Sejarah Aceh

MENOLAK LUPA! Hari Ini 19 Tahun Lalu, Presiden Megawati Berlakukan Operasi Militer di Aceh

Pada tanggal tersebut, Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarno Putri menyatakan Aceh sebagai daerah dengan status darurat militer.

Editor: Agus Ramadhan
Serambi Indonesia
Bentuk KTP Merah Putih yang khusus berlaku di Aceh saat Pemerintah RI memberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 19 Mei 2003. 

MENOLAK LUPA! Hari Ini 19 Tahun Lalu, Presiden Megawati Berlakukan Operasi Militer di Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Salah satu peristiwa yang wajib dicatat dan diingat oleh masyarakat Aceh, adalah pemberlakuan Operasi Militer di Aceh 19 tahun silam tepatnya pada 19 Mei 2003.

Pada tanggal tersebut, Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri menyatakan Aceh sebagai daerah dengan status darurat militer.

Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 28/2003 tentang Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku mulai Senin (19/5/2003) pukul 00.00 WIB. 

Operasi militer ini diberlakukan untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang saat itu disebut menolak tiga syarat yang diajukan pemerintah dalam perundingan di Tokyo, Jepang. 

Dari berbagai sumber, ketiga syarat tersebut yakni menerima otonomi khusus, menyelesaikan Aceh dalam kerangka negara kesatuan RI, dan meletakkan senjata.

Operasi militer Indonesia di Aceh ini disebut operasi terpadu oleh Pemerintah Indonesia.

Baca juga: Rocky Minta Eks GAM Tanam Kopi, Bupati Tinjau KTM Sumedang Jaya

Operasi ini dilancarkan angkatan bersenjata Indonesia untuk melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung kira-kira satu tahun.

Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja di Timor Timur (kini negara Timor Leste) pada tahun 1975.

Dan melalui operasi ini, pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan diri.

Berakhir karena Bencana

Operasi ini masih terus berlangsung hingga ketika gempa bumi dan tsunami mahadahsyat menghancurkan Aceh pada 26 Desember 2004.

Bencana membawa hikmah, begitulah banyak orang menyebutnya.

Gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakan bangunan dan merenggut seratus ribu lebih nyawa dan triliunan harta benda rakyat Aceh, menjadi awal dari terbukanya kembali jalan menuju Aceh yang damai.

Tragedi terbesar di abad ini telah mendorong para pihak GAM dan Pemerintah Indonesia, untuk menanggalkan sikap ego dan saling unjuk kekuatan.

Setelah melalui perundingan alot yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), kedua belah pihak yang berseteru mengambil keputusan untuk sepakat berdamai, agar rakyat Aceh yang telah babak belur dihantam konflik serta bencana gempa dan tsunami, bisa kembali menatap masa depannya.

Tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki Finlandia, kedua pihak menandatangani naskah perjanjian damai yang mengakhir konflik 30 tahun di Aceh.

Kesepakatan ini sangat melegakan masyarakat internasional dan berbagai lembaga kemanusiaan yang kala itu sedang membantu rakyat Aceh melewati masa-masa tersulit dalam kehidupan.

Baca juga: Dana Otsus Aceh Melimpah, Eks Kombatan GAM Sofyan Dawood: Aceh belum Ada Apa-apa Hari Ini

Sejarah Operasi Militer di Aceh

Operasi yang dilancarkan pada 19 Mei 2003 itu, bukanlah operasi kali pertama yang diberlakukan Pemerintah Indonesia di Aceh.

Sebelumnya, pemerintah juga telah melancarkan operasi militer Indonesia di Aceh pada tahun 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah.

Dari wikipedia.com, ini adalah operasi kontra pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan GAM di Aceh.

Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer atau dikenal dengan DOM.

Dalam operasi militer yang dilancarkan pada 19 Mei 2003, pemerintah mengirimkan lebih dari 30.000 tentara dan 12.000 polisi.

Presiden Megawati Soekarnoputri kala itu memberikan izin operasi militer melawan GAM dan menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan.

Operasi militer ini terjadi setahun setelah meninggalnya Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'e dalam penyergapan yang dilakukan TNI pada 22 Januari 2002 pukul 09.00 WIB.

Tak lama berselang, Muzakir Manaf alias Mualem menggantikan sosok Tgk Abdullah Syafi'e sebagai Panglima GAM.

Setahun kemudian, pada 28 April 2003, Pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu dua minggu.

Namun, Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut, tetapi Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.

Dilansir wikipedia.com, pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM.

Baca juga: Ibu Eks Kombatan GAM di Aceh Utara Terisak Bersihkan Sisa Darah Anaknya, Setelah Meninggal Ditembak 

Pimpinan dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, hingga Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan darurat militer.

Dalam operasi militer ini juga tepatnya, Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan untuk mencetak KTP baru yang dikenal KTP Merah Putih.

KTP ini harus dibawa semua penduduk Aceh untuk membedakan pemberontak dan warga sipil. 

Operasi tersebut terus berlangsung kala itu. TNI/Polri saat tak henti mencari dan menekan GAM, korban berjatuhan di kedua pihak.

Kondisi di Aceh saat itu terbilang mencekam, medio 2003-2004 Aceh berstatus merah.

Setahun berlangsung, pada Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil.

Hal itu diumumkan Pemerintah Pueat setelah rapat kabinet 13 Mei 2004.

Pemerintah mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan mengklaim ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan menyerahkan diri.

Namun agresi-agresi militer kedua pihak terus terjadi saat itu, TNI/Polri terus memburu, GAM juga tak henti memperjuangkan kemerdekaan.

Hingga akhirnya, pada 26 Desember 2004, bencana mahadahsyat terjadi, gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan kawasan pesisir Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa.

Saat itulah kedua belah pihak, GAM dan Pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.

Bencana tsunami dahsyat tersebut  menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh.

Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya terwujud pada tahun 15 Agustus 2005 melalui perundingan di Helsinki.

Damai terwujud di Aceh setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. (*)

Artikel ini telah ditulis oleh wartawan Harian Serambi Indonesia, Subur Dani dan tayang di SerambiNews.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved