Berita Politik

Pencaplokan Empat Pulau Rawan Konflik, Partai Aceh Sebut Pusat Buat Keputusan Sepihak

Partai Aceh melalui Juru Bicaranya, Nurzahri, menyorot sikap Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)

Editor: bakri
For Serambinews.com
Serambi Podcast bersama Hurriah Foundation dengan tema: "Potensi Konflik dengan Hilangnya Empat Pulau di Aceh?" menghadirkan narasumber: Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (Antropolog UIN Ar Raniry), Nurzahri ST, MA (Mantan Ketua Komisi I DPRA\Jubir PA\KPA), Dr Badri Hasan, MH (Peneliti Hukum), dipandu oleh host Tieya Andalusia, (Penyiar Radio Serambi FM) di Studio Serambi FM, Sabtu (28/05/2022) 

BANDA ACEH - Partai Aceh melalui Juru Bicaranya, Nurzahri, menyorot sikap Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), yang memutuskan secara sepihak bahwa empat pulau di Aceh Singkil masuk wilayah Sumatera Utara.

Menurut dia, secara sosiopolitik, klaim terhadap keempat pulau itu bisa kembali memunculkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap Pusat.

Dia khawatir akan terjadi konflik dan gesekan-gesekan terkait isu tersebut.

"Ini yang mungkin bisa jadi potensi konflik karena kondisi sosiopolitik Aceh mungkin sudah terlalu banyak dikecewakan Pemerintah Pusat.

Pemerintah kembali ke aturan yang dibuatnya sendiri, minimal ke undang-undang penyelesaian konflik," katanya.

Hal itu diutarakan Nurzahri saat menjadi narasumber dalam podcast Hurriah Foundation dan Serambi Indonesia, Sabtu (28/5/2022) kemarin.

Podcast yang dipandu Tieya Andalusia itu juga menghadirkan Antropolog UIN Ar-Raniry, Dr Kamaruzzaman dan Dr Badri Hasan selaku peneliti hukum di Aceh.

Nurzahri yang juga mantan Anggota DPRA ini menceritakan tentang kronologis awal mula terjadi sengketa ke empat pulau tersebut, yaitu Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.

Dia mengatakan, persoalan batas wilayah memang telah menjadi persoalan sejak masa silam.

Baca juga: Pemuda Aceh Tuntut Kepmendagri Dibatalkan, FPA Tegaskan 4 Pulau di Aceh Singkil Masuk Provinsi Aceh

Baca juga: Haji Uma Surati Mendagri dan Menkeu Terkait 4 Pulau di Aceh Singkil Masuk Dalam Wilayah Sumut

"Ini isu sensitif dan jadi perhatian pihak Aceh dan Pusat.

Itu sebabnya salah satu klausul perjanjian damai juga disebutkan soal perbatasan," kata dia.

Soal batas wilayah Aceh-Sumatera Utara, Nurzahri menuturkan, dulunya hanya ada peta manual yang dibuat oleh TNI.

Namun batas wilayah ini menjadi persoalan, sehingga pada tahun 1988 dilakukan pertemuan pertama membicarakan hal itu.

"Bukan hanya Singkil tapi Tamiang dengan Langkat juga.

Ada beberapa pertemuan tahun 1988, 1992, 2002, 2004, 2008, 2009, dan 2010 itu pertemuan yang melibatkan pemerintah Aceh dan Sumatera Utara," bebernya.

Dalam semua pertemuan itu disepakati bahwa permasalahan wilayah Aceh dan Sumatera merujuk pada peta topografi yang dibuat TNI pada tahun 1978, dan dalam peta itu ke empat pulau yang menjadi sengketa dan juga di perbatasan Tamiang dan Langkat masuk ke Aceh.

Lalu, pada tahun 2017, Perintah Pusat membuat peta RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) untu semua provinsi.

"Sumatera Utara sudah duluan buat.

Nah dalam peta yang dibuat itu mereka memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah mereka.

Kita sendiri buatnya di 2019, jadi sama-sama memasukkan wilayah itu ke dalam peta kita masing-masing," terangnya.

Akibatnya, status keempat pulau menjadi sengketa.

Sayangnya kata Nurzahri, tidak ada penyelesaian antara kedua pihak yang bersengketa, antara Aceh dan Sumatera Utara.

"Harusnya jika merujuk ke undang-undang, penyelesaian sengketa di Negara kitakan mempertemukan kedua pihak yang bersengketa, tapi ini tidak pernah.

Harusnya Pusat kembalilah pada aturan yang ada," pungkasnya.

Terlalu Euforia dengan MoU

Dr Badri Hasan selaku peneliti hukum di Aceh mengatakan, Pusat semestinya menghormati keistimewaan setiap daerah terlebih Aceh, di mana persoalan batas wilayah juga menjadi salah satu klausul yang telah disepakati dalam perjanjian damai.

"Itu disebutkan dalam UUD Pasal 18 b ayat 1, Negara mengakui dan menghormati satuan-satua pemerintah daerah yang bersifat khusus dan keistimewaan dan dalam pasal 18 b ayat 2 termasuk hak tradisional yang masih hidup," katanya.

Dia meminta Pemerintah Pusat menghargai keistimewaan dan kewibawaan Aceh.

"Ini bukti sejarah dan komitmen masa lalu, kita harus menghargai amanat mou Helsinki," tambah dia.

Namun Badri tak menampik, kondisi ini terjadinya akibat kelengahan para pihak di Aceh yang menurutnya terlalu euforia dengan kekhususan.

"Ini mungkin kelengahan kita juga.

Kita mungkin terlalu euforia dengan MoU Helsinki.

Rupanya (ini) jadi bom waktu.

Hari ini rupanya kewenangan-kwenangan ini sebatas lip service.

Ini sangat tidak terima hari ini, ini terjadi sengketa pulau, besok apa lagi," ujarnya.

Ia mengimbau pemerintah di Aceh baik eksekutif dan legislatif harus bersinergi.

"Kita mungkin terlalu terlena dengan jualan politik sehingga.

Politik itu positif, tapi menjaga wibawa Aceh ini penting," pungkasnya. (dan)

Baca juga: Empat Kecamatan di Bener Meriah Diterjang Puting Beliung, Belasan Rumah Rusak

Baca juga: Pasi Intel Batalyon 117/KY Jantho Serahkan 70 Kg Ganja ke Satuan Narkoba Polres Aceh Besar

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved