Napi Dipaksa Makan Muntah, Komnas HAM Temukan Penyiksaan di Lapas Pakem Jogja
Bahkan mereka disuruh telanjang tanpa menggunakan pakaian apapun dan diminta mencabut rumput sembari dicambuk menggunakan selang.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan beragam tindakan penyiksaan, kekerasan, dan perlakuan yang merendahkan martabat warga binaan pemasyarakatan oleh petugas di Lapas Narkotika Klas II A Yogyakarta atau Lapas Pakem di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Beberapa di antaranya memakan muntahan hingga meminum air seni.
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Wahyu Pratama Tamba menjabarkan ada delapan tindakan yang merendahkan martabat, serta sembilan tindakan penyiksaan berupa kekerasan fisik yang terjadi di Lapas Paem.
"Terkait perlakuan merendahkan martabat, tercatat delapan tindakan antara lain, disuruh pelaku untuk memakan muntahan makanan," kata Tama pada konferensi pers yang digelar Komnas HAM, Senin (7/3). "Disuruh meminum air seni dan mencuci muka menggunakan air seni," tambahnya.
Selain itu, warga binaan juga mendapatkan pemotongan jatah makanan. Bahkan mereka disuruh telanjang tanpa menggunakan pakaian apapun dan diminta mencabut rumput sembari dicambuk menggunakan selang.
Warga binaan juga disuruh melakukan tiga gaya bersetubuh dalam posisi telanjang. Selain itu, penggundulan rambut dilakukan dalam posisi telanjang.
Mereka juga disuruh jongkok dan berguling-guling di aspal dalam keadaan telanjang. Ada pula yang disuruh memakan buah pepaya busuk dalam keadaan telanjang sambil disaksikan sesama warga binaan, petugas lapas baik pria maupun wanita.
Dalam melakukan penyiksaan kepada warga binaan, Tama mengungkapkan bahwa para petugas lapas menggunakan berbagai alat.
"Terdapat minimal 13 alat yang digunakan dalam penyiksaan," ujar Tama. Alat tersebut diantaranya selang, kayu, kabel, buku apel, tangan kosong, sepatu PDL, air garam, air deterjen, pecut sapi, timun, sambal cabai, sandal, dan barang yang dibawa tahanan baru.
"Terdapat sembilan tindakan penyiksaan kekerasan fisik di antaranya pemukulan baik menggunakan tangan kosong maupun penggunaan alat seperti selang, kabel, alat kelamin sapi, dan kayu, pencambukan menggunakan alat pecut dan penggaris, ditendang, dan diinjak-injak dengan menggunakan sepatu PDL, dan lain-lain," paparnya.
Kata Tama, petugas melakukan kekerasan sebagai bentuk pembinaan dan pendisiplinan terhadap warga binaan. Selain itu, tindakan itu juga untuk menurunkan mental atau menekan atau membuat down psikologis dari warga binaan.
"Konteks terjadinya penyiksaan. Dalam melakukan penindakan, petugas melakukan kekerasan sebagai bentuk pembinaan dan pendisiplinan terhadap WBP. Selain itu untuk menurunkan mental WBP," ungkap Tama.
Komnas HAM mencatat terdapat minimal 16 titik tempat lokasi terjadinya penyiksaan. Beberapa di antaranya Branggang yaitu tempat pemeriksaan pertama saat warga binaan baru masuk lapas, blok Isolasi pada kegiatan mapenaling, blok Edelweis, lapangan, setiap blok-blok tahanan warga binaan, aula bimbingan kerja, kolam ikan lele, ruang P2U, dan lorong-lorong blok.
Tim Komnas HAM bahkan menemukan penyiksaan tetap terjadi sampai peristiwa ini terungkap ke publik pada Oktober 2021. Tama mengungkapkan tim Komnas HAM menemukan penyiksaan ini saat melakukan pemantauan pada enam orang warga binaan.
Baca juga: NasDem Aceh Wajibkan Anggota DPRK dan DPRA Rekrut Kader Baru
Baca juga: 60.000 Tiket MotoGP Mandalika Ludes Terjual, Syarat Nonton Langsung Sudah Dua Kali Vaksin
"Enam orang warga binaan pemasyarakatan dalam kondisi luka di beberapa bagian tubuhnya seperti luka kering, luka bernanah di punggung dan lengan, luka keloid di punggung, dan luka membusuk di lengan," jelas Tama.
Penyiksaan juga terjadi kepada tahanan titipan dari Kejaksaan. Hasil temuan juga menemukan bahwa intensitas kekerasan terjadi lebih tinggi kepada residivis. Para residivis ditandai oleh petugas ketika masuk lapas dan dipisahkan dengan tahanan lain.
