Haji 2022
Al-Asyi Pendatang, Wali Naggroe Aceh Sagoe Mekkah
SECARA harfiah, yang dimaksud dengan Al-Asyi adalah orang-orang Aceh, kapanpun dan dimanapun mereka berada
SECARA harfiah, yang dimaksud dengan Al-Asyi adalah orang-orang Aceh, kapanpun dan dimanapun mereka berada.
Tetapi penggunaan kata Al-Asyi buat orang-orang Aceh yang berada di Aceh sangat tidak lazim.
Sebagaimana tidak lazimnya menyebut Mie Aceh saat masih di Aceh.
Nama Al-Asyi biasanya dipakai oleh keturunan maupun pendatang Aceh yang berdomisili di Arab Saudi.
Dalam nama resmi yang tercantum di Hawiyah (KTP), biasanya para keturunan maupun pendatang Aceh di Arab Saudi menggunakan kata Al-Asyi di ujung nama mereka.
Semisal T Sulaiman Al-Asyi, Abdurahman bin Abdullah Al-Asyi, dan lain sebagainya.
Al-Asyi yang menetap di Arab Saudi bisa dibedakan ke dalam dua kategori.
Al-Asyi keturunan dan Al-Asyi pendatang.
Baca juga: Guyuran Hujan Sambut Kepulangan Jamaah Haji
Baca juga: Jamaah Haji Terakhir Sudan Pulang Melalui Pelabuhan Jeddah, Petugas Beri Souvenir
Al-Asyi keturunan ini biasanya tidak lagi memiliki ciri khas Aceh yang melekat pada diri mereka, dan tidak lagi menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa tutur.
Perawakan fisik mereka sudah seperti orang Arab pada umumnya.
Makanan yang dikonsumsi dan kebiasaan sehari-hari juga seperti kebanyakan orang Arab.
Selain itu, mereka sudah tidak memiliki ikatan lagi dengan keluarga di Aceh.
Bagi Al-Asyi keturunan, nama Asyi dibelakang nama mereka murni warisan semata dari endatu mereka yang asli Aceh.
Berbeda dengan Al-Asyi keturunan, Al-Asyi pendatang masih sangat identik dengan Aceh.
Dalam berkomunikasi sehari-hari dengan orang Aceh mereka memilih bertutur kata Aceh.
Perawakan fisik juga lebih mirip Aceh daripada Arab.
Begitu juga dengan makanan dan kebiasaan sehari-hari, meskipun sudah beradaptasi dengan lingkungan Arab, namun kekhasan Aceh yang melekat pada diri mereka tidak lekang.
Dan yang paling penting, mereka masih menjaga silaturahim dengan famili di Aceh.
Sebagian dari Al-Asyi pendatang ini telah menjadi warga negara Arab Saudi.
Walaupun banyak juga status mereka masih sebagai mukimin (residence permit).
Melalui Al-Asyi pendatang inilah silaturahim antara orang Aceh (tribal gathering) terwujud di Mekkah.
Mereka dengan suka cita menyambut saudara-saudara Aceh mereka yang datang ke Tanah Suci, baik untuk berumrah apa lagi berhaji.
Dalam sebuah jamuan makan siang, Lina, salah seorang Al-Asyi pendatang menjelaskan kepada saya dalam bahasa Arab, "Almarhum Bapak kami mewasiatkan kepada kami untuk selalu menjamu orang Aceh yang datang berhaji atau berumrah".
Mayoritas keluarga Al-Asyi pendatang yang berada di Kota Mekkah berasal dari satu keluarga.
Seperti Teuku Abdullah atau lebih dikenal dengan sebutan Teuku Cut.
Beliau merupakan anak dari Syaikh Muhammad Nur (Syaikh Nu) sekaligus cucu dari Syaikh Ibrahim Al-Asyi yang datang dari Aceh ke Mekkah di awal abad 20.
Teuku Cut juga memiliki seorang saudari perempuan yang bernama Cut Asiah (Nyak) yang menikah dengan Tgk Syakya, putera dari Tgk Muhammad Ali Irsyad, pendiri Dayah Darussa'adah Teupin Raya, Pidie.
Teuku Cut juga memiliki seorang paman yang bernama T Sulaiman Al-Asyi atau lebih dikenal dengan nama Cek Man.
Cek Man sendiri memperistri seorang wanita dari Gampong Aree Pidie yang bernama Dahniar (Cek Niar).
Keluarga besar ini semuanya sekarang berdomisili di Mekkah.
Keluarga Teuku Cut bermukim di kawasan Awali, sedangkan keluarga Cek Man berdomisili di daerah Syarai'.
Terakhir, keluarga Tgk Syakya tinggal di Baitul Asyi daerah Syauqiyah.
Kehangatan dan keramahan mereka dalam menjamu tamu Allah sering membuat jamaah haji serasa seperti di Serambi Mekkah dibandingkan di Mekkah.
Tamu yang datang pun berasal dari berbagai daerah.
Ada orang Aceh yang berasal dari Lampung, Amerika Serikat dan bahkan Australia.
Adagium pemulia jamee adat getanyoe begitu terasa selama bertamu di rumah mereka.
Kedatangan jamaah haji Aceh bertamu ke rumah Al-Asyi pendatang membuka mata Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk kembali meninjau pengelolaan aset wakaf Baitul Asyi Habib Bugha yang disinyalir banyak terjadi penyimpangan.
Sebelum tahun 2006, harta wakaf Baitul Asyi hanya dibagikan kepada kalangan tertentu dari Al-Asyi keturunan.
Dengan dalih sulitnya menemukan orang Aceh yang berhaji ke Tanah Suci.
Apalagi setelah 2004, ombak tsunami dan gempa bumi seolah mengaminkan dalih tersebut.
Padahal dalam Iqrar Wakaf yang ditandangani langsung oleh Habib Bugha pada tahun 1224 H, disebutkan bahwa prioritas pertama yang paling berhak menerima wakaf Baitul Aceh adalah jamaah haji yang datang dari Aceh (al-hujjaj wushuliyin min Asyi).
Dalam keadaan tidak ada lagi jamaah haji asal Aceh, baru harta wakaf boleh didistribusikan kepada keturunan Aceh yang bermukim di Mekkah.
Jamaah haji Aceh yang bertamu ke rumah Al-Asyi keturunan mematahkan semua dalih tersebut.
Kedatangan tamu-tamu ini juga akhirnya diketahui oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Sejak itu, Al-Asyi Keturunan banyak mendapatkan tawaran untuk bertempat tinggal di Baitul Asyi, sebagaimana yang diakui sendiri oleh Cek Man.
Sebelum tahun 2006, beliau tinggal di Maabdah.
Di tempat ini beliau sering menerima tamu jamaah haji Aceh dan mahasiswa-mahasiswa Aceh dari seluruh negeri Timur Tengah yang malaksanakan haji koboy.
Saya sendiri sempat merasakan kehangatan jamuan keluarga Cek Man di Maabdah saat berangkat haji dari Mesir di tahun 2005.
Namun setelah 2006, beliau diminta untuk tinggal di salah satu rumah sewa wakaf Baitul Asyi di daerah Raudhah.
Pada tahun yang sama, jamaah haji Aceh mulai mendapatkan pembagian uang kompensasi akomodasi (badal sukan) yang diberikan oleh Nadzir Wakaf Baitul Asyi yang masih berlanjut sampai tahun ini.
Memang betul kata Nabi, silaturahim selalu menghadirkan keberkahan.(*)
Baca juga: Ketua PPIH Cek Pelayanan Jamaah Haji di Madinah dan Semangati Petugas: Ahlan wa Marhab Jamaah Haji
Baca juga: 194.000 Jamaah Haji Sudah Mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah, Sebagian Telah Pulang