Breaking News

Ramadhan 2022

Siapa Saja yang Wajib Mengqadha & Bayar Fidyah untuk Ganti Puasa Ramadhan? Begini Kata Buya Yahya

Jelang Ramadhan 2022, siapa saja orang yang diwajibkan qadha dan membayar fidyah untuk mengganti puasa Ramadhan? Simak dalam artikel berikut ini.

Penulis: Firdha Ustin | Editor: Mursal Ismail
Ig @buyayahya_albahjah
Buya Yahya 

Jika sudah genap 15 tahun, maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriah.

3. Sakit

Orang sakit boleh meninggalkan puasa.

Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:

Sakit parah yang memberatkan untuk berpuasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.

Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.

Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.

Akan tetapi, siapa pun yang sedang berpuasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk berpuasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.

Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang berpuasa.

Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.

4. Orang Tua

Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.

Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.

Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.

5. Bepergian (Musafir)

Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:

Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak berpuasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misalnya kata Buya Yahya :

Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).

Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.

Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.

Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.

Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.

Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.

Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.

Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.

Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.

Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.

Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.

Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.

6. Hamil

Orang hamil diperbolehkan tidak berpuasa.

Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).

7. Menyusui

Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak berpuasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.

Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.

8. Haid

Wanita yang sedang haid tidak wajib berpuasa, bahkan jika berpuasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.

9. Nifas

Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib berpuasa.

Jika berpuasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya. (Serambinews.com/Firdha Ustin)

Baca juga berita lainnya

Baca juga: Catat Jadwalnya! Pulau Banyak Tuan Rumah West Sumatera Yacht Rally 2022

Baca juga: Jangan Pernah Menikahi Orang yang Mengetahui Kamu Pernah Berzina, Buya Yahya: Kebawa Sampai Kapanpun

Baca juga: Tak Takut Disanksi Barat, Putin Sebut Dominansi Politik dan Ekonomi Barat di Dunia Sedang Runtuh

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved