Kisah Sukses Perantau Aceh

Kisah Diaspora Aceh – Sabrul Jamil, Pemilik Mie Aceh Pandrah yang Berkembang di Masa Pandemi

Inspirasi lain yang bisa diambil dari kisah sukses Sabrul Jamil ini adalah, saat ini dia menampung 35 tenaga kerja di kelima cabang Mie Aceh Pandrah

Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/ZAINAL ARIFIN M NUR
Sabrul Jamil, owner Mie Aceh Pandrah yang memiliki 5 cabang di Jakarta, saat wawancara khusus dengan Serambinews.com, Jumat 20 Mei 2022. 

SERAMBINEWS.COM – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020, menjadi momok menakutkan para pelaku usaha.

Tidak hanya menumbangkan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pandemi Covid-19 yang disertai dengan pembatasan kegiatan masyarakat secara ketat, juga membuat limbung para pengusaha besar.

Usaha Mie Aceh Pandrah yang sedang dibangun oleh Sabrul Jamil (33) di Jakarta, juga ikut merasakan dampak dari dahsyatnya penyakit mematikan ini.

Tapi, Sabrul adalah satu dari segelintir anak muda yang enggan menyerah pada keadaan.

Sempat memberhentikan beberapa karyawan, Sabrul segera memutar otak, mencari peluang di antara keadaan yang serba tak jelas.

Baginya, apapun keadaannya, di situasi wajar maupun di musim wabah, peluang itu selalu ada.

Ia terus berusaha dengan keyakinan, bahwa peluang-peluang itu bersembunyi dan hanya mungkin ditemukan dengan cara berikhtiar.

Hasil akhirnya dia serahkan kepada Allah Sang Maha Pencipta dan Pemberi Rezeki.

Benar saja, Sabrul pun menemukan peluang itu di tengah pandemi yang telah merontokkan bayak sektor usaha di dunia nyata.

Di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan dengan sangat ketat di Jakarta, Sabrul mengoptimalkan dan memaksimalkan penjualan online yang telah dirintisnya sejak akhir tahun 2016 lalu.

“Kami sudah mulai melayani penjualan online pada akhir 2016. Saat itu hanya ada satu yaitu GoFood saja,” kata Sabrul.

Ia tidak menyangka jika inisiatifnya ikut nimbrung di penjualan online, menjadi modal berharga baginya dalam mengarungi gelombang pandemi.

“Saat pandemi itu awalnya memang terasa berat, karena pembatasan sosial berskala besar yang diterapkan secara ketat di Jakarta,” ungkap Sabrul Jamil dalam wawancara khusus dengan saya (Zainal Arifin M Nur), di warung Mie Aceh Pandrah di Jalan Sukarjo Wiryopranoto No.4C, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Jumat 20 Mei 2022.

Saya datang ke tempat usaha Sabrul bersama Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH, juga ditemani Sekretaris DPW PKB Aceh, Munawar AR.

“Tapi untuk makanan ada sedikit kelonggaran, kita masih bisa jualan, meski tidak boleh ada yang duduk di warung,” ujarnya.

Di tengah pandemi itu pula, Sabrul Jamil membuka dua cabang baru Mie Aceh Pandrah.

Karena situasi dan kondisi, kedua cabang baru Mie Aceh itu hanya khusus melayani pembelian bawa pulang alias take away.

“Karena itu saya cari tempat yang kecil, semacam kios, hanya melayani penjualan online dan pembelian bawa pulang. Kalau ada orang yang mendesak sekali untuk makan di tempat, hanya bisa menampung satu dua orang saja,” ujarnya.

Kedua cabang Mie Aceh Pandrah yang dibuka pada masa pandemi itu berada di Mampang Prapatan Jakarta Selatan dan terminal Kampung Melayu Jatinegara, Jakarta Timur.

Kedua cabang baru itu melengkapi tiga cabang Mie Aceh Pandrah yang telah duluan hadir di Jakarta.

Yaitu, di Jalan Sukarjo Wiryopranoto No.4C, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat yang menjadi tempat pertama Sabrul membuka usaha mie aceh di pertokoan, kemudian kedua di Jalan Kramat Raya Senen, dan ketiga di Kemanggisan Slipi.

Karena melayani penjualan online, kelima cabang Mie Aceh Pandrah milik Sabrul Jamil ini sudah terdeteks di Google Maps.

“Waktu pandemi kemarin, yang hanya melayani penjualan online ini yang paling banyak laku. Sementara yang melayani makan di tempat, kesulitan karena pembatasan dan tidak boleh buka pada jam-jam tertentu,” ujar Sabrul Jamil.

Pemuda kelahiran Pandrah Bireuen tahun 1989 ini mengatakan, saat ini Mie Aceh Pandrah melayani penjualan online di GoFood, ShopeeFood, dan GrabFood, dan Traveloka.

