Mendag: Krisis Minyak Goreng Ulah Manusia Rakus
Mendag menyampaikan data pasokan minyak goreng hasil domestik market obligasi sebanyak 720 juta liter dan telah didistribusikan mencapai 570 juta.
Ditekan Konglomerat
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, kebijakan pemerintah terus berubah terkait ketersediaan dan harga minyak goreng. Pada awal tahun ini, pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) sawit dari awalnya 20 persen, tidak lama menjadi 30 persen.
Kemudian, ada subsidi minyak goreng curah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di mana pengawasannya lemah. Namun paling baru, pemerintah justru melepas harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan, sehingga harganya sesuai keekonomian.
"Nah, ini khawatirnya pemerintah gonta-ganti kebijakan karena tidak kuat berada dalam tekanan konglomerat sawit," ujarnya.
Lebih lanjut secara teknis, Bhima menjelaskan, kebijakan subsidi minyak goreng curah lewat BPDPKS tidak berdampak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kecuali, ketika alokasi subsidi BPDPKS tidak memadai, maka ada kemungkinan dibutuhkan bantuan mekanisme dari APBN.
Bhima menilai, idealnya memang subsidi minyak goreng ini melalui APBN, sehingga lebih transparan dan pengawasan jauh lebih mudah daripada lewat BPDPKS. "Misalnya, pengawasan untuk subsidi ini bisa digabungkan dengan data terpadu kesejahteraan sosial, sehingga lebih tepat sasaran siapa penerima subsidinya," katanya.
Sementara, kebijakan subsidi pemerintah dinilai ada kesalahan karena untuk minyak goreng kemasan itu yang membeli belum tentu kelas menengah bawah atau miskin. Justru, kata Bhima, yang membeli banyak dari kelas menengah atas, apalagi minyak goreng subsidi tersebut dijual melalui minimarket modern.
Baca juga: Pemerintah Masih Kaji Kebijakan Mudik Tahun 2022
Baca juga: Polisi akan Sita Uang Rp 1 Miliar yang Diberikan Doni Salmanan ke Reza Arap
Baca juga: Jelang Ramadhan, Sejumlah Harga Kebutuhan Pokok di Aceh Tengah Naik
"Itu kesalahan yang jangan sampai terulang," tutur dia. Kemudian, dia menilai segala bentuk perubahan kebijakan pemerintah ini belum tentu akan membuat harga minyak goreng lebih terjangkau dan mudah didapat. Sebab, malah yang disubsidi adalah minyak goreng curah, maka pengawasannya akan sangat susah dari sisi distribusi.
Minyak goreng curah bisa kemungkinan dioplos dengan jelantah dengan tidak ada kemasan maupun barcode-nya, sehingga rentan terjadinya penimbunan. Selain itu, masyarakat juga pastinya kalau melihat ada gap antara minyak goreng kemasan dengan curah, maka akan turun kelas.
"Tidak menutup kemungkinan mereka akan turun kelas mengkonsumsi minyak goreng curah dan itu bisa mengakibatkan alokasi subsidi BPDPKS tidak mencukupi, akan terjadi kelangkaan juga. Jadi, ini tidak selesai, harusnya tetap kebijakannya itu adalah DMO, cari rantai distribusi bermasalah yang menimbun untuk tegakan hukumnya, dan dari sisi HET-nya itu juga dipantau," pungkas Bhima.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU), Ukay Karyadi menyebut permasalahan krisis minyak goreng sebenarnya terjadi sejak di hulu, yakni perkebunan kelapa sawit. Kata Ukay banyak pengusaha-pengusaha besar yang justru mendapatkan jatah lahan perkebunan kelapa sawit dan ini membuat semua menjadi kacau.
"Ini kan sebagian besar alokasi perkebunan kelapa sawit untuk pengusaha besar semua yang punya industri turunannya. Kita sedang sibuk memantau di sana," ujar Ukay.
Tidak hanya itu, perkebunan kelapa sawit milik rakyat juga harus menjuak produknya untuk diolah ke perusahaan-perusahaan besar karena alasan belum memiliki alat pengolahan CPO. Untuk itu harus didata sesegara mungkin terkait siapa-siapa saja perusahaan-perusahaan besar di hulu.
"Ini kelompok usaha, kan nggak ketahuan ya. Tahu-tahu begitu di rekap, digabung-gabung ternyata lahannya luas, sehingga mereka memiliki posisi tawar untuk menentukan harga CPO," ujarnya.(Tribun Network/nis/sen/van/wly)