Kupi Beungoh
Rindu Thimpan di Paris
Indahnya lagi, adik saya Ali Jusuf yang menjadi bilal, mengumandangkan azan dengan alunan irama Aceh.
Oleh: Alijullah Hasan Jusuf*)
Saya datang ke Prancis tahun 1970 silam. Sebagai seorang perantau dari dusun Blang Paseh Sigli, telah lama berkelana di Negeri Napoleon Bonaparte ini, sangat banyak kesan dan pengalaman Bulan Ramadhan yang telah saya alami.
Terutama bila puasanya jatuh pada musim panas, antara Juni, Juli dan Agustus, maka siang lebih panjang.
Sahur bermula pada pukul 3.00 dan berbuka pada pukul 22.00, saat mana matahari baru tenggelam. Sehingga kami umat Islam harus berpuasa selama 19 jam!
Memang berat, apa lagi bila kita ke Utara Eropa, seperti Denmark, Sweden, Norwegia dan Filandia maka bisa lebih lama lagi lagi, karena adakalanya di negeri itu selama 1 bulan tidak ada waktu malam, siang terus.
• Lurah Paris Asal Sigli, Alijullah Hasan Jusuf Kembali Terbitkan Buku
Demikian juga sebaliknya. Pada keadaan seperti itu, biasanya kaum muslimin Eropa Utara, merujuk jadwal di Mekkah.
Lamanya waktu berpuasa ini, pada awalnya terasa sangat berat.
Apalagi di Prancis tidak ada perlakuan spesial pada periode puasa, semua toko, restoran dan tempat keramaian tetap dibuka.
Puasa di musim panas (summer) seperti ini, ada kalanya suhu matahari mencapai 35 derajat, menyebabkan dahaga yang dahsyat.
• Lurah Paris asal Sigli, Alijullah Hasan Jusuf Shalat Ied di Rumah Bersama Anak dan Istri
Namun karena keyakinan dan kekuatan iman, semua terasa jadi ringan.
Masyarakat Prancis ikut toleransi dan menghargai masyarakat yang puasa.
Malah mereka mengaku kagum campur heran, kok sanggup menahan lapar dan dahaga begitu lama, belasan jam selama sebulan penuh.
Sewaktu saya bekerja di KBRI Paris di bulan puasa memang agak dilematis, terutama bila melayani tamu negara dari Indonesia yang menerapkan hukum musafir.
Bila waktu makan siang, saya harus mengantar mereka ke restoran.
Terpaksa duduk memesan makan untuk tamu.
Di sini sungguh besar tantangannya, menghadapi hidangan enak.
Tetapi saya tetap tegar mempertahankan puasa.
Dalam bulan suci inilah saya sering merindukan tradisi /suasana Ramadhan di Kampung.
Suasana Ramadhan di kampung semasa kecil, yang terbayang adalah gembira.
Siang mengumpulkan beras dari penduduk, untuk dimasak bubur kanji di mesjid.
Lebih rindu lagi, dengan suara hiruk pikuk kokok ayam di pagi hari.
Suasana ini yang sangat saya rindukan.
Kerinduan akan makin besar lagi di saat lebaran.
Takbiran keliling kota bersama teman-teman yang pulang mudik.
Shalat Idul Fitri di lapangan terbuka, keliling ke rumah-rumah sanak saudara mencicipi kue semprong, kacang taujin, dan terutama makanan khas Aceh.
Khususnya TIMPHAN, ini yang sangat saya rindukan.
Sebab di Paris tidak ada yang jual daun pisang untuk pembungkus timphan.
Namun, semua ini sudah resiko bagi seorang perantau.
Di mushalla kami di Kantor KBRI Paris, saya sempat mewariskan kebiasaan yang dulu saya peroleh dari masjid di kampung, di Blang Paseh Sigli, Pidie.
Dimana setiap selesai shalat berjamaah, terutama pada Jumatan, imam bangun sambil mengumandangkan shalawat Nabi, lalu menyalami para jamaah sambil berkeliling dari shaf pertama sampai ke shaf belakang yang dikuti oleh semua jamaah lainnya secara bergilir dan teratur.
Indahnya lagi, adik saya Ali Jusuf yang menjadi bilal, mengumandangkan azan dengan alunan irama Aceh.
Komunitas muslim di Pranci
• Alijullah, Anak Sigli Jadi Lurah Paris, Sang Penumpang Gelap Jalani Dua Kali Puasa di Masa Pandemi
s kebanyakan adalah imigran dari Aljazair, Maroko, Tunisia dan negara-negara Afrika bekas jajahan Prancis.
Kini telah banyak pula pendatang lainnya dari Timur Tengah seperti Syria, Iran, dan Irak Turki.
Kehadiran mereka ini membuat pemerintah Prancis mau tidak mau memberi perhatian penuh, disebabkan generasi muda dari komunitas muslim ini lahir di tanah Prancis dan sudah berwarganegara Prancis.
Otoritas lokal pun telah mengizinkan pembangunan masjid.
Selain di Paris, kini masjid banyak pula berdiri di kota-kota besar lainnya seperti Lille dan Lyon di Utara Prancis, hingga ke Selatan Kota Marseille yang dijuluki kotanya Zidane, karena pemain bola terkenal Zinedine Zidane berasal dari kota yang mayoritas muslimnya dari Aljazair.
Adapun muslim Indonesia tergabung dalam PERMIIP (Persatuan Masyarakat Islam Indonesia Perancis).
Karena kondisi, maka masyarakat Indonesia hanya bisa mengadakan buka puasa bersama dan taraweh setiap hari Sabtu di Aula Kedutaan Besar RI Paris.
Imam dan penceramah didatangkan dari kota lain dan ada kalanya diundang dari Indonesia.
Kalau shalat Jumat, muslim Indonesia bisa pula shalat di KBRI, yang sering diikuti juga oleh masyarakat Brunei dan Malaysia bahkan Warga Aljazair Surya.
Shalat Idul Fitrinya tahun ini di gelar di Kedubes RI Paris.
Biasanya selepas shalat Id, warga langsung berhalal bihalal di KBRI atau ke Wisma Duta, bersama seluruh masyarakat Indonesia lainnya, muslim dan non muslim.
Sudah pasti ada aneka panganan khas Indonesia yang disuguhkan pihak KBRI.
Dua tahun ke belakang, Masyarakat Islam di Prancis tidak bisa menggelar sembahyang Idul Fitri berjamaah di masjid-masjid disebabkan Covid 19, Alhamdulillah tahun lalu dan tahun ini dapat sembahyang bersama komunitas Muslim di Perancis.
Kedutaan Indonesia juga mengadakan shalat Idul Fitri di Gedung KBRI dengan jamaah terbatas.
Kami masyarakat Aceh ada beberapa keluarga.
Ali Jusuf, Taufik Akbar, Rajah Aceh, Iskandar dan beberapa lainnya sangat harmonis saling bersilaturahmi.
Paris, 2 Mei 2022.
*) PENULIS Alijullah Hasan Jusuf adalah Penulis buku-buku best seller masih beredar di Toko buku Zikra dan Gramedia Banda Aceh: PENUMPANG GELAP, Menembus eropa tanpa Uang Paris Aku Kan Kembali,(Penumpang Gelap ke-2)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.