Berita Nasional
Ibadah Haji di Metaverse Tak Penuhi Syarat, MUI: Beberapa Ritual Butuh Kehadiran Fisik
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai program kunjungan Kakbah lewat metaverse yang diinisiasi oleh Arab Saudi pada Desember 2021
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai program kunjungan Kakbah lewat metaverse yang diinisiasi oleh Arab Saudi pada Desember 2021 lalu.
Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam, menjelaskan, kunjungan Kakbah lewat metaverse tidak bisa dipraktikan dalam ibadah haji.
Pasalnya, beberapa ritual dalam pelaksanaan ibadah haji membutuhkan kehadiran fisik.
Untuk diketahui, metaverse adalah realitas digital yang menggabungkan aspek media sosial, game online, augmented reality (AR), virtual reality (VR), dan cryptocurrency untuk memungkinkan pengguna berinteraksi secara virtual.

Augmented reality melapisi elemen visual, suara, dan input sensorik lainnya ke pengaturan dunia nyata untuk meningkatkan pengalaman pengguna.
Alih-alih hanya melihat konten digital, pengguna di metaverse akan dapat membenamkan diri dalam ruang di mana dunia digital dan fisik bertemu.
Metaverse dimulai saat rumor mulai beredar pada pertengahan Oktober 2021 tentang rebranding Facebook.
CEO Facebook Mark Zuckerberg mengumumkan nama Meta baru pada konferensi Facebook's Connect 2021 pada 28 Oktober, dengan situs web barunya mencapnya sebagai "social technology company.
" "Pelaksanaan ibadah haji dengan mengunjungi Kakbah secara virtual tidaklah cukup, dan tidak memenuhi syarat karena aktivitas ibadah haji.
Baca juga: Hampir 4.000 Orang Berangkat Umrah, Ibadah Haji Masih Tunggu Arab Saudi
Baca juga: Kementerian Agama Beri Tiga Opsi Ibadah Haji, Arab Saudi belum Beri Kepastian
Tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan.
Ada beberapa ritual yang membutuhkan kehadiran fisik," jelas Asrorun kepada Kompas.com, Selasa (8/2/2022).
Tak hanya memerlukan kehadiran fisik, ibadah haji juga erat kaitannya dengan tempat tertentu.
Misalnya saja, dalam hal thawaf atau mengelilingi Kakbah selama tujuh kali putaran.
"Jadi, tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual.
Atau dilaksanakan dengan mengelilingi gambar Kakbah atau replika Kakbah," kata Asrorun.
Namun demikian, ia mengatakan, Kakbah di metaverse sebenarnya bisa dimanfaatkan jamaah untuk mengenali lokasi yang akan dijadikan tempat ibadah.
Misalnya saja, dimanfaatkan untuk persiapan pelaksanaan haji atau umrah atau manasik haji.
Baca juga: Indonesia akan Lakukan Diplomasi Dengan Arab Saudi Terkait Vaksinasi, Ibadah Haji dan Umrah
Asrorun pun menilai, keberadaan Kakbah dalam metaverse merupakan bentuk dari inovasi teknologi sehingga harus disikapi secara profesional.
"Kunjungan ke Kakbah secara virtual bisa dioptimalkan untuk explore dan mengenali lebih dekat, dengan lima dimensi, agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah," jelas Asrorun.
Untuk diketahui, program kunjungan Kakbah via metaverse direalisasikan oleh Badan Urusan Pameran dan Museum Arab Saudi, bekerja sama dengan Universitas Umm al-Qura.
Dikutip dari KompasTV, proyek ini diperkenalkan dalam sebuah upacara pada 14 Desember 2021, dengan kehadiran Abdul-Rahman al-Sudais, Presiden Umum Haramain.
Namun, metaverse Kakbah tersebut menimbulkan kontroversi di antara umat Muslim seluruh dunia.
Salah satunya dari Kementerian Agama Turki.
Departemen Layanan Haji dan Umrah Turki, Remzi Bircan (Diyanet), mengatakan, melakukan ibadah haji di metaverse tidak mungkin dapat terjadi.
"Orang-orang Islam dapat mengunjungi Kakbah di metaverse, tapi itu tak akan pernah dianggap sebagai haji yang nyata," kata Remzi.
"Kaki orang harus menyentuh tanah," jelas Remzi Bircan.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Skema Pelaksanaan Ibadah Haji 2022
‘Itu Sama Saja dengan Game’
Istilah metaverse menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan di industri teknologi.
Istilah ini dipopulerkan oleh CEO Meta, Mark Zuckerberg, pada 2021 lalu.