Sementara Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam menambahkan, terdapat tiga layer (lapis) pelaku kekerasan, penyiksaan, dan perendahan martabat yang terjadi di Lapas Pakem. Lapis pertama adalah petugas yang mengakui melakukan tindakan pemukulan, menendang, dan mencambuk menggunakan selang.
Lapis kedua adalah petugas yang melihat langsung tindakan pemukulan dan penelanjangan di terhadap WBP kiriman baru yang dilakukan sebelum masuk blok. Sementara lapis ketiga yakni petugas yang mengetahui atau mendengar dari rekan regu pengaman yang bertugas saat itu. "Jadi memang ada tiga layer. "Ada layer yang melakukan, mengetahui, ada layer yang mengetahui tapi basisnya mendengar. Jadi pelakunya itu," kata Anam.
Selain itu, kata dia, pejabat struktural di lapas juga menjadi bagian dari tindakan-tindakan kejam tersebut. Ia mencontohkan, pada medio tertentu tertentu kunci tahanan dibiarkan berada di lapas. Padahal, menurut aturan seharusnya kunci tersebut dibawa ke rumah dinas Kalapas. "Apakah struktur di sana masuk bagian dari itu? Masuk. Kunci yang tidak ditaroh di rumah dinas itu bagian dari mengetahui. Apakah struktur di lapas itu ikut melakukan pemukulan? Ada yang ikut melakukan pemukulan tapi basisnya berbeda-beda. Jadi layer intensitasnya berbeda-beda," kata dia.
Terkait temuan tersebut, Tama menjelaskan dalam upaya perbaikan dijelaskan bahwa saat itu kunci ditahan dulu dan ditempatkan di Pintu Penjaga Utama (P2U) dengan tetap di bawah monitoring Kalapas. Namun, kata dia, anak kunci sering tidak dikembalikan ke rumah dinas Kalapas.
"Anak kunci diletakkan di area P2U sehingga sering terjadi peminjaman atau istilah 'bon WBP' dari blok tahanan," kata Tama.
Komnas HAM meminta Menteri Hukum dan HAM RI bersama jajaran terkait untuk melakukan pemeriksaan kepada siapapun yang melakukan atau mengetahui tindakan kekerasan tersebut. "Jika ditemukan adanya pelanggaran hukum, harus dilakukan penegakan hukum," katanya.
Terpisah, Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daerah Istimewa Yogyakarta, Gusti Ayu Putu Suwardani, menyampaikan permohonan maafnya menanggapi temuan Komnas HAM itu.
"Permohonan maaf atas kelalaian yang diduga telah dilakukan oleh beberapa oknum petugas terhadap beberapa WBP LP Narkotika Yogyakarta," kata Gusti Ayu dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Senin (7/3).
Gusti Ayu mengatakan, Kanwil Kemenkumham Yogyakarta telah lebih dulu melakukan langkah- langkah yang direkomendasikan oleh Komnas HAM sebelum adanya pengaduan tersebut. Seperti melakukan pemeriksaan terhadap beberapa oknum petugas yang diduga
terlibat. Juga memindahkan lima oknum petugas yang disinyalir melakukan kekerasan ke kantor wilayah.
"Menetapkan pejabat sementara dan merotasi beberapa petugas untuk menetralisir situasi dan kondisi," kata Gusti Ayu.
Berikutnya, memastikan pelaksanaan tugas sesuai SOP dalam rangka pemenuhan hak-hak tahanan dan narapidana (PB, CB,CMB,CMK), termasuk di dalamnya penerimaan dan pembinaan.
Memberikan perawatan kesehatan secara maksimal dan pendampingan psikologis bagi beberapa warga binaan yang masih mengalami traumatik, serta memberikan penguatan kepada petugas dan monitoring secara intensif terhadap setiap perubahan yang mengarah pada perbaikan di LP Narkotika Yogyakarta dan memastikan tidak ada peredaran maupun tindakan terlarang.
Gusti Ayu memastikan monitoring masih dilakukan sampai saat ini dengan perubahan yang signifikan. "Tetap melakukan koordinasi dan komunikasi dengan ORI (Ombudsman) Perwakilan DIY dan Komnas HAM," ungkap Gusti Ayu.
Dia menambahkan bahwa saat ini telah ditempatkan pejabat-pejabat baru dan Kepala Kesatuan Pengamanan sudah dikembalikan ke Lapas Narkotika Yogyakarta sesuai tugas dan fungsi.
"Kanwil Kemenkumham DIY memegang komitmen untuk mempertahankan dan memperjuangkan lapas/rutan DIY tetap bebas dari narkoba, HP dan pirantinya," kata Gusti Ayu.(tribun network/git/fah/ham/dod)