“Yang paling menonjol di GrabFood, omsetnya mencapai Rp 5 juta per hari,” kata Sabrul, menanggapi pertanyaan Al Fadhal, warga Pandrah yang disampaikan melalui kolom komentar saat siaran langsung di laman Facebook Serambinews.com.

Safaruddin SH yang sedari tadi menyimak pembicaraan kami sesekali menyelutuk, “itu omset per hari, kalau dikali bulan, dikali tahun sudah berapa banyak”.

Sabrol yang merupakan sosok pendiam tak berkomentar menanggapi celutukan sang Ketua YARA.

Dia hanya tertunduk sambil mendengarkan dan sesekali tersenyum kecil.

Safaruddin kemudian memberikan apreasiasi atas kesabaran dan keuletan Sabrul di perantauan.

“Ini sudah layak disebut pengusaha. Usia baru 32 tahun, baru 7 tahun berdagang mie, sudah punya 5 cabang, punya rumah dan mobil pribadi. Kan sudah luar biasa ini,” ujar Safaruddin.

“Dan itu semua terjadi di ibukota, di Jakarta Pusat lagi,” timpal Munawar AR, sekretaris DPW PKB Aceh yang juga ikut menyimak obrolan kami.

Sabrul kembali hanya tersenyum dan tertunduk, tak ada raut kebanggaan apalagi kesombongan di wajahnya.

Mie Aceh Pandrah di kawasan Gajah Mada Jakarta Pusat ini menyediakan nasi goreng, martabak, roti canai, kari kambing, dan lain-lain.

Saat kami datang, warung terlihat ramai dengan pengunjung, karena baru saja hujan lebat, sehingga banyak yang ingin makan mie dan makanan panas lainnya.

Tidak ada warga Aceh di antara puluhan penikmat makanan di warung Mie Aceh Pandrah pada hari itu.

Sabrul mengatakan, kebanyakan pelanggan di warungnya memang bukan warga Aceh.

“Kalau di kawasan ini kebanyakan penikmat mie aceh adalah warga cina. Kalau khusus orang Aceh kecil sekali persentasenya, mungkin hanya 50 persen dari total pelanggan di sini,” kata Sabrul.

Menurutnya, mie aceh saat ini telah menjadi kuliner nasional, sehingga pelanggannya tidak lagi hanya terbatas kalangan masyarakat Aceh.

Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – 10 Tahun Tidur di Atas Tong Pasar Minggu, Iskandar Kini Bos 5 Cabang Mie Aceh

Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Muslim Armas, Perekat Perantau Pidie dan Pemilik 8 Perusahaan Level Nasional

Menampung 35 Pekerja

Inspirasi lain yang bisa diambil dari kisah sukses Sabrul Jamil ini adalah, saat ini dia menampung 35 tenaga kerja di kelima cabang Mie Aceh Pandrah miliknya.

Mayoritas dari mereka adalah pemuda perantau yang berasal dari berbagai daerah di Aceh, mulai dari Bireuen, Aceh Utara, Pidie, hingga Aceh Selatan.

“Ada orang Aceh Besar?,” tanya Munawar AR, tokoh muda yang berasal dari Kuta Baro Aceh Besar.

“Dulu ada, sekarang sudah ke luar (resign),” jawab Sabrul pelan.

Sabrul melanjutkan ceritanya, di Mie Aceh Pandrah di Jakarta Pusat saja dia memekerjakan 12 orang.

“Sebelum pandemi jumlahnya mencapai 18 orang pekerja,” ujar Sabrol.

“Kalau total di seluruh cabang berapa pekerja?” tanya Serambinews.com.

“Sekitar 45 orang,” ujarnya.

“Omaa…,” celutuk Safaruddin yang merasa kagum kepada Sabrul karena telah menampung banyak tenaga kerja di usianya yang masih sangat muda.

“Tapi sekarang tidak sampai 45 orang lagi, mungkin hanya tersisa sekitar 35 orang, sebagiannya harus berhenti kerja seiring menurunnya penjualan pada masa pandemi,” lanjut Sabrul.

Sebagian pekerja itu datang sendiri ke tempat Sabrul untuk meminta kerja, dan sebagian lain karena rekomendasi dari kawan-kawan.

Lalu bagaimana Sabrul mengontrol ke lima cabang Mie Aceh Pandrah itu?

“Ada leader di setiap cabang,” kata Sabrul seraya menambahkan bahwa para leader itu adalah orang kepercayaannya yang telah bekerja lama bersama dirinya.

Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Bang Jol Sahara Sang Legenda

Baca juga: Kisah Diaspora Aceh – Teuku Makmur, Toke Beras Pemberantas Pengangguran di Kampung Halaman

Baca juga: Kisah Diaspora Aceh - M Raji Pengusaha Muda Owner Koetaradja, Dari Importir Hingga Konsep ATM

Jatuh Bangun di Masa Awal

Seperti halnya kebanyakan perantau, kesuksesan yang kini diraih oleh Sabrul Jamil juga tidak terlepas dari berbagai cerita duka, perjuangan yang disertai kepahitan.

Bermula, setelah menamatkan SMA di Bireuen, pada tahun 2008, Sabrul mulai merantau ke Batam, Kepulauan Riau.

Saat itu usianya masih sangat belia, yaitu 18 tahun.

Ia ingin mengubah nasib, serta tidak mau membebankan orang tuanya yang akan kesulitan jika dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi.

Namun, dia gagal di percobaan pertamanya di perantauan.

Hanya setahun berada di Batam, Sabrul memutuskan pulang kampung, karena tidak ada kerja yang cocok.

Sepulang dari perantauan, Sabrul sempat menempuh kuliah, tapi karena kekurangan dana, ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah.

Sabrul pun kembali memutuskan untuk merantau.

Kali ini dia memilih Jakarta sebagai tempat tujuan.

Saat itu, pada tahun 2011, dia sudah berusia 22 tahun.

Pertama ke Jakarta, karena tidak ada modal, Sabrul bekerja pada kenalannya sebagai penjual parfum di kaki lima dan pasar malam.

Kurang lebih setahun dia menjalani pekerjaan itu, hingga kemudian beralih menjadi penjual pakaian, sepatu, dan barang pecah belah di pasar malam.

Sabrul berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya yang menggelar pasar malam, hingga ke Depok.

Baca juga: Bandara SIM, Pintu Penggerak Ekonomi dan Menjaga Marwah Aceh

Ia dengan cermat mengumpulkan hasil usahanya hingga punya modal untuk membuka usaha sendiri.

Ide itu muncul setelah dia bertemu seorang teman yang pandai memasak mie aceh.

Mulanya, Sabrul bersama temannya membuka usaha mie aceh di bawah tenda di kaki lima di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur.

Hanya beberapa bulan di sana, Sabrul kemudian memutuskan pindah ke Cengkareng, tepatnya di kawasan Taman Palem.

“Di sini (Taman Palem Cengkareng) lumayan lama, hampir dua tahun,” ujarnya.

Hingga pada tahun 2016, setelah punya cukup modal, Sabrul memberanikan diri menyewa rumah took di Jalan Sukarjo Wiryopranoto No.4C, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.

Saat ini, satu ruko di lokasi itu disewakan dengan nilai di atas Rp 100 juta.

Dari sini, usaha Mie Aceh Pandrah terus berkembang, hingga dua tahun kemudian dia mulai memberanikan diri untuk melakukan ekspansi.

Pertama sekali dia membuka cabang Mie Aceh Pandrah di Jalan Kramat Raya Senen, disusul di Kemanggisan Slipi, hingga pada masa pandemi membuka dua cabang lagi yang khusus melayani pembelian bawa pulang (take away) di Mampang Prapatan dan terminal Kampung Melayu.

Seiring dengan usahanya yang terus berkembang, Sabrul saat ini telah memiliki rumah sendiri di Pejaten Barat.

Pada akhir tahun 2021, dia pulang kampung dan menikahi gadis Kruenggeukueh Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

“Dikenalkan oleh kakak,” kata Sabrul ketika ditanya awal mula berkenalan dengan istrinya.

Meski punya rumah sendiri di Pejaten Barat, Sabrul dan istrinya tinggal di apartemen di kawasan Jakarta Pusat.

“Rumah di Pejaten saya sewakan kepada orang lain. Karena saat itu saya masih lajang, jadi bisa tinggal di apartemen agar lebih dekat dengan tempat usaha,” ujarnya.

Saat kami bertandang, istrinya sedang berada di kampung halaman, belum kembali ke Jakarta setelah pulang menjelang Lebaran Idul Fitri 1443 lalu.

Selain kreatif, apa kiat Sabrul agar sukses di perantauan?

“Kiban taneuk peugah roe, paleng taikuti model berdagang disesuaikan dengan perkembangan zaman, kalau sudah online, ya harus menyesuaikan,” katanya.

Selain itu, lanjut Sabrul, pasang target yang ingin dicapai dan jangan menunda pekerjaan agar target itu bisa segera dicapai.

“Apalagi kita berangkat di kampung dengan uang pas-pasan, tidak ada modal untuk memulai usaha. Jadi ya harus bekerja apa saja untuk mencari pengalaman. Setelah cukup pengalaman dan modal, baru membuka usaha sendiri,” ujarnya.

Kiat lainnya adalah kesabaran dalam menjalani kehidupan.

“Masa-masa awal yang paling berat adalah tidak pulang kampung karena tidak punya uang untuk ongkos pulang. Kalau sekarang sudah sering pulang,” ujar Sabrol sambil tertawa kecil.(*)

Simak wanwancara lengkapnya dalam video siaran langsung di bawah ini.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved