Kisah Sukses Perantau Aceh

Kisah Diaspora Aceh – 10 Tahun Tidur di Atas Tong Pasar Minggu, Iskandar Kini Bos 5 Cabang Mie Aceh

Mereka memutuskan pergi dari kampung halamannya karena keadaan Aceh yang kala itu berstatus Daerah Operasi Militer (DOM).

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN M NUR
Iskandar (47), owner Mie Aceh Kurnia Bogor, saat diwawancarai pada acara silaturahim Keluarga Ureung Pidie (KUPI) Jabodetabek, di Bale KUPI Jalan Rawa Gede Raya Nomo2 2 RT 007 RW 02 Jati Melati, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu 21 Mei 2022. 

SERAMBINEWS.COM – Kalau mau perubahan hidup ke arah lebih baik, maka berhijrahlah.

Jika tidak berhasil di suatu tempat, maka berpindahlah ke tempat lain.

Karena rezeki adalah rahasia Ilahi yang kebanyakan tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus dijemput dengan keikhlasan.

Untaian kalimat ini seakan menjadi rangkuman dari perjalanan hidup Iskandar, owner Mie Aceh Kurnia, di Bogor Jawa Barat.

Iskandar (47 tahun) adalah pria asal Sanggeu, Kabupaten Pidie.

Ia mulai merantau ke Jakarta pada tahun 1994, setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Sigli.

Saat itu, Iskandar pergi merantau ke Jakarta bersama 6 rekan sebaya dan sekampung dengan dirinya.

Mereka memutuskan pergi dari kampung halamannya karena keadaan Aceh yang kala itu berstatus Daerah Operasi Militer (DOM), serta ingin mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Mereka hanya membawa uang sekedarnya, cukup untuk ongkos bus PMTOH dari Sigli hingga ke Jakarta, senilai Rp 75 ribu.

Di Jakarta, Iskandar memutuskan untuk mencoba peruntungannya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Delapan tahun lamanya Iskandar tinggal di dalam pasar yang kala itu menjadi tujuan utama para perantau asal Aceh yang ingin bekerja di Jakarta.

Selama delapan tahun itu, Iskandar bekerja serabutan, mulai dari berdagang sayur, hingga menjadi kuli pasar.

Malamnya, dia tidur di atas tong sayur yang berada di emperan kios dalam pasar tersebut.

Hingga suatu hari pada tahun 2002, Iskandar mendapatkan kabar bahwa orang tuanya di kampung sakit keras.

Iskandar yang kala itu masih hidup morat-marit, harus mengutang ke sana kemari, untuk ongkos pulang ke kampung halamannya.

Tujuannya hanya untuk melihat kondisi orang tuanya yang sedang sakit keras.

“Itu adalah pertama kali saya pulang kampung, setelah delapan tahun di perantauan. Saat itu, saya masih harus menumpang bus PMTOH, karena tidak mampu naik pesawat. Bahkan uang untuk pulang pun harus ngutang,” kisah Iskandar dalam wawancara dengan Serambinews.com, di Bale KUPI (Keluarga Ureung Pidie) di Jalan Rawa Gede Raya Nomo2 2 RT 007 RW 02 Jati Melati, Pondok Melati, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu 21 Mei 2022.

Baca juga: VIDEO Putra Aceh Ismail Rasyid di Pertemuan Pengusaha Dunia di Dubai

Baca juga: VIDEO Bertemu Pelaku Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno Sebut Mie Aceh Bisa Mendunia

Setahun di kampung, pada tahun 2003 Iskandar memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

Dia masih terobsesi dengan rekan-rekannya dan kisah-kisah orang-orang yang telah meraih kesuksesan di rantau.

Apalagi, kondisi Aceh yang sempat damai sesaat setelah pencabutan status DOM pada tahun 1998, kembali bergejolak.

Iskandar kembali ke Jakarta dengan bus PMTOH, beberapa hari setelah pemerintah pusat menetapkan status Darurat Militer di Aceh.

