proporsi batita dengan status stunting semakin meningkat.
Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bila paparan ibu terhadap kekerasan dapat meningkatkan resiko stunting pada anak-anaknya. Dalam beberapa kasus, depresi ibu berkaitan dengan kelahiran anak dengan berat badan rendah, resiko prematuritas yang lebih tinggi dan peningkatan resiko komplikasi persalinan.
Pada masa pandemi Covid 19, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) justru semakin meningkat. KDRT mendominasi kasus kekerasan di Provinsi Aceh. DP3A mencatat, dari 594 kasus kekerasan, KDRT mencapai 213 kasus. 6 (Jan- Nov 2021). Dari kacamata pencegahan stunting, terdapat resiko terjadinya peningkatan tekanan psikologis pada perempuan sebagai ibu.
Artinya potensi meningkatnya angka stunting, wasting dan underweight sebagai dampak Pandemi yang harus diwaspadai tidak hanya berasal dari persoalan kemiskinan dan akses kesehatan, tapi juga kontribusi dari KDRT.
Dari potret di atas kita dapat memetik beberapa catatan penting, dimana walaupun stunting merupakan salah satu persoalan kesehatan, tetapi ia sangat berkaitan erat dengan aspek sosial budaya di sebuah masyarakat. Misalnya, penurunan kemiskinan, sering diidentikkan dengan perbaikan gizi. Tapi ternyata dalam akses makanan bergizi, tidak hanya kemiskinan saja yang dapat mempengaruhi perempuan tidak memperoleh gizi yang baik.