Meski belum ada definisi yang pasti, metaverse sendiri dapat diartikan sebagai dunia virtual baru yang memungkinkan seseorang direpresentasikan dengan avatar, lalu dapat berinteraksi, bermain game, bekerja, dan berkomunikasi dengan orang lainnya dalam ruang tiga dimensi (3D).
Berbagai perusahaan teknologi pun berlomba-lomba membuat "metaverse" versinya masing-masing.
Namun, CEO Microsoft, Satya Nadella, mengungkapkan bahwa konsep metaverse sebenarnya tak lain adalah seperti membuat game.
"Lihat apa yang terjadi di metaverse.
Apa itu metaverse? Metaverse pada dasarnya adalah tentang membuat game," kata Nadella.
Baca juga: Dorong Percepatan Persiapan Ibadah Haji dan Umrah 1443 H, Kemenag Pastikan Prosesnya Profesional
Menurut Nadella, membuat metaverse itu pada dasarnya adalah kemampuan menempatkan orang, tempat, dan benda dalam mesin fisika.
Lalu, semua orang, tempat, benda dalam mesin fisika tadi saling berhubungan.
Ia mencontohkan, di metaverse, seseorang dan kolega kerjanya bisa hadir di ruang rapat yang sama secara virtual yang diwakili menggunkan avatar.
Lalu dilengkapi dengan suara agar percakapan yang berlangsung layaknya benar-benar terjadi di sekeliling pengguna.
"Coba tebak? Tempat di mana kami telah melakukan itu semua selama ini adalah saat bermain game," tambah Nadella.
Bos Microsoft itu mengambil contoh game balap mobil keluaran Microsoft, Forza.
Dalam game tersebut, kata Nadella, pengguna sudah direpresentasikan dengan avatar.
Hanya saja avatar-nya bukan dalam bentuk karakter orang, melainkan mobil.
Layaknya konsep avatar di metaverse yang bisa didandani sedemikian rupa, kata Nadella, mobil miliknya di game Forza juga bisa dimodifikasi sesuai keinginan pengguna.
Baca juga: Layanan Ibadah Haji di GITEX Dubai Diserbu Pengunjung
Hal inilah membuat metaverse juga memiliki kosep yang sama dengan game, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari PCWorld, Jumat (4/2/2022).
Butuh kacamata VR Meski disamakan dengan game, metaverse agaknya tidak sesederhana seperti bermain game di ponsel, PC, ataupun konsol.
Pasalnya, pengalaman di metaverse akan sangat bergantung dengan teknologi canggih seperti kacamata Virtual Reality (VR) dan sarung canggih dengan teknologi haptic.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pendiri Microsoft, Bill Gates pada Desember 2021 lalu.
Ketika itu, Gates sempat meramalkan bahwa pertemuan daring bakal diadakan di metaverse dalam dua-tiga tahun ke depan.
Gates mengatakan bahwa kacamata VR dan sarung tangan berteknologi haptic akan menjadi dua perangkat penting untuk menghadirkan pengalaman rapat virtual secara lebih nyata di metaverse.
Sebab, teknologi VR ini mampu menciptakan dunia simulasi 3D, mirip seperti dunia nyata atau dunia imajinasi sekalipun.
Simulasi 3D akan membuat kesan seolah-olah apa yang dilihat dengan VR adalah nyata.
Baca juga: Ibadah Haji Lebih Nyaman Bersama Pembiayaan Haji dari ACC Syariah
Sementara sarung tangan dengan teknologi haptic memungkinkan penggunanya seakan benar-benar menyentuh obyek virtual, sebab teknolgi ini mengaplikasikan sensasi sentuhan ke dalam interaksi manusia dengan komputer.
"Jadi kedua perangkat itu dapat menangkap ekspresi, bahasa tubuh, dan kualitas suara Anda secara akurat," tulis Gates.
Sejauh ini, kacamata VR memang sudah dimanfaatkan untuk keperluan bermain game atau video.
Meski begitu, menurut Gates, kebanyakan orang masih belum memiliki kacamata VR sekaligus sarung tangan haptic untuk mendapatkan pengalaman yang lebih nyata di metaverse.
Hal itulah yang disebut Gates bakal memperlambat adopsi virtual meeting di metaverse.(kompas.com)
Baca juga: Pandemi Telah Berdampak Atas Ibadah Haji dari Waktu ke Waktu, Wabah Kolera Sampai Covid-19
Baca juga: Arab Saudi Manfaatkan Teknologi Tinggi, Jaga Kenyamanan Jamaah Laksanakan Ibadah Haji