“Saat itu saya pulang hanya untuk melihat kondisi orang tua saya yang sakit. Kalau bukan karena itu, saya tidak pulang karena memang tidak punya uang untuk ongkos pulang,” ujarnya.

Jadi Pedagang Keliling Jawa-Bali

Dalam perantauan kedua kali ini, Iskandar kembali ke Pasar Minggu.

Setelah enam bulan melihat nasibnya juga tidak berubah, dia mulai mencoba keluar dari zona pasar dan mencoba peruntungan di tempat lain.

Berbekal jaringan yang dimilikinya selama di Pasar Minggu, Iskandar menjadi pedagang keliling Pulau Jawa hingga Bali.

Dia ikut dalam sebuah kelompok pedagang yang membawa dagangan dengan truk, dengan tujuan membuka lapak di pasar-pasar dadakan atau hari pekan, pameran, serta hari-hari besar lainnya, di berbagai wilayah di Pulau Jawa hingga Bali.

Lima tahun lamanya Iskandar menjalani kehidupan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain berkeliling Pulau Jawa dan Bali.

Selama lima tahun itu pula, Iskandar tidak pernah lagi pulang ke kampung halamannya.

Hingga pada tahun keenam perantauan kali keduanya ini, Iskandar bertemu dengan seorang pedagang pakaian asal Sumatera Barat.

Dia diberikan barang berupa pakaian serta lapak jualan di kaki lima di kawasan Kota Bandung Jawa Barat.

Keuntungan hasil jualan dibagi dua antara dirinya selaku pedagang dengan pemilik barang yang merupakan warga asal Sumbar.

Usahanya terus berkembang, hingga Iskandar dan si pemilik barang sepakat membuka usaha jualan pakaiannya outlet di salah satu mall di Jakarta.

Iskandar pun kembali ke Jakarta, tapi kini tidak lagi di Pasar Minggu, melaikan mulai menyewa kamar sebagai tempat tinggal dan berjualan pakaian di mall.

Baca juga: VIDEO Keluarga Ureung Pidie (KUPI) Jakarta Gelar Halal Bi Halal

Baca juga: VIDEO Gubernur Jakarta Anies Baswedan Makan Mie Aceh: Sangat Lezat dan Enak

Bertemu Jodoh

Hari-hari terus berlalu, Iskandar mulai mendapatkan rezeki dari Allah.

Jodoh pun mulai mendekatinya.

“Saat berjualan pakaian di mall itu saya berkenalan dengan gadis asal Bogor yang sedang sekolah di Jakarta,” kata Iskandar sambil tersipu.

Pintu rezekinya semakin terbuka lebar setelah Iskandar menikahi gadis ini.

Si istri yang berasal dari Bogor mengajak Iskandar membuka usaha mi aceh di Bogor.

“Saya kemudian memutuskan mengalihkan usaha jualan baju ke orang lain, dan hasilnya saya gunakan sebagai modal untuk memulai usaha jualan mie aceh di Bogor,” kata Iskandar.

Awalnya dia sempat ragu, karena tidak punya keahlian memasak mie.

Namun dorongan dan semangat dari istri membuat Iskandar menjadi yakin.

Ketertarikan Iskandar memulai usaha jualan mi aceh ini juga karena ada seorang ahli masak mi aceh yang mengajaknya berkolaborasi untuk berjualan.

Baca juga: Usai Didatangi Gubernur Anies Baswedan, Kini Para Karyawan Mie Aceh Ini Gratis Masuk Ancol

Mulai Meraih Sukses

Pada akhir tahun 2009, Iskandar telah mantap membuka usaha mie aceh di pusat jajanan yang berada di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).

Bermula dari sini, usaha Iskandar terus berkembang.

Saat ini, Iskandar telah memiliki 6 cabang mie aceh dengan merek dagang Kurnia.

Tiga di antaranya berada di Bogor (satu di kawasan Kampus IPB, satu di pusat Kota Bogor, dan satu lainnya di dekat Istana Bogor).

Selain di Bogor, usaha Mie Aceh Kurnia ini juga ada di Cirebon Jawa Barat.

“Yang di sini kerja sama dengan seorang warga Aceh yang tinggal di Cirebon,” kata dia.

Sementara dua lainnya ada di Jakarta, namun satu di antaranya yakni yang berada di kawasan Kampus Bina Nusantara masih tutup semenjak pandemi Covid-19.

Iskandar yang telah dikarunia 2 orang anak, yang pertama sudah kelas 1 SMA, kini telah mulai menikmati hasil kerja kerasnya.

Ia juga telah memiliki rumah dan mobil sendiri.

Iskandar yang dulunya bekerja serabutan sebagai penjual sayur dan buruh kasar di Pasar Minggu, kini telah memekerjakan 45 karyawan di lima cabang Mie Aceh Kurnia di Bogor, Jakarta, dan Cirebon.

“Sebagian pekerjanya dari Aceh, terutama dari Sanggeu, Reubee, Bambong, Gampong Aree, dan daerah lainnya di Pidie yang mempunyai tradisi merantau,” kata Iskandar.

Suasana keramaian di Warung Mie Aceh Kurnia Cabang Yasmin, Bogor.
Suasana keramaian di Warung Mie Aceh Kurnia Cabang Yasmin, Bogor. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

“Setiap kedai itu mesti ada 2-3 orang asal Aceh, terutama untuk koki dan bartender di dapur kopi, sehingga citarasa acehnya tidak hilang,” ungkap Iskandar.

Mengenai menunya, ternyata Warung Mie Aceh Kurnia ini tidak hanya menyediakan mie aceh saja, tapi juga menyediakan nasi goreng, martabak telor, martabak kari kambing, hingga canai.

Sementara menu mie aceh, mulai dari mie biasa, mie aceh telor, mie daging, udang, kepiting, hingga menu istimewa mie lobster.

Berapa omsetnya per hari? Iskandar menolak berbicara angka dalam bentu uang.

“Lon peugah padum kilo lagot mantong Bang beh (saya sampaikan berapa kilogram mie aceh yang laku per hari aja ya),” ujarnya mengelak.

“Bak saboh keude na yang 40 kilo siuroe, na syit kude yang 20 kilo dan 10 kilo,” ungkapnya.

Jika dirata-ratakan, di 5 cabang yang kini aktif, Iskandar menghabiskan sekira 80-100 kilogram mie aceh setiap harinya.

Sementara harga satu porsi mie aceh bervariasi, mulai dari Rp 18.000 (mie biasa) hingga Rp 150 ribu per porsi untuk mie lobster.

Pertanyaannya, satu kilogram mie aceh menghasilkan berapa porsi mie siap saji?

Dari situ Anda bisa menerka sendiri berapa penghasilan Iskandar setiap harinya.

Itu belum termasuk dari hasil jualan nasi goreng, martabak, canai, dan kari kambing.

“Memang kita harus hijrah jika ingin sukses. Harus betul-betul bekerja keras, karena kerja keras tidak menipu hasil,” ujar Iskandar di ujung perbicangannya dengan Serambinews.com.

“Kunci merantau adalah, kerja keras, jujur, dan tentunya jangan meninggalkan ibadah,” imbuhnya.

Menurut Iskandar, setelah bencana tsunami 26 Desember 2004, mie aceh telah menjadi kuliner nasional.

“Orang-orang yang pernah berdinas di Aceh pada masa konflik dan masa rehab rekon tsunami, pasti mencari mie aceh setelah kembali ke daerahnya. Maka sebab itu, saat ini jualan mie aceh tidak lagi harus di tempat banyaknya komunitas Aceh,” pungkas Iskandar.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved