Embarkasi Haji
Cerita Embarkasi Haji Pertama di Pulau Rubiah, Dibangun Belanda Tahun 1920, Kini Jadi Objek Wisata
Sayangnya, tak banyak yang tahu tentang situs sejarah perhajian masa kolonial Belanda tersebut, meskipun lokasi tersebut masuk dalam salah satu objek
Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Ansari Hasyim
Sebelum berangkat ke Mekkah, jamaah dari luar Aceh terlebih dahulu berangkat ke Sabang dengan kapal lain dan berkumpul di Kampung Haji di Gampong Kuta Timu, Kota Sabang.
Setelah semuanya tiba di Kampung Haji, baru kemudian semua jamaah dikarantina di embarkasi haji di Pulau Rubiah. Lamanya sampai satu hingga dua bulan.

Dulu di embarkasi ini, semua jamaah dicek kesehatan. Hal itu dilakukan agar jamaah tidak terserang penyakit mengingat lamanya perjalanan ke Tanah Suci.
Untuk pergi saja menghabiskan waktu 15 hari dan pulang 15 hari. Total masa pejalanan jamaah haji Aceh ke Mekkah selama 30 hari atau sebulan.
Teuku Yahya yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah, menceritakan pengurusan haji masa Belanda hanya berlangsung hingga perang dunia kedua.
Saat Jepang masuk ke Indonesia, bangunan itu dihancurkan oleh Jepang. Kemudian saat Indonesia merdeka, lanjutnya, gedung embarkasi haji ini tidak digunakan lagi.
Saat ini banyak tangan-tangan jahil yang merobohkan bangunan embarkasi yang merupakan peninggalan sejarah itu, selain dimakan usia.
Kendati demikian, kata Teuku Yahya, pemberangkatan jamaah haji masih dilangsungkan via Sabang sampai dengan tahun 70-an.
Salah satu bukti yang masih tinggal sampai sekarang adalah adalah bangunan asrama haji di Kota Sabang, bukan di Pulau Rubiah.

Saat ini, bukti sejarah situs perhajian pertama itu yang masih terawat dengan baik hanya Masjid Kampung Haji yang dibangun pada 1914 oleh Sabang Maatschappij dan asrama haji.
Ini karena lokasi itu terletak di dalam perkampungan warga, berbeda dengan embarkasi haji di Pulau Rubiah.
Karena itu, sejumlah pihak mendesak pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memugar embarkasi hasji sebagai situs sejarah perjalanan haji pertama di Indonesia itu.
“Pemerintah harus memperhatikan ini sama halnya dengan titik kilo meter nol, karena ini sejarah,” kata Koletor Naskah Kuno, Tarmizi A Hamid.(*)