Internasional

Wakil Perdana Menteri Ukraina Kutuk Rusia, 'Kota Mariupol Sudah Tidak Ada Lagi'

Pemerintah Ukraina mengutuk keras Rusia yang telah menghancurkan Kota Mariupol. "Mariupol tidak ada lagi, sudah dihantam oleh serangan Rusia dan kini

Editor: M Nur Pakar
Ukrinform.net
Wakil Perdana Menteri Ukraina, Olga Stefanishyna 

SERAMBINEWS.COM, KIEV - Pemerintah Ukraina mengutuk keras Rusia yang telah menghancurkan Kota Mariupol.

"Mariupol tidak ada lagi, sudah dihantam oleh serangan Rusia dan kini 85 % hancur," kata Wakil Perdana Menteri Ukraina, Olga Stefanishyna, Minggu (27/3/2022).

""Itu tidak ada lagi," tambahnya.

"Di Mariupol, situasinya sangat buruk, meskipun kami berhasil mengeluarkan 150.000 orang dari sana," ujarnya.

"Tetapi masih banyak dari mereka yang tertinggal di sana," katanya di "This Week" ABC News, Minggu (27/3/2022).

"Mereka tidak memiliki akses ke air, persediaan makanan, apapun," ungkapnya.

Dia juga mengatakan Rusia telah secara paksa memindahkan beberapa orang Mariupol ke Rusia, menggemakan klaim yang dibuat pekan lalu oleh dewan kota.

Baca juga: Partai Politik Utama Rusia Buka Kantor di Mariupol, PBB Kesulitan Hitung Korban Tewas

Mantan Direktur CIA Jenderal David Petraeus menyebut kota itu seperti "Alamo Ukraina."

Kota itu kemungkinan akan jatuh ke tangan Rusia meskipun pertahanan Ukraina kuat, katanya.

"Tentara Ukraina masih berjuang untuk menembaki beberapa batalyon Rusia ... sangat heroik," tambahnya.

"Tetapi, pada akhirnya sepertinya itu harus runtuh, itu akan diambil," katanya.

Sementara itu Duta Besar Ukraina Oksana Markarova, Minggu (27/3/2022) berharap Presiden Rusia Vladimir Putin tidak boleh memimpin negara itu jika dihukum karena kejahatan perang.

Ukraina mengajukan semua aplikasi untuk membuka penyelidikan terhadap Rusia di pengadilan internasional atas kejahatan perang, kata Makarova di "State of the Union" CNN.

Baca juga: Pasukan Rusia Tahan Konvoi Truk Bantuan Kemanusiaan ke Mariupol, Pekerja dan Sopir Ditangkap

“Setiap orang Rusia yang bertanggung jawab untuk itu harus berakhir di penjara karena kejahatan perang ini," katanya.

"Putin tidak ada hubungannya untuk memimpin negara jika Rusia ingin menjadi negara yang demokratis atau bahkan beradab,” tambahnya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved