Opini
Polarisasi Politik Pemilu 2024
PERHELATAN politik serentak secara nasional yang berhubungan dengan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 atau sekitar dua tahun yang akan datang

Dukungan calon tidak hanya satu bahkan lebih, ini merupakan spekulasi agar modal ataupun dana yang dikeluarkan tidak sia-sia “ibarat memancing lebih dari satu gagang dan mata pancing, dengan joran yang dihargai sangat mahal agar hasil pancingan dapat maksimal”.
Dalam hal praktik saling mendukung secara modal atau finansial inilah menjadikan masyarakat terfragmentasi dalam berbagai kelompok, kemudian polarisasi juga akan menciptakan “bipolarisasi”, karena targettarget serta kepentingan politik tidak saja milik para aktor politik yang ikut berkontestasi, namun demikian para oligarki yang ingin mendapatkan keuntungan politik nantinya pada saat para aktor politik menduduki kursi kekuasaan.
Karena itu, peran para oligarki politik dan ekonomi, serta juga peran partai politik, aktor politik, mesin politik dan para tim sukses yang besar dalam menciptakan polarisasi dan bipolarisasi politik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.
Ini semua dengan mengatasnamakan demokrasi politik yang semakin terstruktur dan masif bekerja saat-saat menjelang pemilu, meskipun dua tahun lagi, namun seolaholah dapat diframing akan berlangsung pada bulan depan, juga berlaku dengan semakin gencarnya memainkan isu serta dukungan promosi politik yang dikemas demikian apik dan rapi.
Dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keinginan untuk merubah serta memperbaiki kehidupannya, seakan- akan pemilu serta pesta demokrasi akan menciptakan kondisi perubahan serta perbaikan kehidupan melalui media politik.
Namun demikian, sebahagian masyarakat ada yang berasumsi ini sering kali hanya bersifat utopia, karena berbagai bukti serta pengulangan terhadap kontestasi demokrasi politik melalui pesta demokrasi yang banyak memberikan harapan-harapan atau janji-janji politik, pada realitas serta realisasinya selalu saja jauh dari harapan.
Kecuali hanya memberikan perubahan serta perbaikan kehidupan dan kekayaan yang diperoleh dengan berbagai cara bahkan “kerakusan” yang diperlihatkan karena memiliki kekuasaan dan jabatan politik yang dapat diaturnya, dengan menggunakan jargon-jargon kebijakan politik.
Namun demikian, sistem serta ketentuan politik yang diatur selama ini, selalu saja tidak berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan serta kekuasaan politik, hanya saja ini menjadi daya tarik yang dimanfaatkan secara politik menjelang perhelatan atau pesta politik, karena rakyat sebagai peserta pemilu yang akan menentukan seseorang, individu, aktor ataupun partai politik untuk memenangkan pesta demokrasi politik tersebut.
Kemudiannya kekuasaan politik partai dan aktor politik berhadapan dengan oligarki, “ibarat tuan dan cuan” yang mesti patuh atas perintahnya.
Sesungguhnya setelah kekuasaan politik dipegang atau dikuasai oleh individu, partai politik tertentu, maka pemimpin atau aktor politik kemudian kembali menjadi milik partai politik, yang terikat dan memiliki ikatan maupun janji dengan para oligarki.
Sehingga keuntungan pasca pesta demokrasi politik, pemimpin kekuasaan politik, setiap kebijakan ekonomi dan politik akan menjadi milik para oligarki dan partai politik.
Dalam kehidupan modern saat ini, didukung oleh liberalisasi ekonomi dan politik, ini sangat ditentukan oleh para oligarki politik dan ekonomi.
Hal ini juga dalam usaha menentukan berbagai aturan serta perundang-undangan kehidupan masyarakat luas, maka jika pemimpin kekuasaan politik ingin tetap aman dan “survival”, mesti tunduk serta patuh terhadap keinginan serta permainan para oligarki politik dan ekonomi.
Dengan demikian, polarisasi bahkan bipolarisasi politik tercipta dalam kehidupan masyarakat, ini ada peran serta para oligarki.
Penguasa politik tidak mampu melakukan perubahan serta perbaikan kehidupan, ekonomi serta kesejahteraan, sering kali dihadapkan dengan partai politik dan juga para oligarki yang menentukan berbagai keputusan serta kebijakan politik yang menguntungkan mereka.